Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Di Penghujung Senja (22)

17 Juli 2017   17:46 Diperbarui: 26 November 2023   17:22 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : blogs.anthena3

Rein berjalan gontai bagai prajurit kalah perang menuju kantin, di mana Beni dan Jangkrik menunggunya.

"Gimana?" Jangkrik bertanya ketika Rein telah muncul dihadapan mereka kembali.

Gadis itu menggeleng, lalu duduk di samping Beni. "Kalian gak bisa main bertiga aja, Ben?"

Beni menggeleng. "Komposisi sudah kita atur 4 personil, nanti ada bagian yang hilang."

"Rubah total lagu, Greenday aja." lanjut Rein sok tahu.

"Ai temana pionir punk mana masuk, lagian semua udah pik (fix)."

Pik pik pik bunyi hujan di atas genting.

Rein menyeringai.

"Cari additional aja atuh lah, Si Mercon mungkin bisa." Jangkrik menghisap teh botolnya yang tinggal setengah.

"Jiah, Mercon," Rein tertawa sementara Jangkrik nyengir.

"Nama aslinya Made, tapi dia suka meletup-letup kayak mercon." Jangkrik menerangkan dengan wajah yang serius.

"Kan si Mercon dipake "Kembang Setampan." Beni menimpali, sambil tak lepas memandangi suasana Kantin  yang  sebagian pengunjungnya menatap mereka dengan pandangan janggal.

"Kembang Setampan? Bukannya kembang setaman?" Rein tergelak.

"Anggotanya cowok tampan semua."  Jangkrik tersenyum. Rein manggut-manggut.

"Siapa dong ya. Rein kamu bisa gak?" Beni terdengar putus asa.

"Gak bisa pake gitar listrik, takut nyetrum."

"Laaah aya-aya wae atuh*, serius inih."

"Aku mah duarius Ben."

Beni menggaruk sisi kiri kepalanya yang tidak berambut.

"Percuma Ben, kita cancel aja lah." Sahut Jangkrik sambil menaik-naikan alisnya kepada Ratri yang tengah memesan jus mangga yang membuat gadis itu kontan bergidik.

Rein melempar pandangannya ke seantero kantin berharap ada seseorang yang di kenalnya dan bisa dimintai tolong. 

Tiba-tiba matanya bersiborok dengan Jed. Rein kontan memalingkan wajahnya cepat namun tiba-tiba muncul lah sebuah gagasan dalam benaknya.  

Jed jago main gitar, dia juga bilang dulu pernah terlibat dengan sebuah band. Kenapa gak minta dia jadi additional player saja. 

Tapi tidak mungkin sekarang iatiba-tiba kesana, di mana Jed di kelilingi teman-temannya.  Bagaimana bila Shia tahu, bagaimana bila Jed tak mau mengenalnya lagi, bagaimana bila ... ah. 

Rein menepiskan semua keraguannya, ini kesempatan satu-satunya untuk membantu Beni dan teman-temannya. Rein akhirnya menentukan pilihan.

"Ben, kamu bilang pake pengganti gapapa? Aku punya kandidat, mau nyoba gak ?"

"Oh iya, siapa? ada gitu, anak punk juga?"

"Teman, kebetulan orangnya ada disini, sebentar ya."  Rein beranjak dari duduknya sementara Beni mengangguk setuju.

Rein terburu-buru ketika melihat Jimmy tengah memesan es kelapa muda yang letaknya agak berjauhan dengan tempat Jed duduk.

"Sstt Jim."

"Hualaaah, gila, kaget nih." seru Jimmy sambil mengurut dadanya.

Rein menyeringai "Sorry, bisa bantu aku, gak."

"Bantu apa? aku mah bukan si bibi titi teliti, tapi kalau buat kamu apa sih yang enggak." Jimmy berkata genit, baju hawai bunga-bunganya berkibar ditiup angin.

"Hih, tolong tanyain ke Jed, bisa jadi pemain pengganti buat band temen aku itu gak malam ini?"

"Kamu nemu dimana yang seperti itu? " Jimmy menyipitkan matanya.

"Ah, mau tau aja, bisa kan bantu aku?"

"Ngomong aja sendiri, tuh orangnya ada."

"Gak mau ah, banyak temen-temen kamu."

"Kenapa? itu kan cuma Ratri, Iwan, Erik, Aris,  kamu kenal semua."

"Gak mau pokoknya. Ya udah kalau gak mau bantuin." Rein berlalu dari hadapan Jimmy.

"Deu ngambek, iya-iya bentar."

Rein tersenyum menang. Ia duduk kembali di bangkunya, tak lama Jimmy menghampirinya.

"Katanya ngomong sendiri aja, tuh orangnya pindah duduk."

Rein ragu.

"Cepetan." Jimmy menarik lengan Rein dengan paksa.

***

Rein berjalan pelan ke arah Jed, jantungnya mendadak berdebar tak menentu. Langkahnya pendek-pendek. Perlahan ia pun duduk di depan pemuda yang terlihat berusaha memasang tampang seramah-ramahnya itu.

Jed menatap ke kedalaman mata Rein dengan tajam yang membuatnya menjadi sedikit jengah.

"Sebenarnya aku gak enak ngomong gini ke kamu, tapi demi mereka,  aku terpaksa harus bertanya." Rein menunjuk meja yang di tempati teman-temannya.

"Kenapa? ada yang bisa aku bantu ?" Jed bertanya dengan ramah, pupil matanya membesar.

"Mereka butuh gitaris pengganti, Dandy mogok."

"Kenapa Si Dandy bisa mogok?"

"Ada sesuatu yang belum bisa aku ceritain ke kamu, tapi intinya kamu bisa bawain lagu-lagu punk kan?"

"Aku suka punk." Jawab Jed pendek.

"Mepet banget buat malem ini. Kalau sekarang dari sini mungkin masih bisa latihan, tapi setidaknya kalau kamu bisa mereka pasti senang." Rein menoleh ke belakang melihat Beni dan Jangkrik yang tengah terlibat obrolan seru.

"Aku bisa!"

Rein mengembuskan nafas lega. "Makasih ya, kamu masih ada kuliah? Sampai jam berapa?"

"Ada, jam 5 tapi kalau dengar cerita kamu aku bolos aja, Shia juga gak kuliah hari ini."

"Loh?"

"Tadi malam dia di jemput mamanya." Jed berkata ringan dengan mimik wajah datar.

"Oh," Rein berseru. "Kamu jangan sampai bolos lah, aku jadi gak enak nih," lanjut Rein.

"Ah gak apa-apa."

"Nanti kamu kena kompen."

"Tapi gak bakalan sebanyak kamu kan?" Jed tersenyum, Rein mencibir.

"Eh tapi syarat dan ketentuan berlaku ya." Jed memainkan sendok di gelas es kelapa mudanya.

"Apa?"

"Kamu harus ikut."

Rein terdiam. Ia ragu untuk mengangguk karena mendadak ada banyak hal yang mulai bersliweran di kepalanya.

"Gimana?" Jed meminta kepastian.

Akhirnya Rein mengangguk.

Aku mungkin akan berhadapan dengan badai, tapi aku harus bisa melewatinya demi mereka.

Sementara itu ada seseorang yang memperhatikan mereka dengan serius sambil  tangannya tak henti-hentinya meremas kerupuk yang tengah ia kudap.

***

Dandy menggigiti rumput yang ia cabut beberapa. Dari kejauhan ia melihat Rein, Beni, Jangkrik, Jed, dan Jimmy berjalan beriringan. Sepertinya ada yang mendapatkan pengganti, pikirnya.  Ia mengembuskan nafas panjang, terngiang di telinganya kalimat yang tadi Rein katakan,  "Gak ada perjuangan yang sia sia."

***

*ada-ada saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun