Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Iuran Perelek

3 Mei 2016   16:25 Diperbarui: 3 Mei 2016   16:40 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bu erte memasuki kontrakan bu Rita, anak yang di jenguknya ternyata tidak ada di sana.

"Kemana si eneng nya Bu?"

"Ooh lagi ikut papah nya beli bensin."

"Loh kan masih sakit, kok malah angin anginan?"

"Aah hanya batuk pilek doang mah gak apa apa atuh bu."

Bu erte tersenyum getir sambil menyelipkan amplop berisi uang kepada wanita yang lehernya di hiasi kalung emas entah berbobot berapa gram itu.

Bu erte berpamitan, untuk mengunjungi kamar kamar lainnya di lokasi itu dalam rangka menagih iuran warga. Uang kas erte telah sekarat. Limapuluh ribu terakhir baru saja mendarat di tangan Bu Rita yang kini tengah sibuk membeli pulsa untuk smartphone high end nya.

Banyak warga dengan sadar malas membayar uang iuran yang kerap di sebut perelek itu. Istilah perelek sendiri di dapat secara turun temurun. Dulu iuran bulanan dapat di bayar dengan beras yang bunyinya terdengar seperti “perelek” ketika di tuangkan ke dalam wadah. Tapi lambat laun iuran beras mulai di tinggalkan dan berganti menjadi uang. Walaupun telah berubah wujud dari beras menjadi uang, istilah perelek tetap lah menempel.

Bu erte kadang pusing tentang iuran perelek ini. Apakah nominal lima ribu rupiah itu terlalu besar bagi warganya sehingga banyak yang susah membayar? Tapi bukan kah semangkok mie bakso sekarang ini telah dihargai tujuh ribu rupiah.

Bu erte tidak habis pikir dengan beberapa warganya itu, pantas saja para tetua di RT nya tidak mau ditunjuk sebagai ketua RT karena kenyataan yang dihadapi ternyata begitu pahit. Memang tidak semua warga bermasalah, tapi lebih banyak yang iya. Para penduduk baru yang mendiami kontrakan lah yang kerap membuat pusing bu erte dan jajarannya, walaupun tidak semuanya. Pak erte selalu membesarkan hati istrinya bahwa keikhlasan lah yang akan membuat semua nya berjalan baik baik saja.

Bu erte mengetuk pintu berwarna coklat yang berada di bagian ujung kontrakan itu. Setelah beberapa pintu lainnya tertutup dengan rapat. Entah telah berapa kali bu erte mengetuk pintu itu, tapi tidak ada sahutan, padahal mata bu erte yang masih awas itu melihat sosok berkelebat di balik gorden jendela.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun