"Di kota, lampu seperti ini juga di pasang di jalan, Bapak pernah ke kota kan?" Pak Doktorandus tersenyum sinis.
"Itu di trotoar Pak, lha disini kan gak ada trotoarnya." Pak RW menjawab kalem.
"Bukan masalah lampunya Pak, tapi mobil itu yang parkir sembarangan disitu. Ini kan jalan, masak dipakai parkir, bikin lampu saya ditabrak terus rusak, mana gak ada yang tanggung jawab lagi". Â Pak Doktorandus mengalihkan pembicaraan sementara Pak RW menatap kembali mobil yang terparkir manis di sebrangnya.
"Bukannya mobil putra bapak juga sering parkir disana? Besarnya sama kan dengan mobil itu?" Pak RW menunjuk mobil hitam yang tak berdosa itu. Pak Doktorandus merengut.
"Oh iya Pak, lagi pula kita kan gak satu RW dengan dia, jadi lebih baik bila ada hal yang kurang enak bapak lapor saja ke ketua RW-nya." Pak RW mesem mencoba cuci tangan.
Gigi Pak Doktorandus bergemeletuk, ia mendengus, wajahnya merah padam menahan amarah dan tanpa permisi langsung masuk ke rumahnya yang sebesar istana Raja.
***
Karena kesal, saat malam tiba, Pak Doktorandus mematikan  lampu untuk bagian luar rumahnya. Sebelum ia memasang lampu kekinian itu, biasanya ia hanya menyalakan satu buah lampu bohlam berkekuatan 5 watt untuk menerangi teras rumahnya yang seluas lapangan bola.
"Biar tahu rasa, gelap gulita kan? Makanya jangan suka main-main dengan mantan perangkat RT." Pak Doktorandus berbicara lantang sambil mengepalkan tangan  dihadapan istrinya yang telah tertidur pulas.
"Peduli setan dengan lampu, biaya listrik mahal, celengan buat naik haji alamat gak penuh-penuh." Lanjutnya sambil bersungut-sungut lalu menarik selimut.
Malam itu ketika jangkrik mengerik, anak tikus mencicit dan daun bergemerisik. Dua sosok berkupluk dengan santai mendorong motor milik istri Pak Doktorandus yang lupa dimasukkan ke dalam garasi.