Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Di Penghujung Senja (36)

2 November 2017   16:04 Diperbarui: 2 November 2017   16:15 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : askideas

Matahari telah condong kearah barat ketika Rein menghampiri Ratri yang tengah duduk sendiri di bawah selasar berkanopi yang menghubungkan kantin dan bengkel Tehnik Mesin.  Tadi malam sepulang mereka dari mal, Ratri berbisik di telinganya, bahwa hari ini ia ingin bertemu dengannya.  Rein merasa sedikit heran, karena ia tidak pernah berbincang serius dengan Ratri.  Tapi mengapa tiba-tiba, tiada hujan dan tiada angin Ratri memintanya untuk menemuinya di sana. 

"Hai Rat, sorry agak lama, tadi ada perlu dulu." Rein berkata ringan.

"Gak apa apa aku juga belum lama kok."

Rein duduk di sisi Ratri, wangi parfumnya menusuk-nusuk hidungnya yang tengah di serang flu.

"Ada apa?" Rein menatap Ratri serius.

"Pengen ngobrol aja."

"Ngobrol apa?"

"Tentang kamu dengan Jed."

"Hah?" Rein terkejut, permen karet di mulutnya hampir saja mencelat keluar.

"Kamu dengan Jed jadian?" Ratri menyibakkan rambut panjangnya dengan anggun.

"Enggak." Rein mengeleng.

"Enggak apa belum?"

"Memangnya kenapa?"

Ratri menghembuskan nafasnya dengan pelan.

"Aku gak rela kalau kalian jadian," ujar  Ratri dingin

"Hah?" Rein  terkejut untuk kedua kalinya, kali ini permen karetnya benar-benar mencelat keluar dari mulutnya dan jatuh ke tanah.

"Kamu tahu, awalnya aku cukup senang dengan hanya bisa memandangi punggungnya dari belakang ketika mendengarkan dosen di depan sedang memberi kuliah. Aku jarang ngobrol dengannya, disamping dia orangnya cuek aku gak tahu harus ngobrol apa dengan dia.  Tapi entah kenapa aku selalu senang memandanginya, melihat kecuekannya, mendengarkan tawanya yang lepas. Sampai suatu saat, aku melihat dia sering menengok ke luar jendela kelas, memandangi beberapa orang yang sedang berjalan pulang, tidak hanya memandang tapi kadang ia tersenyum."

Rein menatap wajah tirus Ratri, ia bingung dengan apa yang baru saja Ratri bicarakan.

"Kamu suka sama Jed?" Tanya Rein pelan namun Ratri mengacuhkan pertanyaan itu, ia melanjutkan ceritanya.

"Aku gak tahu siapa yang ia pandangi sampai suatu saat aku melihat kalian di kantin."

"Kamu gak tahu kan Rein gimana perasaanku saat itu. Aku yang setiap hari berada satu kelas dengan dia gak bisa sedikitpun dekat dengannya, tapi kamu yang bahkan berbeda jurusan bisa dengan manis ngobrol seru dengan dia."

Rein membisu, ia mulai tahu kemana arah obrolan Ratri itu.

"Lalu aku bertemu Mahendra."

Mata Rein tiba-tiba terbeliak. "Kamu kenal Mahendra?"

"Dia teman SMA-ku, kebetulan dia habis patah hati karena seseorang dan orang itu adalah kamu kan?" Ratri menaikan sebelah alisanya.

"Aku memanfaatkan kekesalan Mahendra yang ternyata telah lebih dulu mengetahui sesuatu tentang kamu dengan Jed."

Rein menatap Ratri tak percaya. "Jadi kamu yang .."

"Kamu gak nyangka kan? Banyak hal yang gak kamu tahu kan? Kamu bahkan gak tahu kalau selama ini aku selalu ada dimana kamu berada."

Kilasan peristiwa meluncur satu persatu dalam pikiran Rein. Acara perpisahan angkatannya Jojo, pernikahan Tantri, kantin, lapangan basket, lapangan sepakbola, kantin dosen, dan bengkel. Ya, setiap ada Jed selalu ada Ratri.  Ia bagaikan Wally, karakter favorit Rein di Where's Wally yang terlewat untuk di perhatikan.

Rein kembali menatap wajah Ratri tanpa berkedip.

"Dalam diam aku mempelajari kalian, aku mulai sering bertemu Mahendra, dan tanpa sengaja terciptalah sebuah cerita yang kamu gak bakal nyangka sama sekali kan?" Ratri tersenyum masam.

Konspirasi.

"Sebenarnya aku gak sepintar itu untuk mengarang sebuah cerita, ini semua karena kamu sendiri.  Aku membaca ini." Ratri mengeluarkan sebuah majalah remaja yang terlihat sedikit kumal, membuka halaman perhalamannya, lalu menyerahkannya kepada Rein.  Perasaannya mendadak tak enak.

Rein membaca judulnya, ia terkesima.  Itu adalah salah satu cerpennya yang dimuat di majalah tersebut beberapa waktu yang lampau.

"Bahkan kamu sendirilah yang memberi ide kepada ku, ironis dan sedikit tragis kan? Aku baru tahu kalau kamu yang menulis ini dari Tantri.  Hmm, nama pena kamu keren juga." Ratri menjentikkan halaman majalah itu dengan kuku jarinya yang dioles kuteks transparan.

"Cerpen kamu ini adalah inspirasiku. Aku tahu Jed itu sangat perasa. Aku tahu bila kak Nara sangat melindungi adiknya. Dan aku tahu, aku cukup cerdik untuk memanfaatkan itu semua."

Rein masih saja terdiam, ia tidak tahu harus berbicara apa.

"Dan aku berhasilkan? Aku di sana waktu terakhir kali kalian bercakap-cakap di Kantin. Aku masih ingat benar wajah pucat kamu."

Mendengarkan kalimat Ratri itu, hati Rein terkoyak. Ia menarik nafas dalam dan mengembuskannya dengan pelan.  Inilah yang selalu ia lakukan bila sedang merasa kesal dan marah.

"Setelah peristiwa itu, akhirnya aku bisa bernafas lega. Aku mulai bisa dekat dengan Jed." Ratri tersenyum samar lalu melanjutkan bicaranya.

"Sebelum peristiwa di kantin itu, sebenarnya Shia pernah curhat sama aku bahwa dia sedang mencari cara untuk menjauhkan dua orang teman agar terhindar dari masalah. Aku gak tahu bahwa dua orang itu adalah kamu dan Jed, lalu akupun memberi ide kepada Shia. Ide yang cemerlang dengan sedikit tantangan yang sangat Shia sukai yaitu bertaruh untuk satu buah botol parfum kesukaannya dan tepat dugaanku, Shia selalu berhasil."

"Kamu? Shia? Parfum?" potong Rein.

Dunia Rein menjadi porak-poranda seketika, sebotol parfum telah mengubah jalan hidupnya.

"Dan ternyata orang itu adalah kamu, kebetulan sekali. Tapi Shia yang katanya hanya iseng malah mulai menyukai kamu juga." Ratri mendengus kesal.

"Entah rayuan apa yang Shia lancarkan ke kamu sampai kamu mau jadian sama dia, Shia memang ahlinya." Ratri tersenyum dengan sinis.

"Tapi peristiwa jadiannya kalian itu adalah titik balik dimana Jed mulai rajin memperhatikan kamu lagi."  Ratri menggeleng-gelengkan kepalanya

"Kamu pasti tahu perasaanku kan Rein. Aku dengan Jed sudah mulai dekat, kami sering ke kantin, ngobrol, nonton basket, mengerjakan tugas bersama. Tapi itu sia sia, karena ternyata kalian malah terlihat berteman lagi. Kamu kenapa sih? Padahal jelas-jelas dia telah menjauhi kamu sebelumnya."

Rein membisu, ia sibuk dengan pikirannya.

"Aku lihat kamu pergi dengan Jed dan anak-anak punk itu. Kamu gak tahu kan, aku ada di sana, di acara yang sama sekali aku gak ngerti isinya."

"Kamu ngikutin kami?"

"Iya, kamu parah banget sih, kamu gak kasih tahu Shia kan? Dia memang gak kuliah saat itu dan itu yang membuatku akhirnya memutuskan untuk membuntuti kalian, agar Shia tahu apa yang kamu kerjakan."

"Kamu yang bilang ke Shia?"

"Ya, dan aku juga yang bilang kalau  kamu dengan Jed pernah bertemu di gedung himpunan."

"Kamu mata-matain aku?"

"Cuma itu yang bisa aku lakukan, agar Shia lebih bisa mengendalikan kamu. Tapi ternyata kalau apa yang aku lakukan ini malah membuat kalian putus." sembur Ratri.

"Kamu gak usah kecewa gitu deh Rat, aku putus dengan Shia bukan karena itu."  Rein berkata dengan  datar.

Kini Ratri yang mengerutkan keningnya heran."Kami putus karena Shia mulai berani berbuat kasar kepadaku dan balikan lagi sama pacarnya. Kamu puas kan Rat? Kamu puas kan melihat aku begini.  Aku bahkan gak tahu salahku apa sama kamu sampai kamu dengan teganya, secara tidak langsung membuat hidupku jadi begini."

"Rein, kamu begitu beruntung. Kamu selalu di kelilingi oleh banyak teman yang menyukai  kamu. Sedangkan aku, aku tidaklah seberuntung kamu. Aku memberanikan diri ngomong gini sama kamu, karena aku gak tahu musti gimana lagi." Suara Ratri kini terdengar sangat memilukan.

"Maafkan aku, tapi aku tahu kamu orang yang kuat dan aku terlalu lemah untuk bersaing dengan kamu. Aku hanya berharap kamu bisa memberiku satu saja keberuntungan yang kamu miliki." Ratri mulai terisak.

Rein mengigit  bibirnya, tiba-tiba ia merasa iba melihat Ratri menangis di depannya. Ia mengeluarkan satu gulung tisue yang biasa ia gunakan untuk mengelap ingusnya yang berlebihan.

"Salah satu keberuntunganku?"  Rein mengulurkan gulungan tissue itu kepada Ratri

Ratri menganggukkan kepalanya. "Jed," jawab Ratri pendek.

"Aku gak tahu harus ngomong apa Rat.  Aku bersyukur kamu menganggapku punya keberuntungan lebih. Tapi aku gak tahu apakah salah satu keberuntungaku itu bisa membuat kamu lebih bahagia. Gapailah keberuntunganmu sendiri, karena tiap-tiap orang akan mempunyai keberuntungannya masing-masing."

Isakan Ratri kini terdengar lebih keras di telinga Rein.

"Mengenai Jed, aku gak bisa bantu kamu.  Jed adalah temanku, aku gak ada apa-apa dengan dia. Kalau kamu merasa menyukai dia, kenapa kamu gak ngomong langsung ke dia, bukannya membuat cerita aneh seperti itu." Rein mendesah.

"Tapi terimakasih sudah mau jujur kepadaku, sudah mau menceritakan semua kebenaran yang sudah aku anggap gak ada. Aku gak tahu tujuan pasti kamu menceritakan ini semua kepada ku, apakah untuk menarik simpatiku demi mendapatkan sesuatu yang kamu anggap keberuntungan itu?  hanya kamu yang tahu." Rein lelah.

Rein menatap Ratri yang kini menundukkan wajahnya dalam.

"Rein, tolong aku, kamu mau berjanjikan kepadaku?"

"Janji apa?"

"Memberiku ruang untuk bisa dekat dengan Jed?"

"Aku gak tahu Rat, aku gak mau menjanjikan apapun. Aku tahu apa yang kamu rasakan, karena aku pernah mengalami hal yang sama. Tetapi selalu ada akhir yang menyakitkan untuk sesuatu yang di paksakan."

"Aku mohon Rein." Ratri terisak.  Ratri yang sebelumnya bercerita dengan sombongnya kini terlihat bagai seorang gadis kecil yang kehilangan boneka kesayangannya.

"Aku kan sudah bilang, aku gak ada apa-apa dengan Jed."

Rein tahu bagaimana rasanya menyukai seseorang, terkadang terasa indah tapi terkadang terasa sangat pedih.  Apalagi ketika orang yang disukai tidak mempunyai rasa yang sama dengannya.  Ratri berhasil membangun empati dalam dirinya, entah dengan tangisnya atau cerita yang tidak pernah Rein duga sebelumnya.  Rein merasa iba.  Ia harus memberi ruang kepada Ratri, memberinya kesempatan, walaupun akan ada rasa sakit dalam hatinya.  Toh,  ia dan Jed sampai detik ini hanyalah sekedar teman.  Walaupun Jed secara terang-terangan memperlihatkan rasa suka kepadanya, tapi tidak pernah sekalipun membicarakan hal itu dengannya. Yang ia tahu,  Jed baik kepadanya. Dan itu sudahlah cukup.

Rein meninggalkan Ratri yang masih terisak. Ia tahu tidak ada gunanya berada di sana lebih lama lagi. Ia tidak dapat menghibur Ratri maupun dirinya sendiri. Rein mengusap matanya yang basah di sepanjang selasar yang ia lalui.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun