***
Lennon tak habis pikir, mengapa Papanya  itu selalu berang bila ada anggota keluarganya yang menyinggung-nyinggung nama itu, nama yang tertera pada T-shirt yang ia gunakan ketika pemotretan kemarin ini. Bahkan, hubungan Papa dengan pamannya pun menjadi buruk salah satunya dikarenakan  hal-hal yang semestinya telah ia lupakan.
"Aargghh." Lennon menenggelamkan kepalanya diantara bantal bulu angsanya dan mulai terlelap.
***
Lennon menyendoki Omelet Arnold Bennet-nya sedikit demi sedikit ke dalam mulutnya.  Rasa telur yang bercampur dengan ikan haddock asap, keju gruyere dan saus hollandaise itu tidak semenarik biasanya.  Lidahnya terasa hambar.  Tiga hari sudah ia hanya diperbolehkan berada di dua tempat, sekolah dan rumah.  Sungguh hari-hari  yang membosankan.  Sementara itu suara derap sepatu boots terdengar dari arah punggungnya, semakin lama semakin jelas.
"Hey Kak, lihat, wajah kusut Papa ada di mana-mana." Gene meletakkan ponselnya di hadapan Lennon.
Lennon menengoknya sebentar lalu menggeser benda itu ke arah adiknya.Â
Ia merasa tak enak hati melihat Papanya dicecar media karena fotonya itu. Tapi apakah salah bila ia menyukai sesuatu yang tidak disukai Papanya. Bukankah ia memiliki hak untuk menyukai apapun di dunia ini.
Lennon kembali teringat akan perkataan pamannya beberapa waktu lalu.Â
"Kami dan mereka memang rival saat muda dulu, kami selalu dibanding-bandingkan oleh media. Â Dan itu membuat kami muak. Â Namun, itu sudah usang, Om anggap itu hanya bumbu kepopuleran."
Namun perkataan itu tak jua menenangkannya. Â Akhirnya ia hanya bisa pasrah, ia akan menerima apapun hukuman (lagi) yang Papanya akan berikan nanti karena telah merepotkannya.