Kurang lebih, rokok itu milik perempuan.
"Perempuan hanya boleh melinting," bisiknya Jeng Yah.Â
Pergulatan Eksistensial
Jeng Yah tahu bahwa perasaan cintanya pada Soeraja mengantarkannya pada hasratnya terhadap kretek, jelas ada dan pasti.Â
Namun, yang ia tidak ketahui apakah Soeraja adalah pasangan hidupnya sebagai subjek hasrat yang terus-menerus ada.
Filsuf eksistensialisme asal Denmark, Soren Kierkegaard sebut subyektifitas manusia itu ditandai dalam keberaniannya untuk bergumul dalam pilihan-pilihan hidup meski pahit.Â
Pilihan pahit itu ditempuh Jeng Yah saat kaki Soeraja tertembak pada malam paling mencekam tahun 1965 di hidup keluarga Idroes.
Keluarganya masuk dalam daftar terafiliasi partai merah--partai terlarang di Indonesia pada saat itu.
Jeng Yah minta Soeraja lari dari sergapan pasukan, meski pilihan Soeraja tetap ada di situ sebuah keputusan yang juga tepat.
Namun, bagi seorang eksistensialis yang tersirat dalam sosok Jeng Yah, pilihan paling mungkin adalah menyuruhnya pergi, sebab ia tak tergantung orang lain.Â
Pilihan itu jadi pergulatan eksistensial Jeng Yah usai mendapati ayahnya tewas, keluarganya berantakan, hartanya lenyap meski dirinya bebas usai ditahan selama dua tahun.Â