Kelebat wangi parfum yang baru saja melintas membuat Kei jatuh ke dalam pusaran masa lalu. Masa lalu yang membuat hatinya terasa diiris sembilu. Dan sembilu itu mulai mengoyak-ngoyak batinnya seiring dengan aroma wewangian tubuh yang kini mulai memenuhi rongga hidungnya.
Kei menatap sesosok lelaki berambut hijau yang tengah memunggunginya. Ia tak pernah salah, masa lalunya ada disini, diantara rak-rak tinggi lilin aroma terapi. Kedua kaki Kei seakan terpaku ke lantai, ia tak kuasa beranjak. Kenangan lama bagai gurat sidik jari yang perlahan timbul, mencabiknya tanpa ampun.Â
Kei menahan nafasnya ketika lelaki berambut hijau itu memutar tubuhnya. Di tangannya telah tergenggam sebentuk lilin yang sangat ia kenali. Tatapan mata mereka bertemu. Kei tak menyangka sosok itu akan kembali. Ia ingin mengucap 'hai' namun tak kuasa. Mereka hanya saling menatap, sunyi, tanpa kata tanpa suara diantara aroma lavender yang tak lagi menenangkan. Dia masih seperti dulu hanya sorot matanya yang berubah, menyala-nyala bagai api yang siap membakar apa saja.
"Kei?"
Sebuah suara memadamkan nyala api itu untuk sesaat.
Kei terhenyak.
"Ryu, ayo pergi. Waktuku tak banyak." Lelaki berambut hijau itu melangkahkan kakinya segera.
"Tapi, kak... Ini Kei..."
"Kei siapa?." Ia berteriak, kakinya melangkah dengan cepat.
Sekali lagi, Kei hanya bisa menatap punggung lelaki itu.
"Kei, maafkan Kak Ren. Tidak sepantasnya ia mengatakan itu."
"Jangan terlalu dipikirkan Ryu, aku memang pantas untuk menerima apapun yang Ren katakan tentang aku."
"Kei, ini tidak bisa di biarkan. Aku harus mengatakan semuanya kepada Kakak."
"Jangan, Ryu. Itu hanya akan membuat Ren lebih membenciku." Kei menggigit bibirnya, rasa khawatir memenuhi rongga hatinya.
"Kei, hanya orang bodoh yang membenci sesorang yang telah membukakan jalan untuk meraih mimpinya." Ryu menatap mata Kei tajam.
"Tapi Ryu..."
"Kei, aku sudah tidak tahan dengan semua ini. Maafkan aku." Ryu menyentuh pundak Kei lembut lalu berlalu.
***
Kei mendaratkan tubuhnya di kursi taman yang telah mengelupas catnya. Dulu ia kerap menemani Ren disana untuk sekadar bercakap-cakap, menulis lagu, bersenandung bersama, atau mendengarkan celoteh Ren tentang mimpi-mimpinya. Mimpi yang kini telah ada di dalam genggaman lelaki yang tak ingin mengenalnya lagi. Dan hanya Ryu lah yang mengetahui semuanya. Ryu harus menahan beban berat sebuah kebohongan demi kakaknya, Ren.
Satu bulan berlalu sejak Kei bertemu kembali dengan Ren di lorong rak toko itu. Rupanya Ren memang sudah mengaggapnya tak ada. Apa yang dikatakan Ryu dahulu ternyata memang lah benar.
"Kakak akan menganggapmu tidak pernah ada dalam hidupnya, Kei."
"Itu akan lebih baik Ryu. Langkahnya akan lebih ringan."
"Aku tidak mengerti denganmu Kei. Kak Ren sangat mencintaimu. Ia ingin selalu ada disampingmu. Ia akan melakukan apa saja untuk selalu bisa berada di sisimu. Dan aku belum pernah melihat kakak mencintai seseorang seperti itu. Atau kamu memang sudah tidak mencintainya lagi?"
"Ryu, aku melakukan ini semua karena aku mencintai Ren. Aku ingin melihatnya bahagia, aku ingin dia meraih mimpinya. Dan kesempatan itu telah datang. Mengapa harus disia-siakan hanya demi seorang gadis seperti aku." Kei menahan air matanya sekuat tenaga untuk tidak merembes keluar.
Ryu menatap Kei lembut. "Rupanya kak Ren tak salah mencintai mu."
***
Kei menatap layar laptopnya yang belum dinyalakan. Ia bimbang. Tahun lalu adalah kali pertama sekaligus terakhirnya untuk melihat penampilan Ren dalam sebuah konser melalui situs resmi bandnya. Ren menumpahkan semua kecewa dan marahnya dalam lirik dan musik yang ia tulis untuk beberapa album yang telah mereka rilis. Semua lagu yang dimainkan Ren bersama bandnya hanya membuatnya menangis. Oleh sebab itu ia tak ingin melihat dan mendengarnya lagi.
Kei pun menutup diri dari semua pemberitaan tentang Ren walaupun tetap saja ada beberapa yang lolos sampai di telinganya. Ia tak tahan dengan gosip-gosip tak sedap tentang seringnya Ren berganti pasangan. Dan itu membuat hatinya sakit. Namun air mata tak sudi lagi menyapanya.
Kei tahu, itu semua adalah kesalahannya. Ia membiarkan Ren diliputi rasa kecewa, marah, dan dendam. Namun semua itu tak berarti ketika ia melihat kesuksesan Ren saat ini. Masih tercetak jelas dalam ingatannya saat bagaimana akhirnya Ren pergi.
