Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ramadhan, Pendidikan dan Keberagaman di Sekolah Terpencil

13 Januari 2025   15:53 Diperbarui: 13 Januari 2025   16:21 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kepala sekolah dan guru sekolah terpencil, SMPN 28 Sigi menyambut siswa (dokpri)

Ketika wacana pemerintah meliburkan sekolah selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan bergulir, satu pertanyaan penting muncul: bagaimana dengan sekolah-sekolah di daerah terpencil yang 100 persen siswanya beragama Kristen atau beragama lain selain Islam?

Kebijakan seperti ini tentu memerlukan pendekatan yang lebih fleksibel agar dapat diterapkan tanpa mengesampingkan keberagaman yang ada di Indonesia.

Di daerah seperti SMPN 28 Sigi, misalnya, mayoritas siswa berasal dari keluarga Kristen. Kepala sekolah, Bapak Dekrius, mengungkapkan bahwa wacana ini membutuhkan penyesuaian agar relevan dengan konteks lokal.

"Kami memahami pentingnya menghormati bulan suci Ramadhan bagi umat Muslim, tapi di sekolah kami, kebijakan libur panjang mungkin tidak berdampak langsung pada kebutuhan siswa," ujarnya.

Dekrius menjelaskan bahwa sebagian besar siswa di sekolahnya lebih membutuhkan waktu belajar di kelas, mengingat keterbatasan fasilitas dan akses pendidikan.

"Bagi kami, kehilangan waktu belajar sebulan penuh akan menjadi tantangan besar, apalagi jika kebijakan ini diterapkan secara seragam di seluruh Indonesia," katanya.

Bagi sekolah-sekolah di daerah terpencil dengan mayoritas siswa non-Muslim, menjaga konsistensi belajar menjadi prioritas utama. Mardiana, seorang guru di salah satu sekolah Kristen di Sulawesi Tengah, menyoroti pentingnya mempertimbangkan keunikan kebutuhan setiap sekolah.

"Kami tetap menghormati tradisi Ramadhan, tetapi mungkin kebijakan libur sebulan penuh lebih relevan di wilayah yang mayoritas siswanya Muslim. Di tempat kami, siswa tetap perlu belajar karena waktu efektif kami sudah terbatas akibat tantangan geografis dan infrastruktur," katanya.

Mardiana juga mengusulkan agar sekolah-sekolah non-Muslim diberikan kebebasan untuk menentukan jadwal belajar mereka sendiri selama Ramadhan.

"Mungkin, kami bisa melanjutkan kegiatan belajar seperti biasa, dengan memberikan ruang bagi siswa yang ingin memperdalam iman mereka melalui kegiatan keagamaan sesuai tradisi Kristen," tambahnya.

Menghormati Keberagaman di Indonesia
Indonesia adalah negara dengan keberagaman agama dan budaya yang sangat kaya. Kebijakan pendidikan, terutama yang bersifat nasional, harus mempertimbangkan keragaman ini agar tidak memunculkan ketimpangan atau ketidakadilan.

Bagi sekolah di wilayah mayoritas Muslim, libur Ramadhan mungkin menjadi momentum untuk mendukung kegiatan keagamaan siswa. Namun, bagi sekolah di daerah terpencil yang mayoritas siswa beragama Kristen, pendekatan lain mungkin lebih relevan.

Nazira, seorang ibu di Palu yang memiliki anak bersekolah di sekolah Kristen, mengusulkan agar pemerintah memberikan opsi fleksibel.

"Mungkin kebijakan ini bisa diterapkan dengan pendekatan lokal. Artinya, sekolah-sekolah non-Muslim tetap menjalankan aktivitas belajar seperti biasa, sementara sekolah-sekolah yang mayoritas Muslim bisa mengikuti libur Ramadhan," ujarnya.

Menciptakan Kebijakan yang Inklusif
Sebagai langkah awal, pemerintah dapat mengadakan dialog dengan berbagai pihak, termasuk kepala sekolah, guru, dan komunitas lokal, untuk merumuskan kebijakan yang inklusif. Dengan mendengarkan kebutuhan dan tantangan di lapangan, kebijakan pendidikan selama Ramadhan bisa lebih responsif terhadap konteks masing-masing daerah.

Selain itu, pendekatan berbasis otonomi daerah juga bisa menjadi solusi. Dalam hal ini, pemerintah daerah diberi kebebasan untuk menentukan kebijakan yang sesuai dengan kondisi lokal.

Misalnya, di daerah mayoritas Kristen, sekolah bisa tetap beroperasi normal selama Ramadhan, sementara di wilayah mayoritas Muslim, kebijakan libur sebulan penuh bisa diterapkan.

Pada akhirnya, kebijakan apa pun yang diambil harus berorientasi pada kepentingan siswa. Dalam konteks keberagaman Indonesia, penting untuk memastikan bahwa semua siswa, tanpa memandang agama atau latar belakang mereka, mendapatkan akses pendidikan yang adil dan berkualitas.

Bagi sekolah-sekolah di daerah terpencil dengan mayoritas siswa Kristen, keberlanjutan pembelajaran menjadi kebutuhan utama yang tidak bisa diabaikan.

Dengan pendekatan yang inklusif dan fleksibel, wacana libur Ramadhan dapat menjadi kebijakan yang tidak hanya menghormati tradisi keagamaan, tetapi juga mencerminkan semangat keberagaman dan persatuan di Indonesia.

Sejarah Libur Ramadhan

Penerapan libur sekolah selama Ramadan memiliki sejarah yang beragam di berbagai negara, tergantung pada tradisi budaya, kebijakan pendidikan, dan mayoritas agama di masing-masing wilayah.

Di Indonesia, tradisi libur sekolah selama Ramadan sudah berlangsung cukup lama dan memiliki alasan historis, sosial, serta budaya yang kuat. Berikut adalah sejarah singkat penerapan kebijakan ini:

1. Awal Tradisi di Indonesia

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, kebijakan pendidikan disesuaikan dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam. Libur sekolah selama Ramadan menjadi bagian dari upaya menghormati bulan suci tersebut. Tradisi ini bertujuan memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih fokus menjalankan ibadah, seperti puasa, salat tarawih, dan membaca Al-Qur'an.

2. Periode Orde Lama

Pada masa pemerintahan Soekarno (1945–1965), pendidikan bersifat nasionalis dengan pendekatan yang lebih fleksibel terhadap kebijakan lokal. Selama Ramadan, banyak sekolah, terutama di daerah mayoritas Muslim, mengurangi jam belajar atau memberikan libur lebih panjang. Namun, kebijakan ini tidak seragam di seluruh wilayah Indonesia.

3. Periode Orde Baru

Pada era Soeharto (1966–1998), penerapan libur sekolah selama Ramadan lebih terstruktur. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai menetapkan jadwal libur secara nasional untuk memberikan kesempatan kepada siswa dan guru Muslim menjalankan ibadah selama Ramadan. Biasanya, sekolah diliburkan menjelang Lebaran atau beberapa hari terakhir Ramadan, yang dikenal sebagai "libur Idulfitri."

Selain itu, beberapa sekolah mulai menyelenggarakan kegiatan pesantren kilat selama Ramadan. Kegiatan ini bertujuan untuk mendidik siswa tentang nilai-nilai Islam, memperdalam pemahaman agama, serta menanamkan semangat beribadah selama bulan suci.

4. Reformasi dan Kebijakan Desentralisasi

Setelah Reformasi 1998, kebijakan pendidikan mengalami desentralisasi, yang memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah. Akibatnya, penerapan libur sekolah selama Ramadan menjadi lebih bervariasi, tergantung pada daerah dan tradisi setempat.

Beberapa daerah mulai mengintegrasikan kegiatan Ramadan ke dalam kurikulum sekolah, seperti:

  • Pesantren kilat: Kegiatan ini umumnya berlangsung beberapa hari sebelum libur panjang Ramadan.
  • Pengurangan jam belajar: Sekolah tetap beroperasi tetapi dengan jadwal yang lebih singkat untuk menghormati siswa yang berpuasa.

5. Penerapan Saat Ini

Saat ini, kebijakan libur sekolah selama Ramadan tetap berlaku, meskipun tidak seragam di seluruh Indonesia. Biasanya, jadwal libur disesuaikan dengan kalender akademik nasional yang ditetapkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Namun, beberapa daerah, terutama yang mayoritas Muslim, tetap memberikan penyesuaian tambahan.

Sekolah-sekolah berbasis agama Islam juga cenderung memiliki kebijakan khusus selama Ramadan, seperti memperpanjang waktu libur untuk memberikan kesempatan kepada siswa lebih fokus pada ibadah.

6. Perbandingan dengan Negara Lain

Tradisi libur sekolah selama Ramadan juga ditemukan di negara-negara lain dengan mayoritas Muslim, seperti Arab Saudi, Pakistan, dan Mesir. Di negara-negara tersebut, jadwal sekolah biasanya diatur ulang dengan pengurangan jam belajar atau bahkan libur total selama Ramadan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan umat Islam menjalankan ibadah puasa dan kegiatan keagamaan lainnya.

Namun, di negara dengan minoritas Muslim, seperti Amerika Serikat atau Eropa, libur sekolah selama Ramadan biasanya tidak diterapkan, tetapi ada kebijakan toleransi, seperti memberikan izin kepada siswa Muslim untuk tidak menghadiri sekolah pada hari-hari tertentu.

Penerapan libur sekolah selama Ramadan terus menghadapi tantangan di era modern, terutama terkait dengan:

  • Keseimbangan antara pendidikan dan ibadah: Beberapa pihak menganggap bahwa libur terlalu panjang dapat mengurangi efektivitas pendidikan.
  • Digitalisasi pendidikan: Selama pandemi COVID-19, beberapa sekolah mengadopsi pembelajaran daring selama Ramadan untuk menjaga kelangsungan pendidikan tanpa mengganggu ibadah.
  • Keberagaman budaya dan agama: Di daerah dengan populasi heterogen, kebijakan ini perlu disesuaikan agar tetap inklusif bagi semua siswa.

Sejarah penerapan libur sekolah selama Ramadan di Indonesia mencerminkan pengakuan terhadap nilai-nilai agama yang dianut mayoritas masyarakat. Meskipun kebijakan ini terus berkembang sesuai dengan dinamika sosial dan pendidikan, esensinya tetap untuk menghormati bulan suci dan mendukung generasi muda menjalankan ibadah dengan lebih khusyuk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun