Kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas akhirnya tercapai, membawa secercah harapan di tengah konflik berkepanjangan yang telah menelan ribuan korban jiwa.
Pada tahap awal, kesepakatan ini mencakup penghentian pertempuran sementara yang dimulai Minggu (19/1/2025) pagi waktu setempat. Sebagai bagian dari kesepakatan, Hamas akan membebaskan sejumlah sandera Israel yang telah ditahan sejak serangan pada Oktober 2023, sementara Israel akan membebaskan ratusan tahanan Palestina.
Langkah ini diharapkan menjadi pijakan awal menuju negosiasi lebih lanjut yang akan menentukan masa depan Gaza pasca-perang.
Selain pertukaran sandera dan tahanan, kesepakatan juga mencakup pengurangan keberadaan militer Israel di wilayah Gaza, terutama di koridor Philadelphi yang berbatasan dengan Mesir.
Namun, tuntutan Hamas untuk jaminan penghentian perang secara permanen masih menjadi isu yang sulit disepakati oleh pihak Israel. Komunitas internasional, termasuk Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat, berperan besar dalam memediasi kesepakatan yang diwarnai ketegangan politik di menit-menit terakhir.
Perjalanan Sulit Menuju Kesepakatan
Kesepakatan gencatan senjata ini dicapai setelah berbulan-bulan negosiasi yang sulit, termasuk upaya terakhir yang berlangsung hingga Kamis malam. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menunda pengumuman resmi hingga semua rincian diselesaikan, menyoroti betapa sulitnya mencapai kata sepakat antara Israel dan Hamas.
Salah satu hambatan terbesar adalah ketidaksepakatan mengenai daftar tahanan dan sandera yang akan dibebaskan, serta tuntutan Hamas agar perang benar-benar dihentikan secara permanen.
Namun, di balik layar, Netanyahu juga menghadapi perlawanan dari mitra koalisi garis keras dalam pemerintahannya. Menteri Keamanan Nasional, Itamar Ben-Gvir, mengancam akan mundur jika kesepakatan diterapkan hingga fase kedua yang mencakup penghentian perang total.
Ancaman ini menunjukkan betapa rapuhnya posisi Netanyahu, yang harus menjaga keseimbangan antara tuntutan internasional untuk perdamaian dan tekanan domestik dari kubu konservatif.
Konflik Internal di Israel
Negosiasi ini tidak hanya memperlihatkan jurang perbedaan antara Israel dan Hamas, tetapi juga mengungkap ketegangan politik di dalam negeri Israel. Netanyahu menghadapi tekanan besar dari koalisi sayap kanan yang menentang kesepakatan ini.
Menteri Diaspora, Amichai Chikli, misalnya, mengancam akan keluar dari pemerintahan jika Israel mundur dari wilayah yang telah dikuasai selama perang, termasuk koridor Philadelphi di perbatasan Gaza dan Mesir. Wilayah ini dianggap strategis oleh Israel, tetapi juga menjadi titik panas dalam hubungan dengan Mesir.
Sementara itu, Ben-Gvir dengan lantang menyatakan bahwa jika fase kedua kesepakatan diimplementasikan, partainya, Otzma Yehudit, akan keluar dari koalisi. Namun, ia juga menyatakan kesediaannya untuk kembali bergabung jika Israel melanjutkan perang.
Sikap ambigu ini mencerminkan dinamika politik yang kompleks, di mana para pemimpin politik berusaha menyeimbangkan antara kepentingan nasional dan agenda pribadi.
Tantangan Implementasi Kesepakatan
Meskipun kesepakatan ini telah disetujui, tantangan implementasinya sangat besar. Salah satu masalah utama adalah daftar tahanan dan sandera yang akan dibebaskan.
Pada menit-menit terakhir, Hamas mengajukan tuntutan tambahan untuk membebaskan enam tahanan senior, termasuk tokoh politik Palestina, Marwan Barghouti. Tuntutan ini hampir menggagalkan kesepakatan, tetapi akhirnya berhasil diselesaikan melalui mediasi intensif oleh Mesir dan Qatar.
Selain itu, ada juga tantangan logistik yang harus dihadapi. Israel telah membangun infrastruktur militer yang signifikan di Gaza selama perang, termasuk pangkalan militer dan tempat perlindungan bom.
Menurut pejabat keamanan Israel, infrastruktur ini dapat dibongkar dengan cepat jika diperlukan, tetapi prosesnya tetap membutuhkan koordinasi yang rumit.
Harapan dan Kekhawatiran Warga Gaza
Bagi warga Gaza, gencatan senjata ini memberikan secercah harapan setelah bertahun-tahun hidup di tengah konflik. Wilayah ini telah hancur lebur akibat perang, dengan lebih dari 46.000 orang tewas, menurut data pejabat kesehatan Palestina. Sebagian besar korban adalah warga sipil, termasuk wanita dan anak-anak, yang menjadi korban langsung dari serangan udara dan bentrokan di darat.
Namun, meskipun ada harapan untuk perdamaian, banyak warga Gaza yang skeptis. Mereka telah menyaksikan berbagai kesepakatan gencatan senjata sebelumnya yang berakhir dengan kembalinya kekerasan.
"Kami hanya ingin hidup dengan damai, tetapi setiap kali ada kesepakatan, selalu ada sesuatu yang membuatnya gagal," kata seorang warga Gaza yang kehilangan keluarganya dalam perang.
Reaksi Keluarga Sandera
Di sisi lain, keluarga para sandera Israel juga menyambut baik kesepakatan ini, meskipun dengan perasaan campur aduk. Bagi mereka, kesepakatan ini adalah satu-satunya harapan untuk melihat orang-orang tercinta mereka kembali dengan selamat. Namun, banyak dari mereka yang khawatir bahwa kegagalan kesepakatan ini akan menjadi "hukuman mati" bagi para sandera yang tersisa.
Einav Zangauker, salah satu pemimpin protes keluarga sandera, mengatakan bahwa kegagalan kesepakatan ini akan membawa konsekuensi yang mengerikan. Putranya, Matan, adalah salah satu dari sandera yang baru akan dibebaskan pada fase kedua kesepakatan. "Kami tidak punya pilihan lain selain berharap," katanya dalam sebuah konferensi pers.
Masa Depan Perdamaian
Kesepakatan gencatan senjata ini, meskipun penting, hanyalah langkah awal menuju perdamaian yang lebih permanen. Banyak tantangan yang harus dihadapi, mulai dari implementasi teknis hingga dinamika politik yang kompleks. Selain itu, keberhasilan kesepakatan ini juga bergantung pada dukungan dari komunitas internasional, termasuk Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar, yang telah memainkan peran penting sebagai mediator.
Daniel Levy, mantan pejabat pemerintah Israel, mengatakan bahwa Netanyahu mungkin akan menggunakan fase pertama kesepakatan ini sebagai cara untuk menghindari krisis politik, tetapi ada kemungkinan besar bahwa ia akan menghentikan proses tersebut jika tekanan domestik meningkat.
"Netanyahu sekarang mungkin setuju dengan kesepakatan ini secara enggan, tetapi ia juga sedang mempersiapkan cara untuk keluar darinya," kata Levy.
Dalam konteks konflik Gaza yang telah berlangsung selama puluhan tahun, kesepakatan ini adalah momen penting yang memberikan harapan bagi jutaan orang. Namun, jalan menuju perdamaian masih panjang dan penuh tantangan.
Baik Israel maupun Hamas harus menunjukkan komitmen yang nyata untuk menghormati kesepakatan ini, sementara komunitas internasional harus terus memberikan tekanan untuk memastikan keberlanjutan proses perdamaian.
Pada akhirnya, hanya waktu yang akan menentukan apakah gencatan senjata ini menjadi awal dari perdamaian yang sejati, atau sekadar jeda sementara dalam siklus kekerasan yang tidak berujung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H