Mohon tunggu...
Ikfina Maufuriyah
Ikfina Maufuriyah Mohon Tunggu... Guru - Learning enthusiast

Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ini Tiga Hal yang Bisa Diamati untuk Deteksi Dini Disleksia pada Usia Pra Sekolah

12 Oktober 2021   19:11 Diperbarui: 13 Oktober 2021   01:01 817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gangguan disleksia pada anak usia pra sekolah. Sumber: YiorgosGR via Kompas.com

Pernahkah Anda penasaran mengapa Anak anda sering tantrum? Atau apakah anda kebingungan mengapa anak anda tampak lamban atau justru bergerak secara berlebihan dibandingkan teman-teman sebayanya? 

Dan mungkin anda juga terheran-heran mengapa anak tidak mampu menyampaikan keinginannya dengan bahasa yang sesuai dengan usianya meski ia tampak cerdas? Pertanyaan dan kekhawatiran ini perlu mendapatkan perhatian, jangan-jangan anak anda mengalami kesulitan belajar, terutama disleksia.

Secara formal diagnosa disleksia dapat ditegakkan pada usia 7 atau 8 tahun, usia dimana anak mulai terpapar pengalaman akademik baik literasi maupun numerasi. 

Namun, menurut sebagian ahli, waktu penegakan diagnosa di usia ini dianggap terlambat karena anak sudah mulai merasa gagal dan tidak mampu menyesuaikan dengan kecepatan belajar teman sebayanya.

Karena pada usia pra sekolah kegiatan belajarnya belum akademik alias pra akademik, maka pengamatan tentang kemungkinan individu memiliki disleksia dan gangguan belajar spesifik lainnya bukanlah pada area calistung (baca, tulis, hitung), melainkan dapat diidentifikasi pada area-area berikut ini:

1. Perkembangan Bahasa

Kesulitan berbahasa pada anak disleksia adalah salah satu yang paling mudah diamati dan dan ditemui di usia ini. Kesulitan berbahasa pada disleksia meliputi 3 hal; lisan, tulis, dan sosial. Orangtua dan guru perlu melihat kembali adakah riwayat keterlambatan perkembangan bahasa ekspresif/lisan pada anak. 

Misalnya pada usia 2 tahun, anak belum dapat menyusun 2 kata sederhana yang bermakna ketika menyampaikan keinginannya. Juga apakah anak mengalami kesulitan membedakan bunyi suara, artikulasi bahasa yang kurang jelas atau tepat, pilihan kata yang tidak sesuai dengan konteks atau tujuan yang hendak disampaikan, dan kesulitan menyusun kalimat dengan susunan yang tepat.

Phonological awareness atau kesadaran fonem adalah salah satu aspek penting yang biasanya teramati pada anak-anak dengan resiko disleksia. Gavin Reid (2017) dalam bukunya Dyslexia in the Early Years mengatakan bahwa aspek bahasa ini lumrah ditemui di usia dini atau pra sekolah. 

Ia menjelaskan bahwa komunikasi dan bahasa sangat krusial sebagai salah satu penanda penting disleksia, seperti sulit mengingat huruf, sering tertukar-tukar, tidak mampu membedakan bunyi huruf, diksi yang kurang tepat, hingga ketidaktepatan memahami makna kata.

Pada aspek bahasa sosial, anak kesulitan memahami konteks bahasa, salah paham dengan lawan bicara, dan tidak sesuai dalam menerjemahkan bahasa non-verbal (intonasi, ekspresi wajah, konteks budaya). Misalnya orangtua menegur anak tersebut agar segera membereskan mainannya. 

Bagi orang lain, intonasi dan cara yang dipakai orangtua relatif biasa saja, namun bagi anak disleksia boleh jadi dimaknai bahwa orangtuanya marah kepadanya. 

Atau sebaliknya, anak terkesan terlalu cuek. Misalnya temannya sedang mengolok-olok dia, bukannya ia marah atau sedih, malah ikut tertawa dan tidak memahami bahwa temannya sedang berusaha memperolok dirinya. Pada situasi lain, ketika anak menjumpai seorang lansia, dengan polosnya ia berkata; “Eh, dia kok jelek? Wajahnya sudah keriput dan rambutnya putih. 

Pasti sebentar lagi ia mati!”. Anak ini boleh jadi tidak memahami dengan baik mengenai budaya dan etika sosial, dan tidak bermaksud untuk mengejek orang lain.

2. Perkembangan Motorik

Sebanyak 50% penyandang disleksia mengalami gangguan koordinasi motorik. Motorik disini adalah motorik halus (fine motor) maupun motorik kasar (gross motor). 

Pada penyandang disleksia, kerap dijumpai adanya kesulitan dalam perencanaan koordinasi motorik, bisa tampak ceroboh, grasa grusu atau justru lamban dalam ritme geraknya. 

Koordinasi motorik yang kurang baik bisa tampak ketika anak sulit mengancingkan baju, kesulitan menalikan tali sepatu, memiliki keseimbangan tubuh yang kurang baik, menghindari kegiatan yang menggunakan kekuatan dan koordinasi gerak, kesulitan mengikuti irama dalam senam, dan kesulitan menggunakan koordinasi motoriknya untuk menguasai keterampilan tertentu (menggunting, menulis, meronce, menjumput, mewarnai, dll.)

Kesulitan koordinasi motorik dan perencanaan gerak ini yang dapat menetap hingga dewasa, terutama bila tidak diberikan latihan yang memadai sejak kecil. Sejak bayi lahir, perkembangan fisik dan motorik adalah yang paling “noticeable” atau teramati dengan mudah. Tidak hanya secara kuantitas pertumbuhan, namun secara fungsi dan kualitas perkembangan.

Banyak tanda-tanda yang bisa diamati bila anak menunjukkan perkembangan yang sesuai dan yang tidak. Informasi bahwa anak mengalami kesulitan atau keterlambatan dalam perkembangan, misalnya mampu duduk baru dilakukan di usia 10 bulan dan berjalan dengan kualitas baik baru terjadi di atas usia 1,5 tahun, tentu menjadi penanda bagi orangtua untuk bersegera merujukkan kondisi tersebut kepada profesional, misalnya dokter spesialis anak.

3. Perkembangan Fungsi Eksekutif

Penyandang disleksia umumnya mengalami gangguan fungsi eksekutif. Menurut Marcie Yeager dan Daniel Yeager dalam bukunya Executive Function & Child Development, fungsi eksekutif adalah serangkaian strategi mental yang mengarahkan atau meregulasi perilaku untuk mencapai tujuan. Simpelnya fungsi eksekutif adalah regulasi diri. 

Kemampuan ini dikelola di area prefrontal cortex dan tidak berkembang secara alamiah. Meski mulai berkembang sejak dini, keterampilan ini membutuhkan dukungan lingkungan untuk dapat matang sesuai usianya.

Berbeda dengan kelompok tipikal (tanpa memiliki gangguan perkembangan/kesulitan belajar), individu dengan disleksia dan kesulitan belajar spesifik lainnya mengalami keterlambatan kematangan fungsi eksekutif. Sehingga mereka kerap mengalami kesulitan dalam pengaturan diri.

Anak disleksia kerap kesulitan berpikir secara lentur dan adaptif sesuai dengan tantangan dan kebutuhan yang sedang dihadapi (cognitive flexibility). 

Kadangkala ia kesulitan memanipulasi informasi, cenderung kaku dalam berpikir, kesulitan berpindah fokus, dan kesulitan mencari alternatif solusi untuk mengatasi masalahnya. Penyandang disleksia juga nampak kurang bisa menumpukan perhatian dan mengelola distraksi (inhibitory control). 

Ketika sedang dibacakan cerita misalnya, ia akan tertarik dengan suara penjual es krim yang lewat depan rumahnya dan bahkan bergegas keluar. 

Individu disleksia juga sering lupa, meski anak tersebut tampak cerdas dan cemerlang. Ia lupa membereskan mainannya meski semenit sebelumnya sudah diingatkan oleh ibunya. Hal ini terjadi karena individu disleksia mengalami masalah dalam working memory nya.

Fungsi eksekutif nampak dari perilaku anak. Anak memiliki pola perilaku tertentu sesuai dengan tahap perkembangannya yang mana sikap atau tindakan yang ia tunjukkan merupakan respon dirinya terhadap lingkungannya. Orang dewasa umumnya mengetahui mana perilaku yang sesuai dengan usianya dan mana yang tidak. 

Ketika anak usia 5 tahun masih mudah rewel atau tantrum dengan emosi yang tidak terkendali tentu menjadi catatan khusus bagi orangtua atau guru. Anak usia 6 tahun belum dapat mengatur dirinya untuk bersabar menunggu giliran juga tidak bisa diabaikan. Umumnya anak disleksia dan kesulitan belajar lainnya menunjukkan perilaku-perilaku yang kurang adaptif sesuai usianya

Kematangan fungsi eksekutif juga dapat dilihat dari perkembangan kemandirian anak. Sejak usia dini anak-anak dapat dilatih kemandiriannya sesuai usia. 

Kemandirian ini sangat berhubungan dengan kematangan Fungsi Eksekutif. Semakin baik fungsi eksekutif seorang anak, maka semakin baik kemandiriannya. 

Kemampuan anak untuk bina diri ini harus berkembang sesuai usianya. Misalnya anak usia 2 tahun, mestinya sudah bisa makan sendiri dan anak usia 3 tahun sudah memiliki kemampuan cebok sendiri setiap selesai buang air.

Keterampilan yang diperlukan agar anak mandiri sangat tergantung dengan pengalaman dan latihan yang diberikan kepada anak, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kematangan fungsi eksekutifnya. 

Oleh karena penyandang disleksia terganggu fungsi eksekutifnya, sehingga pengamatan pada area ini penting untuk dilakukan agar diperoleh pemahaman apakah anak mengalami kesulitan belajar, terutama disleksia.

Identifikasi dini kesulitan belajar spesifik seperti disleksia pada usia dini akan sangat membantu terkelolanya kelemahan-kelemahan yang dimiliki penyandangnya dan sekaligus mengoptimalkan kekuatan dan potensi yang dimilikinya, sehingga diharapkan penyandang disleksia akan mampu memiliki perilaku yang adaptif, performa akademik yang lebih baik, dan secara jangka panjang akan meningkatkan kualitas hidupnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun