Soeraja (Ario Bayu) tiba-tiba tak bisa menahan hasrat mencumbui Dasiyah alias Jeng Yah (Dian Sastowardoyo) malam itu.
Dalihnya, cinta Soeraja pada Jeng Yah menggebu tak tertahankan. Alih-alih melawan, Jeng Yah justru menyambut hasrat Soeraja di atas ranjang kamarnya.Â
Percumbuan itu menyeret keduanya dalam konflik masa lalu.Â
"Tanganmu wangi tembakau aku suka," tutur Soeraja sambil mengendus tangan Jeng Yah yang memegang rokok dan mengisapnya.
Psikolog sekaligus filsuf asal Prancis Jacques Lacan dalam kuliahnya, The Seminar XI: Four Fundamental Concepts of Psychoanalysis menyebut hasrat selalu merupakan hasrat orang lain yang diinternalisasikan ke dalam diri seseorang melalui bahasa.
Lacan ingin bilang objek pertama hasrat adalah pengakuan oleh orang lain, ia (Jeng Yah) eksis karena kehadiran yang lain atau liyan (Soeraja).Â
Jeng Yah yang meng-hasrat-i usaha tembakau ayahnya bertahun-tahun kerap terhalang lantaran dirinya perempuan.Â
Pertemuannya dengan Soeraja seolah menemukan makna hasratnya selama ini, kretek.Â
Begitupun sebaliknya, Soeraja menemukan makna hasratnya di Jeng Yah, kretek.
Dalam pandangan Jeng Yah, di film itu, bahwa kretek bias gender. Ia berhasrat adanya kesamaan hak atas bisnis di kretek tersebut.
Kurang lebih, rokok itu milik perempuan.
"Perempuan hanya boleh melinting," bisiknya Jeng Yah.Â
Pergulatan Eksistensial
Jeng Yah tahu bahwa perasaan cintanya pada Soeraja mengantarkannya pada hasratnya terhadap kretek, jelas ada dan pasti.Â
Namun, yang ia tidak ketahui apakah Soeraja adalah pasangan hidupnya sebagai subjek hasrat yang terus-menerus ada.
Filsuf eksistensialisme asal Denmark, Soren Kierkegaard sebut subyektifitas manusia itu ditandai dalam keberaniannya untuk bergumul dalam pilihan-pilihan hidup meski pahit.Â
Pilihan pahit itu ditempuh Jeng Yah saat kaki Soeraja tertembak pada malam paling mencekam tahun 1965 di hidup keluarga Idroes.
Keluarganya masuk dalam daftar terafiliasi partai merah--partai terlarang di Indonesia pada saat itu.
Jeng Yah minta Soeraja lari dari sergapan pasukan, meski pilihan Soeraja tetap ada di situ sebuah keputusan yang juga tepat.
Namun, bagi seorang eksistensialis yang tersirat dalam sosok Jeng Yah, pilihan paling mungkin adalah menyuruhnya pergi, sebab ia tak tergantung orang lain.Â
Pilihan itu jadi pergulatan eksistensial Jeng Yah usai mendapati ayahnya tewas, keluarganya berantakan, hartanya lenyap meski dirinya bebas usai ditahan selama dua tahun.Â
Kebebasannya justru jadi titik awal pergulatan eksistensial Jeng Yah.
Jeng Yah kehilangan dirinya yang otentik usai kehilangan segalanya, keluarga dan mimpinya sebagai peracik saos.
Ia kini dicap 'kerumunan' kaum merah.Â
Yang bagi seorang eksistensialis seperti yang disebut Kierkegaard bahwa individu otentik tidak berkerumun.Â
Kerumunan atau publik selalu menihilkan identitas individu, Jeng Yah ogah berkerumun, sifatnya itu terlihat dari awal pengadegan yang kerap menolak jika bapak ajak ke pasar beli tembakau.Â
Jeng Yah kerap menyendiri, sebelum persitiwa 1965 maupun setelahnya.Â
Pergulatan jadi diri sendiri tampak menguat saat Jeng Yah bertemu dengan Seno Aji (Ibnu Jamil) pasca dirinya bebas.Â
Seno tawarkan kembali hasrat baru kepada Jeng Yah seperti Soeraja untuk jadi jembatan menemukan kembali identitas Jeng Yang sebagai peracik saos kretek.
Jeng Yah bergulat mengembalikan 'identitas' Gadis, racikan kretek miliknya saat bersama Soeraja dan bapaknya, namun tak berhasil.
Meski begitu, Jeng Yah menemukan kembali dirinya yg otentik lewat merek 'Kembang Setaman' racikan Jeng Yah yang diwariskan kepada Eko, sosok asisten Jeng Yah di ruang racik saos.
Namun, Jeng Yah meninggal sebelum bertemu masa lalunya, Soeraja.Â
Sebaliknya, Soeraja tak pernah sekalipun menemukan identitasnya yang otentik.
Ia representasi karakter 'kerumunan' yang kerap 'membebek' kehendak orang lain dan masa lalunya hingga akhirnya harus menyerah di akhir cerita.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H