Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Di Penghujung Senja (30)

22 September 2017   16:17 Diperbarui: 18 Maret 2024   04:41 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ; newsmedical

Rein baru saja keluar dari wartel milik pak RT, bapak kosan Shia ketika si bapak yang tengah sibuk dengan sarung kotak-kotaknya itu bertanya kepadanya dengan wajah semringah.

"Neng Rein, Cep Shia ada gak, ya?" Pak RT bertanya dengan ramah.

"Sepertinya belum pulang, memangnya kenapa pak?"

"Ini ada yang nyari." Pak RT menunjuk gadis yang mengenakan rok bunga-bunga dan memakai tas sling yang senada dengan warna roknya.

Rein mengerutkan dahinya, siapa dia, adik Shia? Mana mungkin, yang ia tahu adiknya itu masih SMP.  Ah mungkin dia saudaranya, begitu batinnya.

"Nyari Shia? Shia ada di kampus, kuliah sore."  Rein berkata ramah kepada gadis itu.

"Oh gitu ya, eh kenalin aku Winda." Gadis itu mengulurkan tangannya.

"Reinaka." Rein menyambut uluran tangan Winda dengan hangat.

"Ada perlu penting? Ditunggu aja." Rein menawarkan.

Winda terlihat gelisah.

"Mau nunggu?" Rein memastikan.

Yang ditanya terlihat gamang. "Lama gak ya, kalau lama kayaknya aku mending pulang aja deh." Winda  menengok jam Casio Hello Kitty pinknya.

"Paling satu jam lagi. Gini aja deh, nunggunya di kantin aja yuk. Kebetulan aku belum makan nih." ajak Rein.  Gadis itu pun menganggukkan kepalanya sambil mengikuti Rein yang melangkah tergesa.  Tak lama mereka pun memasuki kantin Mas Nano, lalu memesan makanan dan duduk santai di kursi pojokan.

"Kamu saudaranya Shia atau temannya?" Rein memecahkan kesunyian.

"Aku teman SMA-nya."

"Oh, rumah kamu deket dari sini?" Rein mengunyah kerupuk udangnya dengan pelan.

Winda menggeleng "Lumayan jauh."

"Pasti penting banget ya, sampai jauh-jauh kesini."

Winda mengangguk, ia terlihat gelisah. Sesekali melihat jamnya, merapikan rambutnya, menatap Rein diam-diam, dan menengok keluar jendela.

"Kamu baru pertama kali kesini?" tanya Rein penasaran.

"Iya."

"Hebat, langsung tahu aja tempatnya, kalau aku sih kayaknya bakal dua tahun nyari alamatnya." Rein terbahak.

Winda tersenyum. "Aku dibuatkan peta oleh mamanya Shia. Aku nekat, padahal Shia pasti gak suka kalau aku datang kesini."

"Wah masa sih, kenapa memangnya?" selidik Rein.

"Ya gak tau, pokoknya dia suka ngelarang aku datang kesini."

"Oh, kamu deket sama Shia dan keluarganya, ya?"

"Dulu selain satu SMA, rumah kami satu kompleks.  Waktu SMA kelas 2, keluargaku pindah rumah, tapi aku gak pindah sekolah, jadi kami masih bisa berhubungan. Baru setelah kami masuk kuliah, kami memutuskan untuk tidak berhubungan lagi."

Berhubungan? Pacaran?

Rein mulai resah, ia mengetuk-ngetukan jarinya diatas meja.

"Tapi dua minggu kemarin kita memutuskan untuk berhubungan kembali. Awal ketemu laginya gak sengaja juga sih. Aku ketemu dia ketika dia dengan keluarganya sedang makan malam saat perayaan ultahnya beberapa bulan yang lalu. kebetulan aku habis beliin jam buat adikku, akhirnya jam itu jadi kado ultahnya.  Sttt, jangan bilang-bilang ke dia ya?" Winda meletakkan telunjuknya di depan bibirnya sambil tertawa kecil.

Berhubungan lagi? Jadian lagi? G-Shock hitam itu?

"Jadi kamu dengan Shia?" tebak Rein sambil menyilangkan kedua telunjuknya.

Winda tersenyum. "Iya."

Mendengar hal itu tubuh Rein seakan dibawa roket meluncur ke angkasa, isi kepalanya terasa menggelegak dan hatinya terasa dibakar.  Namun ia sadar, ia harus menahan diri dan harus bersikap setenang mungkin.

 "Terus?" Rein menjadi sangat penasaran.

"Ya, akhirnya dia sering menghubungi aku lagi, dan kami memutuskan untuk jadian lagi."

"Oh." Rein tercekat diantara usahanya menekan semua emosi yang tiba-tiba berkumpul di dalam hatinya.

Winda tersenyum manis yang terlihat sangat pahit di mata gadis yang kini mengepalkan kedua tangannya di atas meja.

"Kebetulan minggu ini aku ada libur. Kemarin aku bertemu mamanya, beliau meminta aku ke sini, karena katanya minggu ini Shia gak pulang.  Mamanya titip sesuatu buat dia."

Rein menelan ludah.

Bahkan dia telah dekat dengan mamanya.

Rein menatap Winda nanar, ia bertanya-tanya apakah semua yang baru saja di ceritakan oleh gadis itu benar? 

Berarti setelah jadian dengannya, beberapa minggu kemudian Shia balikan lagi dengan Winda. Kepala Rein mendadak seperti dipukul palu berkali-kali. Ia memegangi kepalanya yang berdenyut. 

"Kamu kenapa? Sakit kepala?"

"Sedikit, biasa penyakit kambuhan." Jawab Rein, suaranya separau suara burung gagak yang tengah mengabarkan berita duka pada dunia.

"Jangan dibiarin sakit kepala yang terus-menerus, takutnya ada hal yang serius."

Rein tersenyum kecut.

"Hmm, kamu satu jurusan dengan Shia, kok gak kuliah?" Winda bertanya kepada gadis yang pikirannya tengah dipenuhi gumpalan awan suram yang siap meneteskan butiran air hujan itu. Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya.

"Rein?"

"Oh eh, apa?"

"Kamu satu jurusan dengan Shia?" Ulang Winda.

"Oh, enggak."

"Kamu ngekos di situ juga?"

"Enggak." Jawab Rein pendek.

Dahi Winda berkerut. "Terus, kok ada ..."

"Kebetulan teman kos Shia adalah temanku," Potong Rein cepat.

"Oh gitu." Winda mengangguk-anggukan kepalanya.

Perasaan Rein begitu porak-poranda.  Apakah Winda yang sekarang ada dihadapannya itu berkata sebenarnya? Rein menatap wajah itu lekat-lekat.  Hatinya seakan disulut oleh api yang sangat panas. Rein memang belum mau bertemu dengan Shia karena peristiwa minggu lalu, tapi peristiwa ini membuatnya bertekad untuk menemui Shia.  Rein melihat jam dinding di kantin mas Nano, jarumnya menunjuk di angka 3.

"Yuk ke kosan Shia, mungkin dia sudah pulang," Rein beranjak diikuti oleh Winda.

Tempat kos Shia tampak masih sepi, hanya pintu kamar Jed yang terbuka lebar. Rein terpaku di tempatnya.

Jed keluar dari kamarnya, matanya menangkap dua sosok gadis mematung di depan kamar Shia dengan gaya yang canggung.  Jed menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia tersenyum lebar kepada Rein.

"Rein?" Jed menatap wajah gadis yang kini berjalan cepat kearahnya.

 "Itu ..." Wajah Rein memucat, matanya berkabut.

"Apa? Siapa itu? Kamu sakit? Kok wajah kamu pucat banget?"  Jed mengerutkan dahinya.

Rein menggeleng. "Dia temannya Shia." Rein menunjuk Winda.  "Ada perlu katanya, Shia belum pulang?"

"Belum, kayaknya masih lama, anterin ke kampus aja. Shia ada di himpunan, mau aku yang nganterin?"

Rein menggeleng dan berlalu meninggalkan Jed diiringi dengan teriakan "terima kasih" yang terdengar sangat merdu di telinga Jed.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun