Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Romantika Naik Angkot, Benci tapi Rindu

10 Desember 2021   21:22 Diperbarui: 11 Desember 2021   20:48 1829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Barisan angkot|sumber : KOMPAS.com

Sebagai rakyat jelata pengabdi angkot garis keras, saya merasa trenyuh ketika kini melihat banyak angkot kosong-melompong. Ini kalau naik sedirian bisa-bisa masuk angin. Entah angin mamiri, muson barat, atau timur, tinggal pilih aja, gratis.

Kepemilikan kendaraan bermotor roda dua dan empat yang mudah membuat angkot tak lagi banyak dibutuhkan. Belum lagi maraknya ojol dan taksol, lengkap sudah penderitaanmu, koott, angkoottt!

Angkot atau angkutan kota merupakan salah satu moda transportasi yang sudah saya gunakan sejak masih imut-imut bin amit-amit. Lha, mendiang Bapak saya pernah jadi supir angkot, je. Beliau biasanya membawa angkotnya setelah jam kerjanya sebagai PNS berakhir.

Dulu angkot kerap disebut dengan "honda" mengacu pada salah satu merek kendaraan yang paling banyak digunakan. Saya senang sekali bila diajak Ibu ke kota untuk membeli baju lebaran dengan menggunakan si honda ini.

Ketika duduk di bangku SD, angkot ini bagai teman tapi gak mesra-mesra amat karena bertemunya gak intens. Biasanya, saya menggunakan angkot bila akan main ke rumah teman yang letaknya agak jauh. Perginya bareng-bareng, bayar ongkosnya disatukan sambil pasang kuda-kuda untuk ngacir karena seringnya ongkosnya kurang.

Nah, saat SMP, posisi angkot sudah naik tahta menjadi si belahan jiwa, setiap hari mendampingi baik suka maupun duka. Aura saya kayaknya sudah sewarna dengan angkot. Ya, letak sekolah saya memang berada dekat terminal.

Tiga tahun wira-wiri di sekitaran terminal membuat saya setidaknya hafal dengan rupa angkot, supir, sampai kernetnya. Belum lagi calo-calo ceking dengan tato dan rambut acak-acakan yang bersuara cempreng. Bila ada pelajaran tentang angkot dan turunannya pasti nilai A pleus ada di tangan dan dapat tambahan poin pula dari Profesor Dumbledore.

Berhubung posisinya di terminal, maka saya dan teman-teman suka pilihan bila naik angkot, sombhong amaat yak. Iyaalah, gak hanya gebetan yang musti milih tapi angkot juga, titik gak pake koma.

Biasanya angkot terpilih adalah yang berbody mulus, gak peang, dan belum kenal ketok mejik. Model ginian itu tahunya dari mata pelajaran tehnik penerawangan angkot, 2 SKS. Supirnya harus yang punya tata krama kalo bisa lulusan sekolah kepribadian. Kernetnya yang gak nggilani, njijiki, memeti, dan byabyakan.

Iya, kernet ini bawaannya kadang nyebelin, suka colak-colek lutut, baik ketika meminta ongkos, memberi kembalian, dan nyuruh geser duduk.

Nah, dulu itu armada angkot masih buanyak banget sehingga saat akan masuk terminal ngantri. Kalau sudah begini mending turun aja sih, lalu jalan sekitar 500 meteran untuk sampai gerbang sekolah, daripada emosi.

Masuk SMA, saya harus naik angkot dua kali atau satu kali angkot dan satu kali bis kota. Letak SMA saya agak lebih jauh dari SMP. Dulu kan belum ada sistem zonasi, jadi milih sekolah yang favorit dong asal sesuai dengan NEM.

Saat kuliah, angkot yang dinaiki bertambah jumlahnya, bisa 3 sampai 4 kali sesuai dengan rute yang diinginkan. Bila naik bis, naik angkotnya cukup 2 kali saja.

Angkot kampus merupakan angkot yang paling purba mungkin datangnya dari zaman Megalitikum, etapi banyak memorinya, dah kayak daun pisang. Berbody besar dengan pintu di belakang yang mana merupakan spot favorit banyak orang.

Malesinnya bila akan melewati tanjakan, kadang ada drama mogoknya segala. Semua orang pun terpaksa turun dan sebagian diminta menjadi kuli dorong, Pak supir sih enak nyetirin sambil cekikikan.

Saat kerja saya masih menggunakan angkot dong. Ada satu trayek angkot yang armadanya sedikit tapi peminatnya membludak untuk jam-jam tertentu.

Alhasil para penumpang pun dipadatkan bagai pindang. Di depan kadang diisi 4 termasuk supir. Kadang juga ber-5 kayak anggota New Kids On The Block.

Di belakang lain lagi, yang biasanya 7-5 (versi saya sih 6-4) bisa jadi 7-6-3-2. 7 penumpang di nganan, 6 di ngiri, 3 di lorong, dan 2 di jok artis.

Terkadang ada yang ngegantel di pintu, 2 sampai 3 orang. Pernah juga ada yang sampai naik ke atap, dah kayak bobotoh Persib kalau mau nonton bola di Jalak Harupat.

Untungnya, naik angkot ini hanya pulang ngantor, itu pun bila tak ada tebengan atau tidak dapat angkot rute satunya. Kebayang kan kalau naiknya pas berangkat, minyak wangi seember kayaknya gak bakal bersisa secara angkot ini bolak-balik pasar induk.

Jok artis|Dokumen Pribadi
Jok artis|Dokumen Pribadi
Ngomong-ngomong tentang jok artis. Jok ini memaksa saya tetap 'stunning' di antara berbagai macam gangguan seperti pantat panas akibat bergolaknya mesin kendaraan, tajamnya lutut penumpang lain, dan kata "punten lungsur heula" dari Pak Supir. Yaaa, namanya juga jok artis, di mana semua tatapan tertuju ke arah dia yang ada di sana.

Salah satu hal yang bikin muntab kala naik angkot adalah asap rokok. Ya, gak penumpangnya gak supirnya, hobi banget berasap. Harusnya sih orang-orang seperti ini dikirim ke tempat yang sering ada kabut asapnya, biar puas gitu uyel-uyelan dengan asap.

Mendengarkan musik itu menyenangkan tapi menjadi nyebelin bila yang masang musiknya DJ jadi-jadian alias Pak Supir. Dan yang paling ngeselin dari musik di angkot adalah ketika duduk pas diantara speakernya yang segede gambreng dengan musik yang entah bergenre apa.

Belum lagi kualitas suara yang wawut-wawutan dan volume yang bikin gerah telinga sampai ketika teriak "kiri" berkali-kali gak kedengeran juga.

Beberapa angkot yang pernah saya naiki, supirnya kerap ugal-ugalan. Entah karena kebelet, kejar setoran, atau dikejar utang. Kusut antara nginjek gas, rem, kopling, pindah gigi, dan membenarkan spion depan. Rasanya bagai ada di track formula one, balapan dengan Kimi Raikkonen. Bila sudah begini, rasanya badan seperti diaduk-aduk dalam molen lalu dilindes stoomwalls.

Angkot juga akrab dengan pengamen, ya kalau nyanyinya oke sih rela-rela aja ngasihnya. Namun lain hal bila sang pengamen rada kurang ajar. Ya, sebelum nyanyi, dia bikin prolog dulu, berpesan bila gak mau ngasih jangan pura pura tidur atau sms-an.

Paling malesin kalau sudah ada pengamen yang maksa. Biasanya yang melakukan hal ini adalah anak kecil dengan alat musik berupa kecrekan dari tutup botol. Mereka biasanya meluncurkan jurus colak-colek, suaranya gak bisa dijabarkan ada di kunci nada apa. Tak lupa pasang wajah memelas. Top banget deh!

Semua hal luar biasa dari angkot itu digenapi dengan kebiasaan ngetem untuk menunggu penumpang yang tak kunjung datang. 

Jujurly, inilah hal yang paling bikin kheki. Sudah telat eh angkotnya tak jua berangkat. Bila sudah begini bawaannya emosi tinggi yang berujung dengan depresi karena hanya dipendam di dalam hati. Maklum supirnya syerem, anggota persaudaraan freemasonry eh freeman terminal.

Kini pamor angkot semakin memudar seiring dengan banyaknya pilihan moda transportasi yang memudahkan para penggunanya. Namun, apapun yang akan terjadi, angkot akan tetap menjadi salah satu hal terindah dalam hidup saya dan tentu saja dirindukan, ish ish ish.

Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun