Bandara Internasional Ngurah Rai, yang terletak di Bali bagian selatan luasnya "imut" hanya 2,96 km (296 hektar). Memiliki hanya satu landas pacu namun dengan pergerakan penumpang hampir 24 juta per tahun sebagai bandara tersibuk kedua setelah Soekarno Hatta.
Dengan demikian dapat dikatakan sudah over kapasitas sehingga menyebabkan terjadinya delay. Padahal saat ini orang tidak lagi hanya membutuhkan kenyamanan namun juga kecepatan.
Dengan kondisi yang terkepung pemukiman dan telah mengalami perluasan dengan reklamasi, Bandara Ngurah Rai tidak mungkin lagi untuk dikembangkan. Jikapun dipaksakan reklamasi lebih luas lagi maka akan berdampak kepada pantai Kuta dan pantai Jimbaran.
Pada tahun 2016 Presiden Jokowi mencanangkan membangun 10 (sepuluh) destinasi wisata prioritas untuk dapat disejajarkan dengan keterkenalan Bali yakni Danau Toba, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu, Borobudur, Bromo-Tengger-Semeru, Mandalika, Labuan Bajo, Wakatobi, dan Morotai.
Namun, baru 5 (lima) yang digarap sebagai program super prioritas yakni destinasi wisata Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, Likupang.
Dengan investasi 30 triliunan untuk dukungan infrastruktur di destinasi super prioritas tersebut pemerintah tetap mencanangkan "Bali sebagai hub utama destinasi wisata".
Oleh karena itu agar target devisa pariwisata melebihi Thailand maka sebuah keniscayaan Bali membutuhkan bandara baru.
Atas dasar "kebutuhan" tersebut maka telah dilakukan studi dan kajian di 3 (tiga) lokasi di wilayah Kabupaten Buleleng (Bali Utara). Hasil studi tersebut pun telah didukung Perda RTRW Bali dan rekomendasi Bappenas.
Rencana pembangunan Bandara Bali Utara didesain menempati areal seluas 600 hektar dengan 2 (dua) landas pacu (double runway) masing-masing sepanjang 3850 meter agar mampu didarati Boeing 777 dan Airbus 380. Diproyeksikan mampu menampung kapasitas penumpang 30 juta per tahun dengan nilai investasi 40 triliunan.
Maka jika bandara ini bisa diwujudkan kapasitas penumpang Bandara Ngurah Rai ditambah Bandara Bali Utara diproyeksikan mampu menampung 50 jutaan penumpang setiap tahun.
Pertanyaannya kemudian adalah ketika sudah ada hasil studi, ada investor yang siap membangun dengan sistem turn key dan telah masuk dalam Program Strategis Nasional 2021, kenapa sangat sulit untuk memutuskan lokasi yang menjadi kewenangannya Kementerian Perhubungan? Apakah Presiden Jokowi yang harus turun tangan?