Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja Terakhir (Bagian 2)

13 Januari 2018   16:11 Diperbarui: 26 Agustus 2020   20:39 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Shutterstock

Nara mengeluarkan amplop coklat yang Rein tinggalkan di meja kantin dari tas gendongnya.  Amplop yang belum direkat itu menggoda untuk dikeluarkan isinya.  

Sejenak ia ragu lalu bertanya pada dirinya sendiri, apakah pantas ia membuka amplop yang bukan miliknya? Namun rasa penasaran yang sangat telah mengalahkan semua keraguan di hatinya.  

Dengan hati-hati ia mengeluarkan lembaran kertas HVS yang berisi barisan kalimat membentuk sebuah cerita pendek.  Nara mengembuskan nafasnya pelan usai membaca kisah yang ditulis oleh gadis yang kini tengah merasakan keperihan hati yang sama dengannya.  Kisah tentang senja yang indah berbalut luka.  Kisah yang entah mengapa mengingatkannya akan adiknya.

Jed telah pergi untuk memenuhi takdirnya. Sebuah peristiwa kecelakaan beruntun telah merengut nyawanya, ia hanya bertahan beberapa jam di mana Nara menangis tanpa henti di sisinya.  Perasaan Nara semakin tergores ketika adiknya mengucap kalimat yang sama sekali tak di duganya.

"Jaga dia ya kak... Aku tahu kalau ... " Kalimat Jed terputus.

Air mata Nara meleleh tanpa henti, wajah pucat dihadapannya masih tersenyum. "Bertahanlah, dik."

Jed menggeleng. "Kalian adalah dua orang yang sangat berarti dalam hidupku. Aku ingin kalian berdua selalu ada dalam kebahagiaan. Maafkan aku kak, aku harus pergi." Jed berkata pelan nyaris tak terdengar. "Kak, berjanjilah!"

Nara menganggukan kepalanya.

"Aku janji dik, pergilah dengan damai." Nara membisikkan dua kalimat yang pernah ia bisikkan kepada kakeknya yang telah meninggal beberapa tahun lalu ke telinga Jed. Nafas Jed tersenggal, lalu satu tarikan nafas panjang mengakhiri semua rasa sakit yang menderanya.

Nara membelai kepala adiknya lembut.  Ia menyeka air matanya dengan lengan jaket jeansnya  dan disambut oleh tangisan mami, adik-adik serta tantenya.

Nara bersandar di kursi tunggu rumah sakit yang dingin, semua bagaikan mimpi.  Ia marah kepada dirinya sendiri karena gagal menjaga adiknya. Kedua tangannya mencengkram erat kepalanya seakan menahannya untuk tidak meledak.

Hari itu adalah hari terburuk baginya, adik lelaki yang ia sayangi dan ingin selalu ia jaga telah pergi untuk selamanya.  Dunianya mendadak menjadi sangat sepi, tak akan ada lagi cekcok mulut dengannya, tak akan ada lagi tawa renyahnya dan tak akan ada lagi semua rasa kesal yang sering timbul karena adik lelakinya itu. Semuanya akan hilang meninggalkannya dalam kesendirian.

***

Rein meletakkan tas gendong export-nya dengan asal diatas ranjangnya yang rapi. Ia mengingat lagi perkataan Nara tadi,  Jed telah pergi untuk selamanya.  Ia tidak akan bertemu dengannya lagi, begitu banyak hal menyenangkan yang akan segera hilang secara tiba-tiba.  Rein tertunduk, air matanya menetes satu persatu makin lama makin deras. 

Ia merasakan sakit dalam hatinya bagai ditikam pisau berkarat yang mengoyaknya tanpa ampun.  Akhirnya ia hanya bisa menangis dan menangis tanpa henti sampai kamarnya di selimuti kegelapan.  

Matahari telah menunaikan tugasnya, meninggalkan bumi dalam genggaman  malam.  Ia pergi untuk esok kembali.  Tapi Jed, ia pergi dan tak akan pernah kembali.  Rein bergelung di atas ranjangnya.  Tangisnya mulai mereda meninggalkan isakan berat.

Tak berapa lama ada suara ketukan di pintu kamarnya.

"Rein, kamu di dalam?"  terdengar suara Lea di luar.

"Rein, boleh aku masuk?" lanjutnya.

Rein tidak menyahut ia membiarkan Lea mengetuk pintu beberapa kali.

Terdengar suara bisik-bisik di luar.

"Semester ini Rein memutuskan untuk kos?" tanya sebuah suara.

"Iya, katanya dia sudah mulai capek di perjalanan."

"Aku khawatir Ya."

"Gak ada hal buruk yang akan terjadi dengan dia, Ra. Mungkin dia hanya perlu ruang dan waktu saja."

"Ya sudah, kalau ada apa-apa kamu beritahu tahu aku ya."

"Pasti." jawab Lea mantap.

Lalu sepi, tidak ada suara suara lagi yang tedengar dari luar.

Rein beranjak, menyalakan lampu kamarnya, tiba-tiba pintunya diketuk lagi.

"Rein, boleh aku masuk?" Terdengar suara memohon.

Rein membuka pintu untuk sahabatnya, mata nya sembab.  Begitu pintu terbuka, Lea masuk lalu menghambur dan memeluk sahabatnya yang tengah berduka.

**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun