Kapankah kiamat bagi umat manusia? Pertanyaan ini terus menghantui pikiran kita semua, bahkan di saat kita sedang asyik scrolling media sosial.
Ancaman kiamat tampaknya bisa datang dari mana saja: bencana nuklir, perubahan iklim, robot yang tiba-tiba jadi jahat, atau asteroid yang sedang menunggu giliran menabrak Bumi.
Namun, ada teori-teori yang lebih unik --- dan tentu saja lebih dramatis --- seperti yang dikemukakan oleh fisikawan Universitas Illinois, Heinz von Foerster.
Foerster, dengan otak matematisnya yang brilian, menghitung bahwa populasi manusia yang terus bertambah seperti kecepatan TikTok naik daun akan memunculkan satu tanggal penting: Jumat, 13 November 2026.
Pada hari itu, katanya, umat manusia bisa saja menemui akhir peradabannya. Kiamat ini tidak melibatkan alien atau naga, tetapi murni karena populasi manusia yang "terlalu cerdas" akan memusnahkan dirinya sendiri. Sungguh ironis, bukan?
Menurut Foerster, kiamat akan terjadi ketika populasi manusia mencapai angka yang, secara matematis, disebut tak terbatas. Ya, angka tak terbatas! Tidak ada yang tahu persis bagaimana ini bekerja dalam kehidupan nyata, tetapi mari kita bayangkan Bumi ini seperti pesta yang terlalu penuh: panas, sesak, dan tidak ada lagi makanan di meja prasmanan. Tambahkan sedikit bumbu perang nuklir dan ketegangan politik global, dan voila! Kita punya resep kiamat ala Foerster.
Tentu saja, teori ini bukan tanpa kontroversi. Beberapa ilmuwan skeptis, seperti Dr. Nafeez Ahmed, percaya bahwa peradaban kita tidak menuju kehancuran total, melainkan transformasi.
Menurut Ahmed, kita sedang berada dalam tahap "kemunduran" yang bisa berakhir dengan kelimpahan energi bersih dan teknologi canggih, asalkan manusia berhenti bergantung pada bahan bakar fosil dan pemimpin yang lebih suka drama daripada solusi.
Foerster bukanlah orang pertama yang menyebut populasi sebagai ancaman. Sebelumnya, Thomas Malthus, ekonom dan ahli demografi, sudah lebih dulu memperingatkan bahwa populasi yang terus meledak akan melampaui suplai makanan.
Teori Malthus ini sempat bikin orang zaman dulu ketakutan sampai-sampai mereka berpikir ulang untuk punya banyak anak.
Namun, teknologi ternyata punya cara sendiri untuk menggagalkan ramalan Malthus. Dari revolusi pertanian hingga teknologi pencetakan 3D untuk makanan (bayangkan makan pizza yang dicetak langsung dari printer!), manusia terus menemukan cara untuk memastikan pesta di Bumi ini tidak kehabisan makanan --- setidaknya untuk sementara waktu.
Solusi: Pajak Anak dan Pilihan Bijak
Foerster, dalam upayanya menyelamatkan umat manusia, sempat mengusulkan ide yang kontroversial: mengenakan pajak tinggi untuk keluarga yang punya lebih dari dua anak. Bayangkan saja: punya anak ketiga berarti bayar pajak ekstra! Mungkin terdengar tidak adil, tapi dalam skenario Foerster, ini adalah salah satu cara untuk memperlambat laju kiamat.
Namun, solusi ini tidak bisa berdiri sendiri. Profesor Daniel Brooks dari Universitas Toronto menekankan bahwa perubahan perilaku manusia adalah kunci. Pilihan bijak, seperti memilih pemimpin pro-sains dan mengurangi konsumsi berlebihan, bisa membantu kita menghindari skenario terburuk. Jadi, kalau ada pemilu, pilihlah pemimpin yang lebih suka mendukung penelitian energi bersih daripada membangun gedung pencakar langit untuk selfie.
Kita tak perlu menunggu asteroid jatuh atau robot mengambil alih dunia untuk merasakan cicipan kiamat. Kebakaran besar yang  melanda Los Angeles adalah bukti nyata bahwa ancaman itu sudah ada di depan mata.
Kota para bintang itu berubah menjadi neraka dunia, dengan langit oranye yang terasa seperti adegan film distopia.
Kebakaran ini, yang diperburuk oleh gelombang panas ekstrem dan kekeringan panjang akibat perubahan iklim, menunjukkan betapa rentannya kita terhadap alam yang sedang marah.
Tidak hanya menghancurkan rumah-rumah mewah Hollywood, api ini juga merusak ribuan hektar lahan, membahayakan satwa liar, dan mencemari udara hingga membuat kualitas udara menurun drastis.
Seperti yang diperingatkan Johan Rockstrm, kita telah melampaui enam dari sembilan batas planet yang menjaga stabilitas ekosistem Bumi. Kebakaran di Los Angeles adalah contoh nyata bagaimana perubahan iklim dapat memicu bencana besar yang berdampak luas.
Dengan suhu global yang terus meningkat, insiden serupa bisa menjadi hal biasa. Ini adalah pengingat bahwa kiamat versi kecil sudah mulai muncul di sekitar kita.
Apa yang Matahari Katakan?
Jika populasi dan perilaku manusia tidak cukup membuat kita deg-degan, Matahari punya ancamannya sendiri. Menurut penelitian dari ahli geofisika Universitas Chicago, Matahari akan semakin terang seiring waktu, yang bisa mengganggu siklus karbon di Bumi.
Dalam skenario ini, tanaman akan kelaparan karena kekurangan karbon dioksida, dan akhirnya, kita semua akan mengikuti jejak dinosaurus. Untungnya, ini tidak akan terjadi hingga 1,6 miliar tahun lagi --- cukup waktu untuk menikmati serial drama favorit Anda.
Namun, bukan berarti kita bisa santai-santai. Pelanggaran terhadap enam dari sembilan batas planet yang disebutkan oleh Johan Rockstrm sudah menjadi alarm darurat bagi umat manusia. Kita tidak tahu berapa lama planet ini bisa bertahan dengan pola konsumsi dan produksi kita yang sekarang.
Masih Ada Harapan: Teknologi dan Evolusi
Di tengah kekhawatiran ini, ada secercah harapan. Menurut penelitian terbaru, evolusi teknologi bisa menjadi penyelamat umat manusia. Energi bersih, kecerdasan buatan, dan pertanian laboratorium adalah beberapa inovasi yang dapat mengubah arah peradaban.
Namun, ini hanya mungkin jika kita mulai sekarang --- tidak lagi menunda-nunda seperti anak sekolah yang malas mengerjakan PR.
Dr. Nafeez Ahmed optimistis bahwa peradaban manusia bisa beralih ke era baru berbasis energi bersih yang melimpah dan terdesentralisasi. Dalam skenario ini, sistem kelimpahan baru bisa melindungi Bumi sekaligus memenuhi kebutuhan manusia. Namun, ini semua bergantung pada keberanian kita untuk mengganti hierarki industri lama dengan sistem yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Ramalan tentang kiamat memang selalu menarik perhatian. Namun, apa yang sebenarnya mereka katakan kepada kita? Bahwa kita punya pilihan. Masa depan Bumi --- dan kehidupan kita di dalamnya --- ada di tangan kita. Dari mengendalikan populasi hingga mengembangkan teknologi berkelanjutan, umat manusia memiliki peluang besar untuk mengubah arah sejarah.
Jumat, 13 November 2026, bisa menjadi akhir, tetapi juga bisa menjadi awal baru. Apakah kita akan memilih jalan menuju kehancuran atau kelimpahan? Itu semua tergantung pada kita. Satu hal yang pasti, kita tidak bisa lagi hanya berharap sambil menonton teori kiamat di YouTube. Saatnya bertindak --- atau bersiaplah untuk menjadi bagian dari sejarah Bumi yang dramatis dan tragis.
Jadi, mari kita bersiap. Bukan untuk kiamat, tapi untuk menyelamatkan diri kita sendiri dan generasi yang akan datang. Lagipula, siapa yang ingin melewatkan kesempatan untuk melihat apakah ramalan Foerster benar-benar terjadi?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI