Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Lingkaran Lima #9: Tikar Keramat

20 Mei 2016   14:47 Diperbarui: 1 Juni 2022   18:19 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Libur semester telah tiba, gak seperti liburan sebelumnya yang diisi dengan berleha-leha di rumah, liburan kali ini gue sama sobat lingkaran lima gue dan beberapa teman lainnya pergi melancong ke sebuah pantai yang keren banget di Jawa Barat, yaitu Pangandaran.

Kalo denger Pangandaran, mendadak pikiran gue langsung ngacir ke Oom Doel Sumbang. Bukan karena rumah Oom Doel ada di komplek sebelah, bukan juga karena ternyata suaranya Om Doel ini gak sumbang kayak namanya, tapi karena lagunya yang bercerita tentang Pangandaran. Ah ya, ini dia, sisi laut Pangandaraaaaan, dendangnya.

Untuk ke Pangandaran, gue sama temen-temen gue yang gue singkat jadi kami biar gue nulisnya gak kepanjangan, harus pergi ke terminal bis dulu. Yap, terminal bis yang hits banget di bandung yaitu Cicaheum. Nah, dari sana kami lanjutkan perjalanan dengan menumpang bis rute Bandung-Pangandaran.

Seperti biasa gue duduk dengan si Juli. Ya gimana lagi, memang cuma dia temen battle yang bersedia bully-bullyan dengan gue untuk saat ini. Dengan saling bully mungkin 6 jam perjalanan bakal berasa dua jam aja. Tapi harapan gue pudar, ternyata baru aja nempel di kursi, si Juli udah tepar duluan.

Dalam perjalanan, di daerah Ciamis, gue sempat liat Ratna nongolin kepala ke luar jendela dan berdadah ria entah dengan siapa. Gue heran aja sama Ratna, sempet-sempetnya dadah-dadahan di atas bis yang larinya sekenceng temennya Bugs Bunny, Tazmania.

Iseng gue tanya ke Ratna, mumpung si Sandy yang duduk di sebelahnya sedang mengais mimpi, dan mengumpulkan ileran tingkat tinggi.

"Itu tadi lu dadah-dadah sama siapa sih?

"Halah, want to know aja." Ratna nyengir. Asli ingin rasanya gue ngikir giginya, kayak yang dilakuin sodara-sodaranya si Made in Bali.

"Hmm, mencurigakan."

"Curiga apaan? Sstt, udah jangan ribut, nanti Sandy bangun." Ratna ngusir gue dengan lirikan mata bak penari yang juga masih sodaranya si Made in Bali.

Setelah melewati sawah tadah hujan, ladang kacang panjang, sungai berair keruh, dan hutan hujan tropis, akhirnya gue sama seperangkat temen gue nyampe juga. Gue lega banget, karena terbebas dari bullyan Juli berupa irama ngorok yang kedengerannya kayak musik hardcore kesambet death metal kerasukan hip hop.

***

Yang gue suka dari Pangandaran adalah keramahan penduduknya. Saking ramahnya, begitu keluar dari bis kami langsung di sambut dengan tangan terbuka.

"San, kita udah kayak tamu negara aja, cuma minus red carpet sama kalungan bunga."

"Maksudnya?"

"Itu, mereka langsung nawarin kita nginep di rumah mereka."

"Heuuu, mereka mah tukang becak plus calo penginapan lagi. Poleees." Sandy moles kepala gue yang berasa cekot-cekot karena busleg.

"Ya udah, ngikut mereka aja, kan kita gak tau mau nginep dimana?"

"Heuuu, gue sama si Arya udah tau tempat nginepnya. Yang kita gak tau cuma jalan menuju ke sananya."

Gue manggut-manggut kayak kakak tua raja.

***

Malu bertanya sesat di empang eh jalan. Dari pada tersesat mending melancarkan pertanyaan.

Orang pertama yang ditanya jawabannya cukup melegakan, katanya jarak tu penginapan dari tempat kami berdiri cuma 2 kilo lagi. 

Udah jalan dua kilo belum ketemu juga, terus nanya lagi. Jawabannya sama aja dengan yang tadi, 2 kilo lagi. 

Tiga, empat orang ternyata ngasih jawaban yang sama, bikin gue bertanya-tanya, apakah Pangandaran ini sebuah Maze tanpa ujung yang bisa bikin orang muter-muter kayak naik komedi puter. Ataukah orang-orang ini atau bahkan kami yang gak faham dengan satuan ukuran jarak?

Sampai saat ini gue belum tau jawaban yang pasti. Semuanya masih menjadi misteri layaknya gunung Merapi. Hihihih #ketawamaklampir.

Akhirnya gue dan temen-temen gue nyampe juga di penginapan. Bukan hotel bintang satu, dua, tiga sayang adik kakak, bukan juga losmen kayak setting sinetronnya Tante Mieke Wijaya, melainkan berupa rumah tinggal. 

Di pangandaran memang banyak rumah penduduk yang disulap menjadi penginapan. Di samping harganya murah meriah gak pake muntah, penginapan kayak gitu lebih enak aja karena tipe penghuninya 4L, Lu Lagi Lu Lagi.

Setelah istirahat sebentar, kami langsung cabut ke pantai. Karena bukan anak pantai kayak Imanez, bawaannya jadi gak sabar. Gak sabar buat ngerasain deburan ombak yang menerjang betis-betis kami nan indah, menghirup angin laut yang berbau garam walau belum beryodium, dan duduk diam menantikan sunset di batas cakrawala nan semlohay.

Bila hati senang, waktu seakan berjalan dengan kencang. Tanpa ba bi bu, tiba-tiba malam pun menjelang. Salah satu kegiatan yang menyenangkan adalah rebutan kamar. Tapi seperti yang sudah-sudah, gue selalu berakhir dengan tidur di luar.

Tersebutlah Alam, temen gue yang satu ini adalah prototipenya Stephen King. Gimana enggak, dia suka banget bikin cerita-cerita horor yang bikin bulu kuduk keriting. 

Parahnya lagi, kali ini dia gak sendiri. Ada Asih yang memperkuat skuad horornya. Dua orang ini kompak banget dalam bercerita, udah kayak Kak Heni sama Kak Seto aja. 

Malam itu, duo A mulai melancarkan aksinya dengan bersenjatakan senter yang sengaja mereka bawa. Gue liat muka tegang dari sobat lingkaran lima gue. Kalo gue sih jangan ditanya lah, urusan horor-hororan gue juaranya. Juara ngumpet di bawah meja.

Malam itu gue gak bisa merem barang sedikit pun, si Alam King emang selalu bikin gue merana. Gue ketap-ketip merhatiin cicak yang nempel di dinding. Dia melet-meletin lidah kayak lidah Stones. 

Tu cicak entah lagi rajin nangkepin nyamuk, entah lagi ngolok-ngolok gue, yang pasti dia betah banget nempel di dinding depan mata gue.

Tiba-tiba gue denger ada suara ketukan di jendela. Gue ingin merem tapi gak bisa. Mata gue ini sombong banget sih, diajak merem gak mau. 

Gue denger lagi ketukan itu, dan tiba-tiba gue liat sebuah bayangan di luar jendela. Saking paniknya gue tendang kaki Fani yang tidur di bawah kursi. Gue harap itu gak masuk pelanggaran, kalo iya kan berabe dua kartu kuning bakal rubah jadi kartu merah. 

Mending kalo kartunya multifungsi bisa di tempelin ke jidatnya vampir Jiangshi biar gak loncat-loncatan lagi, kalo enggak gimana?

"Lu kenapa sih?" Fani bangun sambil mencetin jerawat di idungnya.

"Ada orang di luar, tadi ngetuk-ngetuk jendela."

"Hadeh, angin kali."

"Ihh orang, gue liat kok."

"Heuh lu tu ya, gak di kosan gak di sini, bawaannya berfatamorgana melulu." Fani masang kacamata minusnya, lalu beranjak ke jendela. Gue berjingkat di belakangnya.

"Tu bener kan ranting yang kena angin." Fani buka gorden jendela yang berkain tipis, setipis kulit ari.

Ya memang ada ranting di sana yang ketiup angin Dan menghasilkan suara ketukan di jendela, tapi perasaan gue tetep aja gak tenang. Gue tadi bener bener ngeliat seseorang di luar sana. Entah siapa dan mau apa.

***

Pagi itu gue terbangun dengan hiasan mata panda. Tapi temen-temen gue gak pada notice. Mereka sibuk dengan euforianya akan pantai. 

Hari itu rencananya kami bakal berlayar. Pake perahu nelayan yang berjajar rapi di tepian pantai. Bagi Sandy, Ratna, Lia dan Jappar, perahu bermotor tunggal itu terasa bagaikan Love Boat. 

Bagi duo A, perahu itu bagaikan kombinasi antara Flying Dutchman dan Mary Celeste. Dan bagi gue plus sisa teman lainnya, perahu itu bagaikan KRI Clurit yang berkecepatan 30 knot, siap menyerang dan memberangus gerombolan perompak genit di hutan belantara sana.

Setelah bermain air di tepian pantai berpasir putih, saatnya penjelajahan hutan. Seperti yang gue bilang tadi, di dalam sana banyak perompak nya. 

Duo A sih seneng aja menghadapi kenyataan itu. Empat sekawan yang sedang fall in love gak peduli dengan dunia. Si Anti udah siap-siap dengan tendangan apchaginya. Susan mengendap-endap di balik punggung Fani. 

Juli mulai pasang tampang serem yang saking seremnya sampe bikin gue geli. Sedangkan Arya sibuk nyembunyiin tas ransel ke dalam T-shirtnya yang ngebuat penampilannya kayak emak-emak hamil tujuh bulan. Sementara gue jalan blingsatan dari punggung satu ke punggung lainnya.

Di depan sana gerombolan perompak udah pada nyengir, naik-naikin alis dengan mata jelalatan. Mereka mulai berloncatan dari pohon dan semak belukar. Gaya kita nih ya udah kayak predators versus aliens. 

Mau tidak mau sebagai spesies homo sapiens yang derajatnya lebih tinggi dari mereka, kami harus nyusun strategi buat menangkis serangan Negara Api. Gue nyesel banget kemaren ini gak ikutan ujian Chunin bareng Naruto, Sakura, dan Sasuke jadi gue gak tau kekuatan gue yang sebenernya.

Dan seperti yang sudah diramalkan oleh Jayabayar, gue sama temen-temen gue kocar-kacir menyelamatkan diri dari serangan para perompak makanan yang berjenis macaca fascicularis itu. 

Tapi tiba-tiba mereka yang jumlahnya sekompi gak meneruskan serangannya. Semua orang bernafas lega. Gue heran kok langsung antiklimaks gini. Gue nengok ke belakang. Disana ada seseorang yang lagi anteng kasih makan pasukan sambil curi-curi pandang. Gue begidik langsung aja tancap gas 200 km/jam.

***

Pangandaran adalah pantai yang asik banget buat jalan-jalan, dari pantai timur ke barat dan sebaliknya yang jaraknya lumayan bikin gempor kaki orang.  Lha iya kaki orang, kalo bagi kaki kuda cemen lah jarak segitu mah. Untung aja disana ada penyewaan sepeda, dari yang single, double sampe king size eh salah itu mah kasur, hehe.

Kali ini gue duet sama si pemuda baik hati, tidak sombong dan rajin mencetin jerawat, Aa Fani. Sementara dia sibuk dengan jerawat di idungnya, gue di belakang ngos-ngosan ngayuh sepeda. 

Ingin rasanya nempelin dinamo mesin jait di sepeda tandem ini biar sekali injek langsung bisa ngacir secepat kayuhan sepeda mantan Suaminya Sheryl Crow, Lance Amstrong. Tapi apa daya, jangankan dinamo, mesin jaitnya aja gak ada.

Hari itu kami udah kayak peserta Tour de France, saling salip kiri kanan. Padahal gak ada piala yang diperebutkan.

Ibarat lagi jalan-jalan di mol, mata gue sibuk tengok kiri dan kanan. Pemandangan indah sayang buat dilewatkan. Tiba-tiba gue ngerasa ada yang aneh dengan kelompok tour ini. 

Ada anggota baru yang muncul gak daftar dulu. Anehnya kadang-kadang dia ada kadang-kadang dia ngilang. Gue lapor ke Komandan Fani, bahwa ada orang yang ngikutin sejak dari pantai timur tadi. Tapi kayak biasa Fani cuma bilang "fatamorgana".

***

Malam ini adalah malam terakhir kami di Pangandaran. Habis main seharian bikin semua orang tepar. Sebelum tidur dikunci lah rumah supaya aman, kegiatan berhitung pun dimulai.

"Sandy dan Ratna gak ada." Anti teriak keras kayak make toa.

"Ah palingan juga jalan-jalan, kayak gak pernah pacaran aja." Sahut Asih kalem sambil mainin senternya.

"Tapi ini udah malem, si Sandy make baju ijo lagi." Kata Lia dengan wajah serius.

"Heleh, emang kenapa?" Juli nimpalin.

"Nyi Roro Kidul kan suka warna ijo." Seru Susan.

"Gak bakalan keliatan ijonya, Sandy kan dominan item!" Seru gue.

"Cheeee..."

"Iya sama dengan gue, protes aja kalian."

"Ya udah kita cari aja yuk, jam 10 nih, takut ada apa-apa." gue inisiatif narik lengan Arya yang keliatannya masih bisa di ajak jalan.

Akhirnya, gue, Fani, Arya, Anti sama Susan keluar buat nyari dua orang itu yang lagi kasmaran.

Sasaran pencarian adalah pantai. Gak mungkin di tempat makan apalagi di pelelangan ikan, udah tutup.

Di jalan gue ngerasa ada yang ngikutin kami. Jalannya serong ke kanan dan serong ke kiri, lalalalalalalalalalala.

Tiap gue noleh ke belakang dia pura-pura berkegiatan. Gue curiga. Tapi gue gak berani laporan, takut di bilang fatamorgana.

Dan bener aja, dua orang itu lagi asik duduk gak jauh dari bibir pantai. Baru aja gue mau teriak manggil Jack sama Rose KW-an itu, eh si Anti ngebekam mulut gue duluan, untung gak pake David depannya, kalo iya bisa-bisa si Anti kena serangan banana kick dengan tiba-tiba.

"Sst, mending kita nonton dulu, gratisan, misbar, layarnya lebar banget nih, jarang-jarang ada." Arya mencetuskan ide yang bikin kami ketawa cekikikan.

Dasarnya sama-sama gila, semua orang setuju. Hadeeh kira-kira kelakuan kami masuk catatan malaikat yang mana yak, Rakib apa Atid?

Lagi asik-asiknya ngumpet sambil hahahihi, ada suara yang ngagetin.

"Punteen."

Gue terlonjak, hampir aja jerawat kesayangan Fani gue tampol.

"Manggaaa." Jawab Anti dengan gaya mojang minus jajaka Parahyangan.

Semua mata langsung nengok ke arah si punten tadi.

"Eh, maap, sayah ganggu yah. Kenalin sayah Deri. Kalian temen-temennyah Ratna yah?"

Bagai di komando kami ngangguk bebarengan.

Sementara gue merasa berdejavu. Kayaknya gue pernah liat wajah ni orang. Gue inget-inget, ah ya, dia kan yang sering ngumpet nongol, timbul tenggelam kayak detektif bayaran.

"Sayah teh mau ngasiin ini ke Ratna tapi gak jadi ajah, soalnya Ratnanyah berdua terus dengan siapa itu teh, cowok nyah?"

"Iyaah." Gue jadi ikutan berlogat Sunda.

"Padahal sayah teh udah ke penginepan kalian, ikutan ke hutan cagar alam sampe sesepedahan, tetep aja gak berani negor Ratna duluan. Sungkan lagian takut cowoknya salah paham."

Ternyata, Deri itu adalah mantan cowoknya Ratna. Katanya sebelum ke Pangandaran, Ratna bilang ke dia tentang rencana pelancongan kami ini. 

Sekarang gue tau siapa yang Ratna dadahin dari bis kemarin dulu. Deri titip sesuatu buat Ratna, gue gak tau apa. Gatel sih pengen nanya, tapi gak ah, takut di sebut celamitan bin kepo gitu. 

Gue ngerti sekarang kenapa Deri milih ke Pangandaran karena jarak Pangandaran-Ciamis kan lebih deket daripada Ciamis-Bandung.

Deri udah mau pamitan, tapi gue pikir kasian juga ni orang jauh-jauh gak bisa ketemu mantan. Akhirnya gue cetuskan sebuah ide yang gak cemerlang.

***

Kami berlima berlagak kayak sniper, tuker-tukeran binokular buat ngeliat scene terakhir film layar lebar di tepian pantai. Gue liat Deri agak kikuk dengan perannya. Sambil terbungkuk-bungkuk dia bawa tikar yang udah disewa dari penjaja tikar yang memang banyak berkeliaran di sana.

Gue salut aja sama pencetus rental tikar itu, tau aja kalo banyak orang seneng duduk-duduk di tepian pantai menikmati suasana yang romantis walau kadang bikin masuk angin.

Remang-remang gue liat wajah kaget Ratna, dan wajah curiga Sandy. Tapi bukan Ratna namanya kalo gak bisa nyairin suasana awkward. 

Selanjutnya gue liat mereka ngegelar tikar yang Deri bawa terus ngobrol akrab bertiga. Berkat Deri, gak ada pihak ke tiga yang biasanya di isi setan.

Gak mau kalah dengan aksi mereka, akhirnya kami berlima ikutan ngerental tikar buat duduk-duduk sambil nomat, nonton hemat. Judul filmnya Tikar Keramat.

***sumber gambar : wisatanesia.co

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun