Ibu-ibu yang dulu langganan angkot kini lebih suka naik ojek online karena lebih praktis. Pelajar dan mahasiswa? Mereka memilih moda transportasi yang lebih cepat dan fleksibel.
Namun, ada ironi yang menggelitik. Banyak pengguna ojek online adalah mereka yang dulu "eksis" di pintu angkot. Dulu nggandul, sekarang main HP sambil menunggu driver datang. Mungkin ini evolusi manusia versi transportasi.
Nostalgia yang Tergerus Zaman
Bagi saya, ada rindu pada kesederhanaan transportasi di masa lalu. Sopir yang hapal rute tanpa GPS. Penumpang yang ngobrol tanpa perlu khawatir privasi dilanggar kamera ponsel. Bahkan, kesal karena sopir muter-muter cari penumpang adalah bagian dari cerita. Tapi apa daya, perkembangan zaman tak bisa dilawan.
Tating, seorang guru ASN, masih setia menggunakan angkot. "Walau sering harus nunggu lama, angkot itu nostalgia. Saya masih ingat, dulu kami suka kumpul uang buat ongkos teman yang rumahnya jauh. Rasanya seperti keluarga," kenangnya.
Namun, Tating tahu bahwa nostalgia saja tidak cukup untuk mempertahankan eksistensi angkot. Ia berharap ada pembaruan, mulai dari fasilitas yang lebih nyaman hingga trayek yang lebih jelas.
"Kalau nggak berubah, angkot akan punah. Tapi saya yakin, kalau dibenahi, pasti masih ada harapan," tambahnya.
Harapan di Tengah Keterbatasan
Para sopir seperti Syamsudin dan Johan tetap optimistis. Meski sulit, mereka percaya rezeki selalu ada. "Kadang ada penumpang yang bawa barang belanjaan dari pasar. Itu sudah lumayan. Yang penting tetap usaha," kata Johan sambil menyalakan rokok di terminal.
Namun, optimisme saja tidak cukup. Diperlukan gebrakan dari pemerintah untuk menyelamatkan moda transportasi konvensional ini. Apakah itu berupa subsidi, peremajaan kendaraan, atau integrasi dengan transportasi modern, sesuatu harus dilakukan. Jika tidak, cerita angkot hanya akan menjadi kenangan yang diceritakan dari generasi ke generasi.
Dan saya? Sesekali, saya ingin merasakan lagi sensasi "ba gantung." Tapi kali ini, bukan karena gaya, melainkan karena rindu akan masa lalu yang sederhana. Kiri, Om, belakang yang bayar! Ah, Palu, kau penuh cerita.