Tidak hanya perkebunan teh yang terhenti, perkebunan karet di Bogor juga terpengaruh. Meskipun masih beroperasi, para petani yang bekerja di sana tidak diberi upah oleh pemerintah Jepang. Petani diberi tugas mengelola dan menjaga produksi, namun tanpa kompensasi (Wawancara dengan Bapak Oni, 12 Juli 2017).
Beban hidup para petani di wilayah Cimulang tidak seberat petani di Cipanas, karena banyak petani di Cimulang dipaksa bekerja sebagai Romusha oleh pemerintah Jepang. Pemerintah Jepang memobilisasi para petani secara paksa untuk bekerja di Ciseeng-Bogor, mengumpulkan batu kapur yang digunakan untuk konstruksi bangunan Jepang (Wawancara dengan Bapak Iman Sahpitra, 12 Juli 2017).
Kesulitan ekonomi yang dialami masyarakat Bogor, terutama para petani, selama pendudukan Jepang sangat berat. Masa penjajahan yang berlangsung sekitar 3,5 tahun dirasakan seolah-olah berlangsung selama berabad-abad (Wawancara dengan Bapak Iman Sahpitra, 12 Juli 2017). Ketidakpastian ekonomi ini berlanjut hingga awal kemerdekaan, di mana muncul kelompok-kelompok kriminal yang mengganggu stabilitas keamanan di Bogor.
3. Jatuh Bangun Bertahan dan Terpuruk Hingga Akhir Tahun 1960an (Tahap Finalisasi)
Setelah Konferensi Meja Bundar dan kembalinya ibu kota Indonesia dari Yogyakarta ke Jakarta, dimulailah era pemerintahan Republik Indonesia di Jawa. Pemerintah Soekarno-Hatta segera melakukan penataan birokrasi, menggerakkan kembali ekonomi nasional (industri perkebunan dan pertanian), dan membuka kembali pendidikan dengan fokus ekonomi kerakyatan. Bogor menjadi salah satu kota yang menjalankan tiga program utama tersebut, karena di kota ini terdapat sumber daya ekonomi yang mendukung pelaksanaannya.
Pemerintahan Soekarno-Hatta menanggapi lemahnya ekonomi Indonesia pasca perang kemerdekaan hingga 1949 dengan kebijakan Rencana Urgensi Perekonomian (RUP). Kebijakan ini, melalui Perdana Menteri M. Natsir, bertujuan mengkonsolidasi dan mendukung para pengusaha pribumi, terutama di sektor perkebunan dan pertanian rakyat. RUP berfokus pada penguatan industri perkebunan dan pertanian di desa-desa karena banyak tenaga kerja dari desa yang tidak terserap dalam angkatan militer.
Kebijakan RUP kemudian berkembang menjadi kebijakan Ekonomi Benteng, yang memberi prioritas dan fasilitas bagi pengusaha pribumi, seperti kemudahan akses kredit perbankan dan sumber daya alam. Namun, di Bogor, kebijakan ini menghadapi masalah karena akses kredit hanya dinikmati oleh kelompok penguasa lokal, terutama keluarga birokrasi, yang menciptakan ketimpangan dan monopoli.
Selain itu, kebijakan landreform juga menghadapi hambatan serupa. Distribusi tanah tidak merata dan lebih banyak dikuasai oleh kelompok penguasa lokal. Hasil penelitian H. ten Dam menunjukkan bahwa penduduk Cibodas-Bogor, yang mencapai 5.000 orang, harus bertahan dengan tanah produktif yang hanya seluas 800 hektar. Banyak dari mereka adalah buruh tani yang tidak memiliki tanah dan terpaksa bekerja di sektor perkebunan yang dikelola oleh pemerintah.
Industri perkebunan di Bogor, khususnya teh dan karet, berkembang kembali melalui perusahaan negara PTPN X. Namun, meski produksi melimpah, sektor distribusi, terutama ekspor, menghadapi kendala akibat hubungan buruk Indonesia dengan negara-negara Barat dan persaingan komoditas dari China.
Di sektor pertanian padi, pemerintah memperkenalkan bibit unggul (Ungnas) melalui Lembaga Penelitian Benih di Bogor, tetapi akses bibit ini terbatas pada petani yang memiliki jaringan birokrasi. Banyak petani kesulitan memperoleh bibit ini, yang memperburuk ketimpangan dan menghambat peningkatan produksi beras.
Pada akhirnya, situasi ekonomi di Bogor pada masa pemerintahan Orde Lama menciptakan kesenjangan antara petani dan menurunkan produksi beras. Pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat seiring dengan stagnasi produksi pangan memperburuk krisis pangan di daerah ini.