Rein berjalan tergesa, kantor pos tujuannya sebentar lagi akan tutup. Selembar surat titipan ibu untuk pamannya di kampung halaman harus terkirim hari ini juga.
Terbayang di matanya wajah seram ibunya apabila surat yang katanya penting itu tidak terkirim. Namun langkahnya melambat ketika ia melihat dua orang yang tengah bersenda gurau di anak tangga gedung kantor pos tujuannya. Rein memalingkan wajahnya segera begitu satu dari dua orang yang berada di anak tangga itu melihat ke arahnya.
Beberapa hari ini, Rein sering sekali melihat mereka berdua di mana-mana. Dan itu membuat perasaannya tiba-tiba menjadi gundah gulana.
Ia tahu, ia tidak berhak untuk merasa tidak nyaman namun ia tidak mampu mengatasi hal itu. Ada rasa kecewa yang menyelubungi hatinya.
Setelah urusan kantor posnya selesai, Rein bergegas pergi dari tempat itu melalui jalan belakang untuk menghindari pemandangan yang membuat hatinya sedikit perih.
Ia berjalan pelan menyusuri selasar yang sunyi menuju gerbang belakang kampus. Namun kesunyian rupanya tak mau menemaninya lagi, karena tiba-tiba ada suara nyaring yang menyergap telinganya.
“Hei, Rein!”
Gadis yang membiarkan salah satu tali sneakersnya terurai itu terlonjak. Seorang pemuda yang ia kenal kini telah menjajari langkahnya.
“Jadi, gimana?” Pemuda berkaca mata itu bertanya dengan tiba-tiba.
“Gimana apanya?” Rein mengerutkan dahinya.
“Kita?”