Ketika permintaan pasar internasional meningkat, Bogor mulai mengembangkan tanaman komoditi seperti teh. Daerah ini memiliki kondisi yang sangat baik untuk pertumbuhan teh, dan pada tahun 1648, tanaman teh dibawa ke Bogor oleh seorang Jerman. Upaya penanaman teh oleh VOC dimulai pada awal abad ke-19 sebagai bagian dari perubahan kebijakan ekonomi kolonial.
Kendala utama dalam pengembangan perkebunan teh di Bogor adalah ketersediaan sumber daya manusia. Masyarakat setempat yang lebih terbiasa dengan sistem berladang sulit diajak untuk beralih ke sistem perkebunan yang membutuhkan lebih banyak tenaga kerja. Dalam upaya mengatasi masalah ini, pemerintah kolonial merekrut tenaga kerja dari China untuk mendukung industri teh, bekerja sama dengan penduduk lokal.
Dengan pengawasan ketat dan manajemen yang baik, teh dari Bogor dikenal memiliki kualitas yang lebih unggul dibandingkan dengan teh dari daerah lain di Jawa. Keberadaan petugas pengawas dari Eropa dan tenaga ahli dari China menjadi strategi penting dalam memastikan kualitas dan produktivitas perkebunan teh di wilayah Priangan.
Selain itu juga ada faktor lain yakni keberadaan bibit teh terbaik yang sebelumnya di bawa oleh Jacobson, yang kemudian disebar di beberapa wilayah perkebunan yang ada di Jawa. Demi mendapatkan hasil yang terbaik bagi kualitas teh, pemerintah kolonial juga melakukan mobilisasi yang cukup besar pula dalam hal tenaga kerja (buruh) yang bekerja sebagai pemetik teh. Sebagai gambaran untuk melihat besarnya mobilisasi pekerja dalam produksi teh di daerah Priangan, sebagai berikut adalah data mengenai gambaran perkebunan teh di Jawa :
Areal perkebunan teh yang diusahakan oleh perkebunan teh sepanjang kurunÂ
waktu 1835-1840 adalah rata-rata seluas 500 bau, dengan 2.345.960 rumpun tanaman teh, dimana 707.460 untuk mengembangkan produksi teh hitam. Tiga pabrik pengolahan teh yang besar masing-masing memerlukan 200.000 rumpun pohon teh dan 17 pabrik pengolahan teh yang kecil dimana masing-masing bisa menampung sebanyak 100.000 rumpun tanaman teh. Kemudian teh kering yang dihasilkan oleh 20 pabrik pengolahan tersebut ditampung dalam empat gudang pengepakan. (Padmo, 2004: 161).Â
Berdasarkan penjelasan Soegijanto Padmo mengenai mapping industri perkebunan teh di Jawa, maka dapat ditafsirkan bahwa perkebunan teh yang berada di Cipanas (Bogor) merupakan salah satu dari wilayah penanaman teh dan penagkaran teh yang berada di Jawa Barat, dibawah pabrik utama (20 pabrik utama) pengolahan yang berada di afdeling Sukabumi. Pengelolaan perkebunan yang dilakukan dengan ketat dan manajerial yang cukup baik, serta mobilisasi penduduk yang kemudian diberikan kompensasi gaji dalam pekerjaan memetik, pengolahan dan pengepakan teh, menjadikan secara ringkas pengusahaan perkebunan teh yang dilakukan oleh pemerintah hingga masa akhir dekade abad ke-19.
Pada sisi lain pengusahaan teh yang dilakukan oleh pemerintah kolonial secara baik ternyata tidak memberikan hasil yang positif di satu sisi yang lainnya. Kualitas teh yang diusahakan oleh pemerintah kolonial HindiaBelanda ternyata masih sangat jauh dari yang diharapkan , jika dibandingkan dengan teh yang berasal dari dari India, China dan Jepang. Pasar internasional kurang mengakomodasi kualitas teh yang dihasilkan dari Hindia-Belanda, dan hal ini berdampak pada perminataan teh dari Hindia-Belanda dalam pasar internasional.
Kelesuan pasar internasional terhadap komoditi teh yang berasal dari Hindia-Belanda, berdampak pada produksi teh yang diusahakan oleh pemerintah. Pengeluaran (cost produksi) yang ditanggung oleh pemerintah kolonial bertambah besar, sementara itu daya jual komoditi teh dari HindiaBelanda melemah. Secara singkat dapat digambarkan melalui data-data yang dirangkum oleh Soegijanto Padmo (2004: 163) sebagai berikut :
Selisih yang cukup besar antara biaya produksi dengan nilai jual dari komoditi teh, pada akhirnya membuat pemerintah kolonial mengevaluasi produksi teh yang diusahakan oleh pemerintah kolonial. Pengusahaan tanaman komoditi teh yang dilakukan oleh pemrintah kolonial yang cenderung menurun dan menambah beban pengeluaran pemerintah, memaksa pemerintah untuk tidak lagi mengusahakan tanaman komoditi teh. Masa-masa ini menjadi masa-masa suram  dari aktivitas penanaman dan perdagangan teh di Hindia-Belanda, pada masa ini pula memasuki masa-masa peralihan pengusahaan teh dari pemerintah kepada sektor swasta.