Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Lebih Baik Padam daripada Pudar

15 Juli 2016   14:37 Diperbarui: 23 April 2020   16:53 932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tak pernah menyangka bahwa semuanya datang dan pergi begitu cepat bagaikan kilatan petir di langit yang menghitam.

***

Tempat kos yang aku tempati ini lebih nyaman dari yang terdahulu. Kamar-kamarnya yang menghadap ke sebuah halaman yang maha luas memberi keleluasan pandangan tersendiri. Pertama kali aku menginjakkan kaki di sini semua orang menyambutku dengan tangan terbuka kecuali satu orang, Sean.

Menurut Bianca, Sean itu antisosial. Ia sering mengurung diri dalam kamarnya, menyalakan pemutar musiknya keras-keras atau meliuk-liukan suara gitar listriknya tanpa tenggang rasa. Telah seminggu aku tinggal di sini baru dua kali aku melihat Sean, itu pun hanya berupa kelebatan.

***

Sore itu aku tengah kepayahan membawa setumpuk barang dan tanpa sengaja kaki ku tersandung batu yang membuat tubuhku terpelanting dan barang barang yang ada dalam dekapan ku berhamburan. Sean menghampiri ku, alih-alih menolong ku ia hanya menyingkirkan batu yang telah menghalangi langkah ku. Lalu ia kembali ke teras kamarnya, memangku gitarnya dan mulai memainkannya. Aku terpana atas kepeduliannya yang aneh. 

Bila melihat sekilas, sosok Sean mengingatkan ku akan seorang dewa. Penampilannya, gesturnya bahkan suaranya ketika ia menyanyi sangat mirip dengannya.

"Sean, itu tidak kidal. Namun ia belajar memainkan gitar secara kidal." Bianca menunjuk kamar Sean dengan dagunya.

Aku terpana mendengarnya. Belajar menjadi kidal di usia yang sekarang ini? Usaha yang sangat luar biasa dan memerlukan kesungguhan.

"Kapan-kapan, semisal kamu sudah mulai akrab dengannya dan itu sepertinya tak mungkin. Tengoklah kamarnya, dindingnya di penuhi oleh poster idolanya. Sudah seperti wall paper saja." Aji ikut nimbrung.

Sementara itu aku hanya bisa manggut-manggut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun