***
Setiap hari, aku di suguhi musik-musik yang menghentak dari balik dinding kamar ku. Terkadang aku mendengar teriakan garang Sean di sela-sela lagu yang tengah di putarnya. Aku yang awal nya tidak begitu suka dengan komposisi musik itu mendadak menjadi hafal liriknya. Kadang secara tak sengaja, bait-bait lagu itu meluncur begitu saja dari mulut ku. Lagu-lagu itu bagai bayangan yang terus mengikuti ku, sejak bangun sampai akan berangkat tidur. Â Berputar-putar dalam labirin di otak ku. Menetap bagai kerak.
Sampai suatu hari ketika aku tengah mengikat tali sepatu kets ku, satu bait lagu keluar dari mulut ku. Lagu yang baru saja aku dengar dari balik dinding kamarku ketika aku tengah merapikan rambutku.
"Tak ku kira, tetangga sebelah ku ternyata memiliki kegemaran yang sama dengan ku."
Mendadak aku mengatupkan bibir ku rapat-rapat demi mendengar suara itu. Aku tengadah memandang Sean yang juga tengah memandang ku. Senyumnya mengembang.
Dan mulai saat itulah, aku dan Sean sering bercakap-cakap. Lebih tepatnya, aku mendengarkan dia bicara.
***
Suatu hari Sean membuka pintu kamarnya lebar-lebar, mempersilahkan ku masuk dengan sopan. Aku terpana, apa yang pernah Aji bilang benar adanya. Dinding kamarnya di penuhi dengan poster-poster sang dewa. Ada beberapa gitar yang menggantung di sana, salah satunya adalah Fender Stratocaster, jenis gitar yang kerap dimainkan oleh idolanya. Kumpulan CD dan kaset tertata rapi di meja bersama buku-buku serta majalah yang aku tebak pasti berisi semua hal tentang idolanya itu. Kamarnya bagaikan museum yang di penuhi memorabilia. Sepanjang hidup ku aku belum pernah melihat yang seperti ini. Aku ternganga, ini semua luar biasa. Sang dewa memang telah menyihir banyak anak muda namun aku tak menyangka sampai seperti ini.
Dengan sopan pula Sean mengajak ku untuk ikut berkumpul dengan komunitasnya. Dan hal ini tak kalah luar biasanya. Â Aku kembali ternganga, banyak sekali orang yang memirip miripkan dirinya dengan idolanya. Aku seakan berada di tengah tengah kloningan sang dewa.
***
Siang itu awan hitam bergumpal di kepala ku. Hujan mulai turun, satu persatu tetesnya menyentuh kepala ku. Aku berlari menyelamatkan diri, menyelipkan tubuh ku diantara orang orang yang tengah berteduh di emperan toko. Disana, diantara orang-orang yang berdiri mematung menunggu hujan reda, terselip pemuda dengan rambut gondrong nya tengah membaca sebuah surat kabar dengan serius. Â Dengan susah payah, aku menggeser tubuhku sedikit demi sedikit sampai akhirnya berada di sampingnya.