Aku tak pernah menyangka bahwa semuanya datang dan pergi begitu cepat bagaikan kilatan petir di langit yang menghitam.
***
Tempat kos yang aku tempati ini lebih nyaman dari yang terdahulu. Kamar-kamarnya yang menghadap ke sebuah halaman yang maha luas memberi keleluasan pandangan tersendiri. Pertama kali aku menginjakkan kaki di sini semua orang menyambutku dengan tangan terbuka kecuali satu orang, Sean.
Menurut Bianca, Sean itu antisosial. Ia sering mengurung diri dalam kamarnya, menyalakan pemutar musiknya keras-keras atau meliuk-liukan suara gitar listriknya tanpa tenggang rasa. Telah seminggu aku tinggal di sini baru dua kali aku melihat Sean, itu pun hanya berupa kelebatan.
***
Sore itu aku tengah kepayahan membawa setumpuk barang dan tanpa sengaja kaki ku tersandung batu yang membuat tubuhku terpelanting dan barang barang yang ada dalam dekapan ku berhamburan. Sean menghampiri ku, alih-alih menolong ku ia hanya menyingkirkan batu yang telah menghalangi langkah ku. Lalu ia kembali ke teras kamarnya, memangku gitarnya dan mulai memainkannya. Aku terpana atas kepeduliannya yang aneh.Â
Bila melihat sekilas, sosok Sean mengingatkan ku akan seorang dewa. Penampilannya, gesturnya bahkan suaranya ketika ia menyanyi sangat mirip dengannya.
"Sean, itu tidak kidal. Namun ia belajar memainkan gitar secara kidal." Bianca menunjuk kamar Sean dengan dagunya.
Aku terpana mendengarnya. Belajar menjadi kidal di usia yang sekarang ini? Usaha yang sangat luar biasa dan memerlukan kesungguhan.
"Kapan-kapan, semisal kamu sudah mulai akrab dengannya dan itu sepertinya tak mungkin. Tengoklah kamarnya, dindingnya di penuhi oleh poster idolanya. Sudah seperti wall paper saja." Aji ikut nimbrung.
Sementara itu aku hanya bisa manggut-manggut.