Penurunan produksi dan perdagangan komoditi teh yang terjadi dalam skala besar di pulau Jawa, menjadi pemantik bagi munculnya kebijakan ekonomi yang baru dalam usaha pembudidayaan komoditi teh di HindiaBelanda. Secara makro produksi teh yang berlangsung dalam dekade 1850-an ini merupakan satu periode pengusahaan komoditi teh, yang dilakukan pada masa kebijakan ekonomi-politik tanam paksa (Culturstelsel).
Beralihnya haluan kebijakan ekonomi negeri induk yang semula dikuasai oleh kelompok konservatif, kemudian menuju kebijakan liberal, yang dikendalikan oleh golongan liberal merupakan satu situasi yang kelak juga mempengaruhi kebijakan ekonomi-politik di Hindia-Belanda. Kegagalan pemerintah kolonial dalam mengelola tanah jajahan dan rendahnya kemampuan daya saing ekonomi Kerajaan Belanda, dalam pasar internasional membuat angin politik beralih kepada golongan liberal. Pada tahun 1870-an merupakan satu era dimana berakhirnya kebijakan politik konservatif yang termanifestasi dalam bentuk kebijakan tanam paksa (Culturstelsel).
Kerugian yang tidak kunjung reda, yang diterima oleh pemerintah kolonial akibat pengusahaan tanaman komoditi teh, sempat disiasati oleh pemerintah
kolonial dengan mengizinkan para penduduk menanam kopi dipekarangan rumah para penduduk masing- masing. Kebijakan ini dilakukan guna menekan angka pengeluaran upah dan biaya hidup yang dibutuhkan oleh para penduduk di sepanjang wilayah lahan perkebunan teh di daerah Priangan, termasuk juga di daerah Cipanas-Bogor. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial, pada akhirnya tidak dapat mengurangi beban kerugian pemerintah kolonial dalam penguasahaan tanaman komoditi teh. Berdasarkan surat keputusan pemerintah kolonial No. 5 tanggal 1 Mei 1864, pemerintah kolonial mulai merubah status perkebunan teh yang dikuasai oleh pemerintah kolonial kepada pihak swasta.
Akuisisi status perkebunan ke arah swastanisasi ini menjadi satu periode tersendiri dari sejarah perkebunan di Indonesia. Perubahan ini diawali dengan kebijakan ekonomi pemerintah kolonial yang mengeluarkan UU Agraria (Agrarische wet Staatblad) tahun 1870, dimana undang-undang tersebut tidak hanya melepaskan separuh beban pemerintah kolonial dalam pembiayaan aktivitas ekonomi di Hindia-Belanda, akan tetapi di satu sisi juga memberikan ruang untuk mengakomodasi kepentingan kongsi dagang dari Barat untuk menanamkan modalnya di bidang perkebunan.
Masuknya modal-modal dari Barat ke dalam usaha perkebunan teh di Jawa Barat, khususnya di wilayah CipanasBogor tidak hanya merubah status perkebunan semata, akan tetapi kelak juga akan merubah status tanah penduduk dan bentuk-bentuk hubungan sosial yang berlaku. Berikut terlebih dahulu akan dijabarkan mengenai proses swastanisasi perkebunan teh yang terjadi di seluruh wilayah Priangan, khususnya di wilayah Cipanas-Bogor, sebagai wilayah perkebunan teh yang berada dalam naungan afdeling Sukabumi
Sejatinya proses pengelolaan perkebunan teh yang bersandar pada usaha swasta pertama kali dilakukan di daerah Priangan Tengah, yakni sekitar wilayah Bandung. Para pemodal atau pengusaha dari Barat yang ingin terlibat dalam usaha perkebunan teh diwilayah Priangan mengajukan permohonan dan mengurus seluruh keperluan administrasi kepada Residen Priangan. Residen Priangan adalah perwakilan dari Gubernur Jendral di Batavia, yang diberikan mandat untuk mengelola dan memanajerial wilayah Priangan. Beberapa perusahaan yang kemudian masuk kedalam wilayah Priangan untuk terlibat dalam bisnis perkebunan teh, diantaranya yang cukup dikenal ialah :
1. Keluarga pengusaha Rudolph Albert Kerkhoven yang membuka perkebunan teh di Arjasari pada tahun 1869.
2. Karel Albert Rudolf Bosscha yang dikenal sebagai raja teh Priangan, ia tiba di Jawa pada tahun 1887.
3. Karel Frederick Holle, seorang pengusaha teh yang membuka perkebunan di wilayah kaki Gunung Cikuray.
Para pengusaha yang masuk kedalam wilayah Priangan tersebut, membuka usaha perkebunan teh atas seizin pemerintah kolonial HindiaBelanda. Mereka tidak hanya melakukan akuisis terhadap beberapa pabrik teh, akan tetapi juga melakukan penyewaan terhadap tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara (pemerintah kolonial) dan tanahtanah yang dimiliki oleh penduduk (perseorangan). Kebutuhan akan tanahtanah sewaan guna membangun industri perkebunan di wilayah Priangan semakin meningkat permintaannya. Seperti yang dilaporkan oleh Residen Priangan L. De Steurs dalam Memories van Overgave tahun 1921, bahwa jumlah perkebunan di seluruh wilayah Priangan cukup banyak dan masih akan terus bertambah.