Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja Terakhir (Bagian 12)

9 April 2018   15:46 Diperbarui: 25 Agustus 2020   22:06 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu kabut masih menyelimuti sebagian besar areal kampus ketika Rein menginjakkan kakinya di gerbang belakang. Hawa dingin menusuk-nusuk tubuhnya tanpa ampun.  Sweater Grifone birunya tidak mampu memberinya kehangatan lebih.  

Dari kejauhan ia melihat Jimmy berjalan sendirian.  Rein berlari mengejarnya.  Ia heran mengapa Jimmy hari itu berjalan kaki lewat gerbang belakang dimana gerbang yang mempunyai portal yang tak jelas itu merupakan gerbang khusus untuk para penaik angkot dan pejalan kaki.

"Tumben gak bawa mobil, kenapa?" tanya Rein kepada Jimmy dengan nafas terengah.

"Di jokul." sahut Jimmy pendek.

"Wah bakal dapet ganti baru nih, Ferari, Porsche, haaak haaak?" tanya Rein sambil tertawa dan menaik-naikan alisnya.

"Mercy Tata." sembur Jimmy.

"Mau saingan dengan bis kota?"

"Iya biar kamu betah kalau nebeng."

Rein mencibir. "Jadi kamu gak kuliah dua hari kemaren karena gak ada mobil?"

"Yaiyalah, eh tahu dari mana aku gak kuliah?"

"Indra, siapa lagi biang gosipnya."

"Capek gak ada kendaraan, rumahku kan jauh." keluh Jimmy.

"Hmm manja." Rein menaikan bibir sebelah kirinya.

"Siapa yang manja, cuma gak enak aja naik umum, turun naik, kayak berat badan kamu."

"Widiih cadas ngomongnya. Ah cuma belum terbiasa aja kali, lagian paling besok sudah pakai lagi."

"Gak mungkin." Jimmy mengajak Rein duduk di undakan depan kantor pos.

"Kenapa gak mungkin?"

"Papa nyaris bangkrut."

"Loh kok bisa."

"Kena tipu kolega." Jimmy mengacak rambut ikalnya.

"Terus."

"Ya terus sekian deh, tanpa mobil aku gak bisa pergi kemana-mana, aku gak bisa ngapa-ngapain, aduh stress banget nih. Ini sih lebih stress di bandingin harus ngerevisi TA." kata Jimmy kembali mengacak rambutnya kembali yang kini terlihat semakin ikal itu.

"Hmm, berlebihan." protes Rein.

"Kamu gak ngerasain sih." Jimmy merajuk.

"Makan pisang aja atuh." Rein mengeluarkan satu buah pisang ambon lumut yang ia bawa dari rumah.

"Buat apa?"

"Obat stress, nih." Rein membuka kulitnya dan menyodorkannya kepada Jimmy.

"Kata siapa?" Jimmy menjauhkan tangan Rein yang kini tepat di depan wajahnya.

"Kata si Yan."

"Kenapa bisa?"

"Pisang itu mengandung vitamin A, B, C serta berbagai mineral seperti zat besi, kalsium, potasium dan magnesium yang bekerja membantu meredakan stres dan gelisah, gitu kata si Yan"

"Gak suka pisang." sahut Jimmy ketus, ia lalu merebut pisang dari tangan Rein dan menjejalkannya ke mulut Rein dengan paksa.

"Jeruk?" suara Rein terdengar bergelombang karena mulutnya penuh dengan pisang.

"Gak suka buah-buahan, memangnya kamu si maniak buah-buahan."

"Berarti bayam aja deh." Rein beranjak dan melemparkan kulit pisangnya ke tong sampah di dekatnya.

"Bayam yang di makan Popeye?"

"Yaiyalah,  terbukti kan si Popeye gak pernah stress kalo ngadepin Brutus."

"Iya, si Popeye kan masalahnya cuma dengan si Brutus, sedangkan aku masalahnya kompleks"

"Kompleks perumahan?"

"Perkantoran." seru Jimmy muntab.  Rein tertawa melihat wajah lucu Jimmy"Jangan lama-lama stressnya." bisik Rein.

"Kenapa?!"

"Bikin gatel-gatel."

"Kaligata?"

"Eksim."

"Kok tahu, kata Yan juga?"

"Kata dokter kulit."

"Kamu terjangkit virus stress juga ya, ngomongnya gak karuan?" tanya Jimmy sewot.

Rein menatap Jimmy tak percaya.

"Eh, pertanyaan retoris ya?" Jimmy tergelak.

Rein menaikkan bahunya.

"Sedih, aku kayak kehilangan sebagian dari diriku." keluh Jimmy.

"Makanya jangan terlalu bergantung kepada sesuatu."

"Aku gak bergantung, hangernya aja gak ada, nih lihat." Jimmy meraih kerah bagian belakang kemeja hawaii nya yang di dominsai warna kuning itu.

"Aku gak ngerti dengan papa kok bisa kena tipu." lanjut Jimmy sendu.

"Roda kehidupan itu selalu berputar Jim, kadang ada di atas kadang ada di bawah. Mungkin kali ini, roda kehidupan keluarga kamu sedang ada di bawah,  tapi suatu saat pasti akan naik lagi. Jangan berputus asa ya, pasti bakal ada keceriaan yang bakal kamu dapetin nantinya kalo kamu bisa kuat menjalani semuanya, selalu bersabar dan berdoa ya."

"Itu kata Yan juga?" tanya Jimmy serius.

Rein menggeleng. "Kata Ibu ku." jawab Rein pelan.

Jimmy melirik Rein dengan sudut matanya.

"Nah, daripada kamu bermuram durja terus." kata Rein bersemangat.

"Siapa yang bermuram durja, aku cuma stress." protes Jimmy.

"Oh iya, daripada kamu stress terus, mendingan pulang kuliah nanti jalan-jalan yuk, cari angin."

"Kemana?" Jimmy mengeluarkan baju bengkel dari tasnya.

"Menikmati Bandung di sore hari."

"Kemana?" ulang Jimmy tak sabar.

"Mau ikut gak."

"Kemana dulu?"

"Tempat nongkrong aku sama Yan."

"Si Yan lagi?"

"Iya." kata Rein sambil beranjak dan berjalan meninggalkan Jimmy yang masih terlihat bengong.

"Tunggu di Kantin ya." teriak Jimmy.

Rein mengacungkan dua jempolnya ke udara, tanda setuju.

Siang itu Rein telah duduk manis bersama Jimmy dan Nara di angkot yang tengah membawa mereka ke luar dari lokasi kampus, ketika ia bertemu Mayang dan pacarnya yang kerap di sebut si Abang.

"Mau kemana Rein?" tanya Mayang sambil melirik Jimmy dan Nara yang duduk di sebelahnya.

"Ngukur jalan, kamu sendiri mau kemana?"

"Ada aja." kata Mayang berahasia.

"Mau kemana Bang?" Rein mengalihkan pertanyaannya kepada pacar Mayang.

"Gak tahu nih Mayang." si Abang tersenyum penuh arti kepada Rein.

"Mau ke Bonbin ya?" tebak Rein sambil tersenyum lebar.

"Sok tahu." sembur Mayang.

"Mau ngebuktiin mitos ya."

"Mitos apaan?" tanya si Abang spontan.

"Mitos kalau pacaran di Bonbin, hubungan kalian bakal awet kayak Mummy-nya Firaun yang lagi nyanyiin lagunya White Lion, Till death do us part."

Mayang merengut.

"Iya Yang?" tanya abang menggoda Mayang.

Mayang membuang muka nya dengan segera sambil menyibakkan rambut model bobnya yang masih saja terlihat menawan.

Nara menginjak kaki Rein sambil mengulum senyum.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun