Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Iuran Perelek

3 Mei 2016   16:25 Diperbarui: 3 Mei 2016   16:40 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu tahun sudah bu erte mendampingi pak erte mengepalai wilayah di bawah Rukun Warga yang pembagiannya tidak termasuk ke dalam administrasi negara. Sebelumnya bu erte meminta suaminya untuk menolak jabatan itu. Bu erte merasa tak sanggup untuk mengurusi warga dengan banyak rupa dan gaya. Namun pak erte meyakinkan istrinya bahwa semuanya akan baik baik saja. Dan bahwa sesungguhnya, jabatan itu adalah amanah yang harus dijalankan dengan bersungguh sungguh.

Pak erte di pilih menjadi ketua Rukun Tetangga karena tidak ada satu orang pun yang bersedia menduduki jabatan itu. Wilayah yang di pimpin oleh pak erte adalah hasil dari pemekaran. Awalnya satu RT hanya terdiri dari 30 kepala keluarga, tapi kini meningkat dua kali lipatnya. Hal ini disebabkan adanya para penganut sistim pondok mertua indah dan pendirian kontrakan yang merajalela.

Siang itu bu erte akan berkeliling ke Rumah warga, sekali lagi ia periksa buku agenda yang berisi daftar nama kepala keluarga lengkap dengan laporan iuran bulanan yang ada di tangannya. Banyak sekali kolom kosong yang belum di ceklis, bu erte menggeleng sedih.

Bu Ima dan bu Yanti kader kadernya yang rajin tengah disibukan oleh urusan keluarga sehingga bu erte lah yang harus turun lapangan sendirian. Dengan langkah tegap maju jalan bu erte mulai meninggalkan rumahnya.

Baru saja sepuluh langkah berjalan, ada seseorang yang berteriak memanggil dan mendatanginya dengan tergopoh gopoh.

"Bu, anak saya sudah satu minggu sakit, kok gak ada yang mejenguk sih. Padahal kemarin ini bu melly sakit di jenguk, anak pak Adam sakit juga di jenguk."

Bu erte terkejut."Wah, maaf saya belum tahu bu Rita, tidak ada laporan ke saya."

"Ibu ini gimana sih, sebagai ketua RT ibu harusnya tahu semua hal yang di alami warga." Ibu muda dengan bibir bergincu tebal itu merengut.

"Oh iya, maaf kan saya. Kalau begitu sekarang saja saya ke rumah ibu, kebetulan saya akan... "

"Saya jangan di tagih dulu bu, kan anak saya baru aja sakit." wanita berlegging macan itu berjalan mendahului.

Bu Rita mendiami sebuah rumah kontrakan petak berkamar satu milik pak Haji Kodir. Kontrakan itu baru berdiri setahun setengah yang silam. Setelah selesaidi bangun, kontrakan berpintu 16 itu langsung terisi penuh, dan di dominasi oleh keluarga keluarga baru.

Bu erte memasuki kontrakan bu Rita, anak yang di jenguknya ternyata tidak ada di sana.

"Kemana si eneng nya Bu?"

"Ooh lagi ikut papah nya beli bensin."

"Loh kan masih sakit, kok malah angin anginan?"

"Aah hanya batuk pilek doang mah gak apa apa atuh bu."

Bu erte tersenyum getir sambil menyelipkan amplop berisi uang kepada wanita yang lehernya di hiasi kalung emas entah berbobot berapa gram itu.

Bu erte berpamitan, untuk mengunjungi kamar kamar lainnya di lokasi itu dalam rangka menagih iuran warga. Uang kas erte telah sekarat. Limapuluh ribu terakhir baru saja mendarat di tangan Bu Rita yang kini tengah sibuk membeli pulsa untuk smartphone high end nya.

Banyak warga dengan sadar malas membayar uang iuran yang kerap di sebut perelek itu. Istilah perelek sendiri di dapat secara turun temurun. Dulu iuran bulanan dapat di bayar dengan beras yang bunyinya terdengar seperti “perelek” ketika di tuangkan ke dalam wadah. Tapi lambat laun iuran beras mulai di tinggalkan dan berganti menjadi uang. Walaupun telah berubah wujud dari beras menjadi uang, istilah perelek tetap lah menempel.

Bu erte kadang pusing tentang iuran perelek ini. Apakah nominal lima ribu rupiah itu terlalu besar bagi warganya sehingga banyak yang susah membayar? Tapi bukan kah semangkok mie bakso sekarang ini telah dihargai tujuh ribu rupiah.

Bu erte tidak habis pikir dengan beberapa warganya itu, pantas saja para tetua di RT nya tidak mau ditunjuk sebagai ketua RT karena kenyataan yang dihadapi ternyata begitu pahit. Memang tidak semua warga bermasalah, tapi lebih banyak yang iya. Para penduduk baru yang mendiami kontrakan lah yang kerap membuat pusing bu erte dan jajarannya, walaupun tidak semuanya. Pak erte selalu membesarkan hati istrinya bahwa keikhlasan lah yang akan membuat semua nya berjalan baik baik saja.

Bu erte mengetuk pintu berwarna coklat yang berada di bagian ujung kontrakan itu. Setelah beberapa pintu lainnya tertutup dengan rapat. Entah telah berapa kali bu erte mengetuk pintu itu, tapi tidak ada sahutan, padahal mata bu erte yang masih awas itu melihat sosok berkelebat di balik gorden jendela.

Setelah beberapa saat bertahan, akhirnya bu erte menyerah. Ia tinggalkan pintu itu dengan langkah gontai. Dari 16 kamar kontrakan itu hanya 5 kamar yang membayar iuran bulanan. Bu erte kembali menggeleng.

Uang iuran RT ini sangat dibutuhkan karena untuk di alokasikan di pos-pos tertentu diantaranya adalah iuran RW, menengok orang sakit, membantu warga yang kesusahan, kematian serta hal hal tak terduga lain nya. Kebetulan bulan ini sedang banyak pengeluaran. Ada warga yang rumahnya di lalap si jago merah dan membutuhkan bantuan. Belum lagi untuk memperbaiki got yang mampet karena sebentar lagi musim penghujan akan tiba.

Setelah pena yang di bawa bu erte banyak menganggur, akhirnya tiba saatnya pena bertinta biru itu bekerja. Warga yang sadar kewajibannya pun membayar. Bahkan ada beberapa warga yang melunasi iurannya untuk enam bulan ke depan. Orang orang inilah yang setidaknya telah menghibur hati bu erte yang gundah gulana.

Tersebutlah seorang warga bernama nek Inah. Perempuan tua itu hidup sebatang kara di rumahnya yang mungil. Walaupun telah renta, nek Inah tidak ingin di kasihani. Ia adalah seorang pekerja keras. Nek Inah mencari uang dari menjual kue kue kecil buatannya. Walaupun serba kekurangan nek Inah tidak pernah melewatkan satu bulan pun iuran perelek. Sebenarnya Bu erte telah menghapus nama nek Inah dalam daftar pembayar iuran. Namun nek Inah menolak untuk di bebaskan membayar. Nek Inah bersikeras untuk tetap melakukan kewajibannya sebagai warga.

Nek Inah adalah penyejuk hati bu erte. Diantara beberapa warga yang mementingkan gaya hidup hedon sekaligus lalai melakukan kewajibannya, masih ada sesosok nenek yang dapat dijadikan cermin diri.

***

victoryjr.blogspot.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun