Rein kebingungan di depan gedung yang pencahayaannya sedikit temaram itu. Shia yang tadi dilihatnya pergi di tengah lagu tak kunjung datang, sementara hampir semua tamu telah meninggalkan tempat itu. Â Beberapa orang yang mengenalnya, telah menawarkan tumpangan, tapi Rein menolak dengan halus.
"Rein ikut aku aja yuk, aku anterin sampe rumah, Shia kayaknya lama." Tiba-tiba Jimmy telah ada disampingnya.
"Gak usah Jim, makasih nanti Shia marah lagi."
Ban taft Jimmy berdecit, berhenti tepat di hadapan mereka. Â Kepala Jed keluar dari jendela di balik kemudinya.
"Rein ikut kita?" Jed keluar dari kendaraan berwarna biru dongker itu.
Jimmy menggeleng.
"Aku tunggu Shia disini aja dia pasti dateng kok, Jim." Rein meyakinkan temannya itu.
"Kamu yakin?" Tanya Jimmy.
Rein mengangguk. Sekilas ia melihat sosok Ratri dan Astri di dalam kendaraan milik pemuda penyuka pakaian berbau-bau Hawaii itu.
"Mau sampai kapan kamu nunggu Shia di sini, ini sudah jam 10. Â Kemana sih dia?" Jed terdengar sewot. Rein terdiam.
"Aku gak ikut Jim, aku temenin Rein dulu." kata Jed tiba-tiba.
"Gak usah Jed, jangan." Rein gusar.
"Kamu itu perempuan, ini sudah malam, aku gak kan biarin kamu di sini sendirian. Shia tuh apa sih maksudnya."
"Aku juga temenin Rein deh disini." Â Sahut Ratri, kini ia telah berdiri disamping Jed.
"Sudah ada Jed, lagian ini sudah jam 10, nanti aku di semprot sama mama kamu. Tadi kan kamu janji pulang jam 10. Sekarang aja sudah telat, belum nganter si Astri."Â
"Tapi kan Jim..." Ratri menggantung kalimatnya.
"Gak apa-apa, sudah ada Jed." Ulang Jimmy sambil menarik lengan Ratri yang sepertinya tidak rela untuk mengikuti langkah lebar Jimmy.Â
"Rein, Jed, duluan ya, hati hati guys." Â Jimmy menaik-naikan alisnya kepada Jed.
Jed tersenyum sambil melafalkan kata terima kasih tanpa bersuara.
Rein memainkan tas manik-manik Lea. Sesekali memandang ke jalanan yang mulai sepi. Â Mereka diam membisu, larut dalam pikirannya masing-masing.Â
"Mungkin Shia marah sama aku." Rein membuka pembicaraan.
"Kenapa?"
"Karena aku perform tadi."
"Maafin aku ya, itu semua ide Tantri," kata Jed cepat.
Rein tersenyum. "Iya aku tahu, dia itu memang suka bikin keki."
Mereka terdiam, Jed terlihat resah, ia menggerak-gerakan kakinya yang dibalut sneakers Converse high top berwarna hitam.
"Pulang aja yuk, sudah lama kita di sini, kayaknya Shia gak bakalan ke sini lagi deh," ajak Jed.
Rein mengangguk, dia sangat lelah.Â
"Masih ada angkot kan ke rumah kamu?"
"Aku nginep di tempat Lea malam ini."
Jed menganggukkan kepalanya.  Mereka berjalan beriringan di antara sinar  lampu-lampu kendaraan yang melewati jalan raya berhias pepohonan besar itu.
 "Wah pasti bakal gak ada angkot nih ke dalam," kata Jed tiba-tiba.
"Kita harus jalan, kamu kuat kan jalan?" lanjut Jed.
"Kamu tanya aku? Gak salah?"
"Eh iya kamu kan mantan anggota Pecinta Alam di SMA."
"Loh kok tahu?"
"Jo pernah cerita, kalian kenal karena kegiatan itu kan?"
"Jo nih ya, comel banget."
"Aku yang tanya, soalnya heran aja kalian kok akrab banget, beda angkatan tapi kayak lem takol kelakuannya, lengket."
"Ah gak selengket itu juga kali!" Rein membela diri.
"Jadi kuat kan ya jalan, pasti kuat lah ya, ini jauh loh?" goda Jed riang.
"Dulu aku pernah jalan malam-malam gini dengan Lea." Rein tersenyum mengingat kejadian yang pernah ia lalui dulu.
"Beneran?"
"Iya, sampai kosan ngos-ngosan dan sendal jepit Lea pun langsung putus seketika. Kaki ini rasanya kayak  habis di lindes stoomwalls." Rein tergelak diikuti oleh Jed.
"Paling malesinnya kan ditanjakan sana itu, angkot aja perlu di dorong apalagi dua cewek yang bawa dua tas plastik besar dengan isi yang lumayan banyak dan berat." lanjut Rein ringan, dia seakan sedikit lupa akan kerisauannya.
"Dari mana memangnya sampai malam gitu pulangnya?"
"Belanja, besoknya kan kita mau kunjungan ke ibu kota, jadi ya musti belanja banyak, maksa banget pokoknya." Rein mengenang masa-masa indahnya bersama Lea.
Jed menatap wajah Rein yang berjalan di sampingnya. Ia seakan tak percaya malam ini berjalan dengan gadis yang masih sering muncul di dalam mimpinya itu.Â
Mereka menyusuri jalanan yang trotoarnya masih berupa tanah, beberapa tenda tukang nasi goreng masih dipenuhi orang-orang yang kelaparan.
"Gimana kalau kita makan nasgor dulu sebelum menghadapi tanjakan di depan sana."
"Ngeper  juga kamu ya," canda Rein.
"Yaiyalah aku kan gak mau nanti harus nyeret kamu tanpa energi tersisa kayak sekarang"
"Huaah memangnya aku kantong keresek!"Â
Jed tergelak dan menarik lengan Rein memasuki salah satu tenda penjual nasi goreng di depan mereka.
Rein sejenak memikirkan Shia, setega itukah Shia meninggalkanya sendiri, semarah itukah Shia kepadanya. Â Ia melirik pemuda yang ada di sampingnya.Â
Untung ada Jed, walau pun Rein merasa mandiri selama ini, tapi untuk berjalan menuju kosan Lea sendirian di malam buta seperti ini adalah hal yang bisa membuatnya sedikit merinding. Ia menghela nafas panjang.
Setelah menghabisakan satu mangkok capcay tanpa nasi, Rein akhirnya mengajak Jed untuk kembali menyusuri jalanan yang suasananya temaram.Â
Kakinya sudah mulai terasa pegal, perjalanan ke kosan Lea masih beberapa kilometer lagi. Â Rein menyeret kakinya yang mulai terasa berat.
Mereka tengah berjalan pelan ketika sebuah kendaraan berhenti mendadak di samping mereka. Seseorang keluar dengan langkah yang tergesa, memutar menuju ke arah mereka berdua, yang  membuat mereka sangat terkejut.
"Rein, ayo naik!" Shia mencengkram lengan Rein kuat-kuat.
"Kamu dari mana, aku tunggu kamu .." Rein memberondong Shia dengan pertanyaan yang diacuhkan Shia.
"Gak usah banyak tanya, ayo masuk!" Shia menyeret Rein dan memasukkannya ke dalam kendaraannya.
"Shi gak usah kasar gitu lah," protes Jed.
"Ngapain kamu ikut ribut." Sahut Shia sinis.
"Bukan ribut, kan kamu sendiri yang ninggalin dia."
"Ah berisik, kamu bukan siapa-siapanya dia dan gak akan pernah!" Shia berbisik di telinga Jed. Lalu dengan cepat masuk ke dalam kendaraan dan membanting pintunya dengan keras.
"Shi, kamu gak ajak Jed?" Ban mobil Shia berdecit dan meninggalkan Jed yang mematung di pinggir jalan dengan wajah cemas.
"Ngajak? dia punya kaki, bisa jalan sendiri." Shia berkata kasar.
Rein menatap Jed lewat kaca spion, ada rasa khawatir yang mulai menyelubungi hatinya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H