Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Nostalgia 'Taxi' Palu: "Kiri, Om! Belakang Bayar"

17 Januari 2025   17:12 Diperbarui: 17 Januari 2025   17:12 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siswa Palu era 80-90an ba gantung di angkutan kota/taxi kota (antara foto)

Ada kalimat ikonik yang membawa saya kembali ke masa remaja, "Kiri, Om, belakang yang bayar." Ah, nostalgia masa SMA hingga kuliah di era 80-an dan 90-an, ketika angkutan kota (angkot) biru menjadi raja jalanan Kota Palu.

Di dalam angkot itu, ada ritual yang kini terasa absurd: para siswa patungan ongkos untuk penumpang terakhir yang rumahnya paling jauh. Rasanya begitu akrab, seperti sebuah sistem sosial mini yang solid.

Di dalam angkot, kursi panjang tanpa sekat memaksa kita duduk berhadap-hadapan, sering kali berhimpitan saat jam sibuk. Aroma tak terelakkan: parfum siswa, keringat petani, bahkan hasil laut yang baru dibawa dari pasar.

Diiringi alunan Dian Piesesha atau Pance Pondaag dari kaset yang berputar, suasana jadi lebih hidup. Kadang, sopir ikut bersenandung sambil menggoyang-goyangkan kepala. Harmoni yang sederhana tapi berkesan.

Namun, bagi anak sekolah, ada aktivitas yang jauh lebih seru: "ba gantung." Itu bahasa Palu untuk "bergantungan." Alih-alih duduk nyaman di dalam angkot, kami lebih memilih berdiri di pintu.

Ya, meski berbahaya, ba gantung adalah gaya hidup. Dipepet angin, baju berkibar, kaki kadang terpeleset. Tapi itulah sensasi kebebasan. Bahkan kalau angkot sudah kosong, beberapa teman tetap bertahan ba gantung.

"Totalitas, ces!" kata mereka sambil tertawa.

Saat itu taksi masih menjadi primadona transportasi di Kota Palu, selain ojek pangkalan dan taksi yang memiliki argometer (sebutannya argo). Kerapkali orang ingin bepergian dengan transportasi umum, naik taksi jadi pilihan paling ekonomis.

Minusnya, ketiadaan trayek yang jelas sehingga masa waktu tempuh tidak bisa terukur. Bisa 15 menit hingga berjam-jam karena beberapa sopir mengambil penumpang dengan tujuan sangat acak.

Bisa saja penumpang naik dari Pasar Masomba namun dibawa menyeberang ke Palu Barat, baru diantar ke tempat tujuan. Tapi bisa saja penumpang diturunkan di tengah jalan karena ternyata ada lebih banyak penumpang lain yang tidak searah jalurnya.

Ketidaan trayek inilah menjadi salah satu kemunduran dari taksi. Warga Kota Palu pelan-pelan meninggalkan taksi dan beralih ke kendaraan pribadi. Saat kepemilikan sepeda motor dan mobil pribadi lebih mudah. Opsinya bisa bayar tunai atau mencicil.

Pengalaman saya waktu pulang kuliah dari kampus Untad di Tondo ke rumah benar-benar menguji kesabaran. Seharusnya perjalanan hanya memakan waktu 20 menit. Namun, karena sopir mengantar penumpang lain, teman-teman mahasiswa, ke tempat tujuan yang acak dan berbeda-beda, perjalanan saya sering kali memakan waktu hingga 1-2 jam. Bayangkan rasa lapar yang saya alami saat itu, menunggu dengan harap-harap cemas kapan akhirnya tiba di rumah.

Zaman Emas Angkot di Palu

Era 90-an bisa dibilang masa kejayaan angkot di Kota Palu. Jumlah mobil pribadi masih terbatas, dan Toyota Kijang atau Mitsubishi Colt adalah simbol kemewahan.

Angkot, yang disebut "taksi" oleh warga Palu, adalah penyelamat mobilitas masyarakat. Sopir bisa mengangkut hingga 15 orang sekaligus pada jam sibuk, sebagian besar siswa-siswi sekolah. Bahkan, mengejar angkot seperti lomba lari kecil di halte adalah pemandangan sehari-hari.

Tapi keemasan itu mulai pudar. Ketika sepeda motor menjadi lebih terjangkau, masyarakat mulai beralih. "Dulu, kami yang dikejar penumpang. Sekarang, kami yang mengejar penumpang. Kadang parkir berjam-jam di terminal pun penumpang nggak ada," keluh Syamsudin, seorang sopir angkot yang sudah lebih dari 30 tahun beroperasi.

Berdasarkan data yang dimiliki oleh Dinas Perhubungan Kota Palu, jumlah taksi angkot mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2022, tersisa 40 unit angkot, sementara tahun lalu berkurang lagi menjadi 30 unit saja.

Angkot tersebut dewasa ini lebih banyak dicarter para pedagang dari luar Kota Palu, yakni Sigi dan Donggala, untuk membawa hasil bumi dan sayur-sayuran ke Pasar Manonda atau Masomba.

Sebagian besar kendaraan bahkan sudah tidak laik jalan. Tapi apa daya, sopir tak punya dana untuk peremajaan. "Pendapatan sekarang hanya cukup buat beli bensin dan makan," kata Johan, sopir lain yang kini juga kerja serabutan sebagai peternak.

Kompetisi Transportasi: Online vs. Konvensional

Kehadiran ojek dan taksi online adalah paku terakhir di peti mati transportasi konvensional. Dengan harga yang transparan, keamanan terjamin, dan fasilitas yang lebih nyaman, wajar jika masyarakat beralih ke moda baru ini.

Ibu-ibu yang dulu langganan angkot kini lebih suka naik ojek online karena lebih praktis. Pelajar dan mahasiswa? Mereka memilih moda transportasi yang lebih cepat dan fleksibel.

Namun, ada ironi yang menggelitik. Banyak pengguna ojek online adalah mereka yang dulu "eksis" di pintu angkot. Dulu nggandul, sekarang main HP sambil menunggu driver datang. Mungkin ini evolusi manusia versi transportasi.

Nostalgia yang Tergerus Zaman

Bagi saya, ada rindu pada kesederhanaan transportasi di masa lalu. Sopir yang hapal rute tanpa GPS. Penumpang yang ngobrol tanpa perlu khawatir privasi dilanggar kamera ponsel. Bahkan, kesal karena sopir muter-muter cari penumpang adalah bagian dari cerita. Tapi apa daya, perkembangan zaman tak bisa dilawan.

Tating, seorang guru ASN, masih setia menggunakan angkot. "Walau sering harus nunggu lama, angkot itu nostalgia. Saya masih ingat, dulu kami suka kumpul uang buat ongkos teman yang rumahnya jauh. Rasanya seperti keluarga," kenangnya.

Namun, Tating tahu bahwa nostalgia saja tidak cukup untuk mempertahankan eksistensi angkot. Ia berharap ada pembaruan, mulai dari fasilitas yang lebih nyaman hingga trayek yang lebih jelas.

"Kalau nggak berubah, angkot akan punah. Tapi saya yakin, kalau dibenahi, pasti masih ada harapan," tambahnya.

Harapan di Tengah Keterbatasan

Para sopir seperti Syamsudin dan Johan tetap optimistis. Meski sulit, mereka percaya rezeki selalu ada. "Kadang ada penumpang yang bawa barang belanjaan dari pasar. Itu sudah lumayan. Yang penting tetap usaha," kata Johan sambil menyalakan rokok di terminal.

Namun, optimisme saja tidak cukup. Diperlukan gebrakan dari pemerintah untuk menyelamatkan moda transportasi konvensional ini. Apakah itu berupa subsidi, peremajaan kendaraan, atau integrasi dengan transportasi modern, sesuatu harus dilakukan. Jika tidak, cerita angkot hanya akan menjadi kenangan yang diceritakan dari generasi ke generasi.

Dan saya? Sesekali, saya ingin merasakan lagi sensasi "ba gantung." Tapi kali ini, bukan karena gaya, melainkan karena rindu akan masa lalu yang sederhana. Kiri, Om, belakang yang bayar! Ah, Palu, kau penuh cerita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun