Setelah beberapa saat bertahan, akhirnya bu erte menyerah. Ia tinggalkan pintu itu dengan langkah gontai. Dari 16 kamar kontrakan itu hanya 5 kamar yang membayar iuran bulanan. Bu erte kembali menggeleng.
Uang iuran RT ini sangat dibutuhkan karena untuk di alokasikan di pos-pos tertentu diantaranya adalah iuran RW, menengok orang sakit, membantu warga yang kesusahan, kematian serta hal hal tak terduga lain nya. Kebetulan bulan ini sedang banyak pengeluaran. Ada warga yang rumahnya di lalap si jago merah dan membutuhkan bantuan. Belum lagi untuk memperbaiki got yang mampet karena sebentar lagi musim penghujan akan tiba.
Setelah pena yang di bawa bu erte banyak menganggur, akhirnya tiba saatnya pena bertinta biru itu bekerja. Warga yang sadar kewajibannya pun membayar. Bahkan ada beberapa warga yang melunasi iurannya untuk enam bulan ke depan. Orang orang inilah yang setidaknya telah menghibur hati bu erte yang gundah gulana.
Tersebutlah seorang warga bernama nek Inah. Perempuan tua itu hidup sebatang kara di rumahnya yang mungil. Walaupun telah renta, nek Inah tidak ingin di kasihani. Ia adalah seorang pekerja keras. Nek Inah mencari uang dari menjual kue kue kecil buatannya. Walaupun serba kekurangan nek Inah tidak pernah melewatkan satu bulan pun iuran perelek. Sebenarnya Bu erte telah menghapus nama nek Inah dalam daftar pembayar iuran. Namun nek Inah menolak untuk di bebaskan membayar. Nek Inah bersikeras untuk tetap melakukan kewajibannya sebagai warga.
Nek Inah adalah penyejuk hati bu erte. Diantara beberapa warga yang mementingkan gaya hidup hedon sekaligus lalai melakukan kewajibannya, masih ada sesosok nenek yang dapat dijadikan cermin diri.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H