"Kamu gak usah kecewa gitu deh Rat, aku putus dengan Shia bukan karena itu."  Rein berkata dengan  datar.
Kini Ratri yang mengerutkan keningnya heran.
"Rein, kamu begitu beruntung. Kamu selalu di kelilingi oleh banyak teman yang menyukai  kamu. Sedangkan aku, aku tidaklah seberuntung kamu. Aku memberanikan diri ngomong gini sama kamu, karena aku gak tahu musti gimana lagi." Suara Ratri kini terdengar sangat memilukan.
"Maafkan aku, tapi aku tahu kamu orang yang kuat dan aku terlalu lemah untuk bersaing dengan kamu. Aku hanya berharap kamu bisa memberiku satu saja keberuntungan yang kamu miliki." Ratri mulai terisak.
Rein mengigit  bibirnya, tiba-tiba ia merasa iba melihat Ratri menangis di depannya. Ia mengeluarkan satu gulung tisue yang biasa ia gunakan untuk mengelap ingusnya yang berlebihan.
"Salah satu keberuntunganku?" Â Rein mengulurkan gulungan tissue itu kepada Ratri
Ratri menganggukkan kepalanya. "Jed," jawab Ratri pendek.
"Aku gak tahu harus ngomong apa Rat. Â Aku bersyukur kamu menganggapku punya keberuntungan lebih. Tapi aku gak tahu apakah salah satu keberuntungaku itu bisa membuat kamu lebih bahagia. Gapailah keberuntunganmu sendiri, karena tiap-tiap orang akan mempunyai keberuntungannya masing-masing."
Isakan Ratri kini terdengar lebih keras di telinga Rein.
"Mengenai Jed, aku gak bisa bantu kamu. Â Jed adalah temanku, aku gak ada apa-apa dengan dia. Kalau kamu merasa menyukai dia, kenapa kamu gak ngomong langsung ke dia, bukannya membuat cerita aneh seperti itu." Rein mendesah.
"Tapi terimakasih sudah mau jujur kepadaku, sudah mau menceritakan semua kebenaran yang sudah aku anggap gak ada. Aku gak tahu tujuan pasti kamu menceritakan ini semua kepada ku, apakah untuk menarik simpatiku demi mendapatkan sesuatu yang kamu anggap keberuntungan itu? Â hanya kamu yang tahu." Rein lelah.