"Kei, apa maksud kamu?" Ren menyipitkan matanya.
"Pergilah Ren."
"Aku tak mau pergi. Aku hanya ingin disini bersama mu."
"Ren, jangan kekanakan. Ini kesempatan mu untuk berkembang, meraih mimpi mu. Ini adalah jalanmu menuju kesuksesan."
"Apa artinya sukses tanpa kamu."
Kei tidak mengerti bagaimana lagi ia harus membujuk Ren untuk menerima tawaran rekaman dari sebuah label besar yang berada di Ibu Kota. Kei berpikir ini adalah sebuah kesempatan besar dan sayang bila disia-siakan terlebih semua anggota band memintanya untuk membujuk Ren agar mau pergi dan menetap ke tempat dimana karir musik mereka bisa lebih berkembang.
"Ren, aku tidak bisa bersama mu lagi. Orang tua ku sudah merencanakan sebuah perjodohan untuk ku. Maafkan aku." Kei memunggungi Ren, ia tak kuasa melihat reaksi Ren.
"Apa? Kamu berbohong kan?."
"Aku tidak berbohong, tanyalah kepada Ryu. Ia tahu semuanya. Selama ini aku hanya bisa bercerita kepadanya karena aku takut kamu..."
"Mengapa kamu tidak menolaknya."
"Bagiku orang tua adalah segalanya, Ren. Aku harus mengikuti kemauan mereka."
"Jadi aku tidak ada artinya bagi mu, Kei?"
"Aku...maksud ku..."
Ren tidak lagi mendengar ucapan Kei,
Ia pergi, meninggalkan berjuta caci maki dan membawa serta rasa benci.
Kei urung menyalakan laptopnya.
***
Suasana taman sore itu tak seramai biasanya yang membuat Kei bisa berlama-lama disana, menikmati sore yang berselubung mendung. Selama 4 tahun ini ia tak pernah absen untuk duduk di kursi itu. Sabtu sorenya selalu ia habiskan disana, sendiri atau pun ditemani Ryu. Namun tidak sore ini Ryu urung datang karena ada tugas mendadak dari produsernya.
Suara notifikasi di ponselnya membuat Kei tergoda untuk membuka akun medsosnya. Lini masanya dipenuhi dengan kisah-kisah kehidupan teman-temannya dengan kebahagiaannya masing-masing.
Kei tersenyum kecut, jarinya berhenti menggulung layar ketika ia melihat sebuah postingan temannya yang mendadak membuat jantungnya berdegub kencang. Awalnya ia ragu untuk menyentuhkan ibu jarinya, namun akhirnya ia menyerah.
Gambar diam itu kini mulai bergerak.
Suasana terlihat syahdu. Kerlipan cahaya yang berasal dari beribu lilin dan korek api yang dinyalakan terlihat begitu indah mengiringi petikan sebuah gitar akustik dan disambut oleh suara lembut Ren.
Â
Ingatkah kau akan masa itu
Saat kita selalu bersama
Beribu kisah telah tertoreh
Meraja bahagia tanpa jeda
Â
Semua hilang dalam sekejap
Merajam asa dalam benak
Benci dendam berkelebat
Terlalu pahit terasa berat
Â
Aku pergi kau tak mencari
Kau bertahan aku tak mengerti
Namun kini semua terbuka
Swak prasangka membuat ku  buta
Â
Pandulah aku
Tunjukkan jalan
Aku ingin pulang
Tak terasa satu persatu tetes air mata meluncur bebas di kedua pipinya, Kei tak kuasa melanjutkan. Ia matikan ponselnya, menyandarkan punggungnya lalu memejamkan matanya, menikmati angin sore yang berhembus pelan membelai pipinya yang kini telah mengering.
Tanpa membuka mata, ia tahu bahwa ada seseorang yang duduk di sampingnya.
"Ryu, bukankah kamu urung datang?" Kei bertanya, tak ada jawaban.
"Ryu?"
Masih tak ada jawaban.
Kei membuka matanya, hampir saja ia terlonjak karena yang duduk disampingnya bukanlah Ryu. Rambut hijau itu kini telah kembali hitam sedangkan tubuhnya terlihat lebih kurus dibanding terakhir kali Kei bertemu dengannya.
"Maafkan aku. Aku diliputi kebencian, tak mencari tahu kebenaran." Ren berkata pelan.
Kei terdiam, lidahnya kelu.
"Kini aku sadar bahwa semua yang kamu lakukan itu adalah demi kebaikan ku, demi mimpi-mimpiku. Selama ini aku buta tapi Ryu telah membukakan mata." Ren terisak, belum pernah Kei melihat Ren serapuh itu.
"Maafkan aku juga Ren, aku telah membohongimu. Aku telah menumbuhkan kebencian di dalam hatimu. Tapi itu jalan satu-satunya. Aku tidak bisa memikirkan cara lain karena saat itu sudah mendekati tengat waktu".
"Aku tak ingin anggota band mu kecewa. Mereka layak mendapatkannya. Dan tanpa kamu mereka merasa tidak bisa melakukan apa-apa." Lanjut Kei terbata.
Ren mengusap matanya persis seperti yang ia lakukan saat membawakan lagu 'Pulang' di konser terakhirnya yang baru saja Kei lihat tadi.
"Kei, tunjukkan aku jalan. Aku ingin pulang." Ren kembali terisak dan Kei tak kuasa menghadapi itu semua. Ia hanya bisa menggenggam erat jemari orang yang ia kasihi itu diantara tetes hujan yang satu-persatu mulai menyentuh kepala mereka.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI