Aku terbangun di pagi yang dini dan sunyi. Aku duduk di tepi tempat tidur, memandangi kalender yang menggantung di pojok kamar. Kudapati tahun akan berganti sebentar lagi dan tinggal menghitung hari. Lalu, apa yang mengenaskan? Aku menyadari bahwa aku belum menikah. So, what?
Di usia kepala tiga sepertiku, pertanyaan-pertanyaan seperti kapan nikah dan sejenisnya sudah tak terbendung lagi, menghindar pun percuma. Pertanyaan itu datang dari keluarga, teman, tetangga dari berbagai kalangan, sampai bocil-bocil SD.Â
Tekanan dan Cara Pandang Masyarakat
"Piye to mas wes tuwe ra duwe bojo?" tanya si anuÂ
Aku be like:
Aku mengerti, kenapa mereka mempertanyakan status lajangku. Ada yang memang benar-benar karena bentuk kepedulian mereka, sebagai ungkapan kekhawatiran atau saran yang tak diminta, ada juga yang bahkan cuma mengejek kelajanganku saja. Tetapi aku sudah kebal, tidak terprovokasi sedikitpun, apalagi marah.
Pandangan masyarakat terhadap pernikahan seringkali didasarkan pada stereotip dan ekspektasi yang tidak realistis dan aku tahu itu. Ada asumsi bahwa menikah di usia sebelum 30-an adalah tanda keberhasilan dan kebahagiaan yang mutlak. Namun, bagiku pandangan ini tidak mencerminkan kehidupan nyata dan kompleksitas individu.
Tentu, pada awalnya pertanyaan mereka begitu menjengkelkan dan terasa sakit, sampai-sampai aku tertekan, mentalku down dibuatnya. Aku memang punya latar belakang yang cukup memprihatinkan dan telah melalui banyak kejadian serta pengalaman pahit dalam hidup yang tak bisa kusebutkan satu persatu di sini. Dari situlah aku hidup dan melihat dunia dengan mata yang lapar akan pengetahuan dan haus akan tantangan . Namun, di balik semua itu, masyarakat seringkali melihatku sebagai "orang yang hanya belum menikah".
Ketika baru menginjak usia siap menikah dan bertahun setelahnya, aku sangat terganggu akan hal ini, karena aku memang tipe pemikir yang berlebihan. Dengan adanya masalah ini, otakku semakin bekerja  keras memikirakan banyak hal yang sebenarnya tak perlu. Akibatnya, pernah suatu waktu ketika masalah secara beruntun berdatangan dan menumpuk, aku seperti mengalami krisis identitas saat itu. Aku mulai mempertanyakan diri untuk apa aku hidup dan mulai tak percaya diri tampil di depan umum. Bahkan hampir kehilangan kendali atas emosi dan ketersinggunganku sudah mencapai tingkat yang akut. Aku seperti terasingkan yang berada di jalan menuju puncak sesuatu dengan jurang yang menggelincirkan. Menjadi yang bersalah, karena telah melanggar ekspektasi dan kelaziman orang sekitar.
Cara Bertahan dari Tekanan
Keadaan itu belangsung selama beberapa tahun belakangan. Tekanan sosial datang dari berbagai arah, dari orang terdekat sampai penjual pentol juga ada. Aku tak bisa membiarkan ini berlarut lebih lanjut. Aku pikir, tak ada yang mampu mengatasi masalah ini kecuali aku sendiri. Aku mencari dan mencoba apapun yang bisa mengurangi rasa terpuruk dan tertekan. Mulai dari pendekatan agama --dan aku cukup beruntung memilikinya-- kemudian belajar banyak materi tentang self healing dan self improvement, sampai belajar hal-hal baru, keterampilan baru, juga hobi baru.
Aku memahami bahwa hidupku adalah perjalanan unik yang tidak perlu dibandingkan dengan orang lain. Aku berhenti membandingkan pencapaianku dengan ekspektasi masyarakat dan menghargai kehidupan yang kujalani. Untuk bisa bertahan dari tekanan sosial, aku memulainya dengan belajar mengasah pandangan positif terhadap diri dan semakin mendekat kepada tuhan setiap harinya. Dan dari pendekatan agama inilah aku percaya bahwa aku bisa bertahan.
Aku juga belajar untuk berkomunikasi dengan jujur tentang perasaanku kepada orang-orang terdekat. Aku menjelaskan bahwa pernikahan adalah pilihan pribadi dan aku masih dalam proses menemukan pasangan yang tepat. Terlepas dari soal tantangan hidup, tujuan pernikahanku juga bukan hanya untuk sekadar nikah, tapi nikah dengan siapa dan nilai-nilai serta cara pandang tentang hidup seperti apa yang dia anut.
Aku perlahan mendapatkan dukungan dan pemahaman dari mereka. Meski diselingi dengan ejekan bercanda, tapi setidaknya mereka mengerti aku. Untuk mengatasi tekanan sosial, aku menemukan beberapa solusi konkret yang bisa kubagikan di sini berdasarkan pengaman pribadi.
1. Fokus pada Pengembangan Diri
Karena rasa ingin tahuku cukup besar dan senang mencoba hal baru, aku mulai dengan mengambil waktu untuk mengeksplorasi minat pribadi, membuat list pengembangan keterampilan baru dan mengejar tujuan pribadi yang membuatku bahagia. Contohnya: aku membeli dan membaca banyak buku yang kuinginkan tentang apapun untuk membangun kebiasaan baru. Setelah kebiasaan itu terbangun, aku mencari potensi terdekat yang sekiranya bisa dipelajari seperti menanam sayuran. Selain membuat pekarangan rumah jadi hijau dan terlihat adem, hasilnya pun menguntungkan bagiku. Aku tidak perlu mem
beli sayuran lagi dan bisa berbagi dengan tetangga. Ini tergantung keadaan tempat tinggal, jadi aku menyesuaikan hal terdekat apa yang ingin dan bisa kucapai. Maka hal selanjutnya adalah menemukan hobi baru yaitu berburu burung, dimulai dari membeli senapan angin sampai belajar cara menembak. Sampai sini, aku masih terus mencari hal baru dan menggali potensi baru untuk bisa kucoba dan kukuasai selanjutnya.
2. Membangun Jaringan Dukungan
Aku mencari teman yang juga mengalami situasi serupa. Bersama mereka, kami saling mendukung dan memahami bahwa hidup tidak selalu tentang percintaan ataupun pernikahan. Bisa berdiskusi dengan teman tentang apapun itu menyenangkan, apalagi yang punya minat yang sama. Contohnya minat terhadap buku, sastra, sejarah dan film.
3. Mengelola Media Sosial
Aku membatasi paparan terhadap konten-konten toxic dan juga tentang pernikahan yang dapat meningkatkan perasaan tidak aman. Karena aku tahu bahwa apa yang terlihat di media sosial tidak selalu mencerminkan kehidupan sebenarnya. Aku lebih sering memilih konten youtube tentang pengembangan diri, kebebasan finansial, dan sesekali kusediakan waktuku untuk konten humor.
4. Jangan lupakan liburan
Aku selalu meluangkan waktu untuk berlibur, pergi ke tempat yang bisa menyegarkan kembali pikiran. Seperti ke pantai atau mendaki gunung sampai beberapa waktu di sana. Sembari berkontemplasi dan mengatur ulang pikiran tentang hidup dan kehidupan.
Dan akhirnya ...
Aku telah damai dan tak lagi merasa tertekan, pada akhirnya. Bagiku, mencapai usia 30-an dan belum menikah bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Setiap individu memiliki perjalanan hidup yang unik dan berharga. Tekanan sosial dapat dihadapi dengan mengasah pandangan positif terhadap diri sendiri, berkomunikasi dengan jujur, dan menemukan solusi konkret yang sesuai dengan kebutuhan pribadi. Yang terpenting, kita harus menghargai dan mencintai diri sendiri, terlepas dari status pernikahan.
Setiap individu juga memiliki hak untuk menentukan waktu yang tepat bagi mereka untuk menikah berdasarkan nilai-nilai, tujuan, dan keinginan pribadi mereka. Maka dari itu, penting untuk menghormati dan mendukung keputusan individu dalam hal pernikahan, serta menjaga kesehatan mental dan emosional kita dalam menghadapi tekanan sosial.
Angsana, Desember 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H