Waktu perlombaan hanya 90 menit saja. Sungguh singkat untuk memasak bahan makanan yang bernama jengkol. Seperti yang bu Gian katakan, bahwa jengkol itu mengandung sedikit racun bernama asam jengkolat. Untuk menghilangkan asam yang mengandung sulfur itu sekaligus menghilangkan bau jengkol yang aduhai dapat dilakukan dengan banyak cara diantaranya mengubur jengkol di dalam tanah selama tiga hari, merendam dalam air kapur sirih semalaman, atau direndam dalam air bekas cucian beras. Semuanya tidak mungkin di lakukan mengingat waktu lomba hanya satu jam Dan jengkolnya telah di sediakan pada saat perlombaan.
Gagasan Bu Ali lah yang tepat untuk kondisi sekarang ini yaitu mempresto jengkol selama 30 menit. Atau bisa juga 3 x 10 menit dengan pergantian air seperti yang bu Aris bilang. Dan Terimakasih kepada Bu Gun yang telah menemukan panci presto Mama di dalam lemari yang tidak pernah Dela tahu sebelumnya.
Dela mengangguk kan kepalanya dengan mantap, memakai apronnya lalu mulai bekerja sambil mengingat semua wejangan dari lima ibu yang telah membantunya tadi.
Panci presto berukuran 7 liter made in Indonesia itu ternyata cukup berat di tangan Dela. Ia tak menyangka bahwa ada peralatan memasak yang seberat ini. Pantas saja otot bisep mamanya sebesar atlet binaraga.
Dela mulai memasukan jengkolnya yang seluruhnya berbobot 500 gr itu ke dalam panci presto, menuangkan 6 sendok makan abu gosok, 10 lembar daun salam, 2 ruas jari jahe yang telah di memarkan, 1 buah batang serai yang juga di memarkan, serta 6 lembar daun jeruk purut yang telah di iris sebelumnya. Setelah itu Dela memasukan air secukupnya, menutup panci presto dengan benar lalu mulai menyalakan api kompor. Sambil menunggu jengkol di presto, Dela pun mulai mempersiapkan bumbu lainnya. Dela terlonjak kaget ketika mendengar desisan panci presto yang kencang dan tiba tiba. Namun tak lama ia dapat menguasai keterkejutannya. Lalu ia pun mulai menghitung mundur 30 menit dari desisan yang ia dengar tadi.
Ternyata mengolah jengkol itu menyenangkan, terlebih ketika Dela menggeprek keping jengkol di atas cobek batunya. Tujuan jengkol di geprek menurut bu Amir adalah agar bumbunya meresap saat di olah nanti.
Setelah kegiatan menggeprek selesai saatnya meracik bumbu balado. Dela menghaluskan bumbu tidak menggunakan blender karena rasanya akan berbeda dengan di ulek tangan. Walaupun banyak tenaga yang harus di keluarkan serta peluh yang bercucuran hasilnya worth it sekali begitu kata Bu Gun yang berprofesi sebagai guru di sebuah SD favorit.
Dela menyeka dahinya yang di penuhi dengan keringat menggunakan tissue. Ternyata memasak itu membutuhkan banyak energi. Mejanya terlihat acak acakan, noda cabai ada di mana mana. Sementara bumbu di cobeknya belum juga halus. Dela kepayahan, sedangkan waktu bergerak sombong tanpa mengindahkannya.
Lelah melandanya, hampir saja ia menyerah bila ia tidak melihat seseorang yang baru saja datang dan duduk manis di kursi juri.
Dela mangap, hampir saja ada lalat yang tertarik masuk mulutnya. Mendadak semangatnya menggelora kembali. Entah kekuatan dari mana, yang jelas bumbu di atas cobeknya lumat semua, sehalus hasil karya blender mamanya.
Wajan berisi minyak di depan Dela telah panas dengan sempurna. Sepanas salah satu juri yang ada di depannya. Dengan cekatan Dela memasukan bumbu balado ke dalam wajan itu yang menghasilkan bunyi "sreeeng". Bunyi yang terdengar sangat indah di telinga, seindah senyum juri itu yang membuatnya termehek mehek. Aroma dari perpaduan bawang merah, bawang putih, dan cabai keriting menyeruak ke seluruh penjuru halaman pak RW. Seakan belum puas Dela mencium aroma tumisan bumbunya dengan menggerakan tangan tengadahnya di atas wajan menuju ke hidungnya.