Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menunggangi Kuda Mati

24 Januari 2025   15:54 Diperbarui: 24 Januari 2025   15:54 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kuasa hukum saat membacakan keterangan pada sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, pada Kamis (23/1) di  Mahkamahh Konstitusi (Humas/Bayu)

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi arena pertarungan sengketa hasil Pilkada 2024. Sebanyak 309 gugatan diajukan oleh para calon kepala daerah yang merasa dirugikan oleh hasil perhitungan suara Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Namun, sebagian besar gugatan ini menunjukkan pola yang mirip dengan apa yang sering disebut sebagai teori kuda mati. Istilah ini mengacu pada situasi di mana seseorang terus berusaha "menunggangi" sesuatu yang jelas-jelas sudah tidak bernyawa, hanya demi menciptakan ilusi harapan atau sekadar mempertahankan gengsi.

Pilkada 2024 menghadirkan banyak kasus di mana penggugat sebenarnya sudah memahami bahwa peluang mereka untuk menang di MK hampir tidak ada. Tapi mengapa mereka tetap maju ke MK, meskipun hasil akhirnya kemungkinan besar tidak akan berpihak pada mereka?

1. Gugatan yang Tidak Rasional: Selisih Suara Terlampau Besar

Salah satu indikator kuat dari teori kuda mati adalah gugatan yang diajukan dengan selisih suara yang jauh melampaui ambang batas yang diatur dalam Pasal 158 UU Pilkada. Ambang batas ini dirancang untuk mencegah gugatan yang sia-sia dan hanya membuang waktu.

Namun, kenyataannya, masih banyak penggugat yang mengabaikan aturan ini dan tetap maju dengan dalih adanya pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM). Contohnya, pasangan calon dengan selisih suara puluhan ribu tetap yakin bahwa hasil bisa dibatalkan hanya dengan klaim pelanggaran yang sering kali tidak didukung bukti konkret.

Padahal, Mahkamah sudah berulang kali menegaskan bahwa TSM harus dibuktikan secara kuat, baik dari sisi keterorganisasian, dampaknya yang signifikan, maupun keterlibatan aparat negara.

2. Sekadar Menciptakan Narasi Politik

Dalam politik, "kalah" tidak selalu berarti kehilangan semua modal. Beberapa pihak menggunakan gugatan di MK sebagai alat untuk menciptakan narasi bahwa mereka adalah korban kecurangan. Dengan menyebarkan isu pelanggaran besar-besaran, mereka berharap dapat memelihara simpati publik dan tetap relevan secara politik.

Langkah ini sering kali tidak diarahkan untuk memenangkan gugatan, melainkan untuk menjaga citra. Misalnya, dengan terus menggugat meski tahu peluangnya nihil, penggugat dapat mengatakan kepada pendukungnya bahwa mereka telah berjuang hingga titik terakhir. Ini juga menjadi cara untuk "menyimpan" amunisi politik bagi pemilu berikutnya.

3. Menghindari Stigma Kalah Tanpa Perlawanan

Bagi sebagian politisi, mengakui kekalahan tanpa berbuat apa-apa dianggap sebagai penghinaan terhadap pendukungnya. Menggugat ke MK menjadi semacam ritual untuk menunjukkan bahwa mereka tidak menyerah begitu saja.

Namun, dalam banyak kasus, gugatan ini justru menjadi bumerang. Ketika tidak ada bukti kuat yang diajukan, MK akan dengan mudah menolak perkara, sehingga mempertegas bahwa kekalahan tersebut memang sah secara hukum. Alih-alih mendapatkan simpati, langkah ini justru sering kali dianggap sebagai upaya "ngotot tanpa dasar" yang membuang waktu dan energi semua pihak.

4. Mahalnya Biaya Demokrasi

Salah satu alasan mengapa teori kuda mati terus terjadi dalam sengketa Pilkada adalah mahalnya biaya yang sudah dikeluarkan selama kampanye. Bagi calon kepala daerah yang telah menginvestasikan banyak waktu, tenaga, dan uang, menerima kekalahan begitu saja terasa terlalu pahit.

Gugatan di MK menjadi semacam "kesempatan terakhir" untuk mengejar harapan yang sudah sangat tipis. Meski secara logis mereka tahu bahwa peluang menang hampir tidak ada, langkah ini dianggap lebih baik daripada menyerah begitu saja.

5. Peluang Politik di Balik Kuda Mati

Ada juga spekulasi bahwa beberapa gugatan di MK tidak benar-benar ditujukan untuk menang, melainkan untuk menegosiasikan posisi politik tertentu. Dengan menunjukkan keberanian dan keteguhan melalui gugatan, beberapa politisi berharap dapat memperkuat posisi tawar mereka di hadapan pemenang atau partai-partai politik yang berkuasa.

Selain itu, proses gugatan dapat digunakan untuk "menguji" dukungan publik dan konsolidasi basis massa. Meskipun kalah di pengadilan, proses ini bisa menjadi batu loncatan untuk karier politik selanjutnya.

Apa yang Bisa Dilakukan untuk Mengakhiri Fenomena Ini?

Fenomena "teori kuda mati" dalam sengketa Pilkada menunjukkan perlunya pembenahan, baik dari sisi regulasi maupun budaya politik. Beberapa langkah yang dapat diambil adalah:

  1. Penegakan Pasal 158 UU Pilkada dengan Lebih Tegas
    MK perlu memperketat penyaringan perkara berdasarkan ambang batas selisih suara. Jika suatu gugatan tidak memenuhi kriteria ini, seharusnya langsung ditolak tanpa perlu melewati proses persidangan panjang.
  2. Edukasi Publik tentang Proses Hukum
    Partai politik dan kandidat perlu dididik untuk memahami bahwa MK bukanlah arena untuk mencari simpati, melainkan tempat untuk menegakkan keadilan berdasarkan bukti.
  3. Meningkatkan Transparansi Pemilu
    Banyaknya gugatan yang muncul menunjukkan bahwa masih ada ruang untuk meningkatkan transparansi dan kepercayaan publik terhadap proses pemilu. Jika proses pemilu berjalan dengan lebih baik, potensi munculnya sengketa akan berkurang.

Gugatan sengketa Pilkada yang terjebak dalam teori kuda mati adalah potret budaya politik yang masih enggan menerima kekalahan secara elegan. Meski peluang menang sangat kecil, banyak calon kepala daerah tetap memilih untuk "bertarung" di MK, meskipun itu berarti menunggangi kuda yang sudah tidak bernyawa.

Dalam demokrasi, menerima kekalahan dengan lapang dada adalah bagian penting dari proses pembelajaran politik. Namun, selama budaya politik masih menempatkan kemenangan sebagai satu-satunya indikator keberhasilan, teori kuda mati akan terus berulang, menciptakan beban bagi sistem hukum dan demokrasi kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun