Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Lingkaran Lima #8: Wajib Militer

11 April 2016   17:04 Diperbarui: 20 Mei 2016   14:47 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Gue sempet gak ngerti sama pihak kampus. Kenapa mereka ngewajibin kami, para mahasiswa baru yang masih culun culunnya untuk di kirim ke medan. Bukan Medan ibukota Sumatera Utara yang mana ada Danau Toba dan pulau Samosir nya melainkan medan pelatihan bela Negara atau wamil alias latsardis atau latsarmil.

Yap, di tempat kuliah gue, semua mahasiswa baru wajib melalui kegiatan ini buat pemanasan mengikuti mata kuliah pancasila yang bersanding dengan penataran P4 pola 45 jam.

Tapi ternyata apa yang di gagas pihak kampus itu benar benar ada manfaatnya. Salah satunya gue jadi bisa push up walaupun untuk sementara.

Sebenarnya agak horor juga sih waktu pertama kali denger ada program ini. Pengennya sih mundur aja. Tapi gue tengsin dong sama lagunya oma Titik Puspa yang judulnya Terus maju pantang mundur. Lagian kalo gue terus mundur  pantang maju, gue takut kejeblos ke sungai deket kampus yang airnya mengalir sampai jauh walau gak sampai ke Bengawan Solo itu.

Banyak gosip yang berserakan dari kakak angkatan mengenai acara ini. Dari yang harus berduaan terus sama senjata sampe yang di rendam di kolam bintang. Asli gue merinding jadinya. Hidup gue jadi gak tenang. Gak enak tidur, gak enak makan, udah kayak mau di suntik cacar.

Sebelum keberangkatan, gue gelisah banget. Gimana enggak, seragam gue oke tapi kaki gue gak oke. Kenapa? Karena bau nya. Bukan bau kayak kaki si Keni yang melegenda, tapi bau yang lebih eksotis yaitu bau bawang merah di tambah minyak kelapa. Bawang merah kalo di goreng di minyak kelapa pasti enak, lha ini di olesin ke kaki, dimana enaknya? Gue dapet resep ramuan ini dari kakak angkatan yang punya pangkat menwa.  Kata nya untuk menghindari kaki lecet akibat pemakaian sepatu PDL yang terus menerus. Ya, gue sih nurut aja, secara sang menwa kan pengalamannya udah setingkat dewa.

Tempat yang bakal gue datangin adalah Pangalengan. Saat itu gue makin mengkerut aja, secara Pangalengan itu kan terkenal dengan hawa dinginnya. Gue kalo kedinginan bawaannya pengen pipis terus. Selain itu gue punya alergi hawa dingin pula. Lengkaplah sudah penderitaan gue, waktu dapet berita kalo gue gak boleh bawa selimut. Norak ya gue, masa mau latihan bela negara bawa selimut segala.

Jarak kampus ke pengalengan itu sama dengan membelah bumi secara vertikal, dari utara ke selatan. Gue sama temen temen gue yang jumlahnya kurang lebih gope di kurangi cepek itu di angkut sama truk tentara. Di dalam truk, kami berdesak desakan, kayak ikan pindang yang pasrah menerima takdirnya di kuali si mamang.

Setelah banyak mendapatkan cobaan dan godaan yang maha berat di dalam truk, akhirnya gue touch down juga di tanah Pangalengan. Belum apa apa gue udah jatoh duluan, celana PDL gue langsung robek di bagian lututnya. Kalo aja itu celana jeans, gue pasti bakal seneng alang kepalang. Gak perlu sering nyikat untuk mendapatkan sebuah lubang. Gue semakin gak suka sama acara ini. Bisanya cuma bikin gue merana setengah mati.

Gue tidur sekasur sama Ratna. Dia mah enak berhasil nyelundupin sarung ke dalam tas ranselnya. Sedangkan gue menggigil kedinginan mana badan gatel gatel semua. Gak kayak penganten baru, malam pertama gue bener bener gak indah, gak bisa merem apalagi ngemil sambil nonton tivi. Gue merasa terdzolimi,  ingin rasanya jadi Superman. Biar bisa terbang terus pulang ke planet Krypton yang keren.

Baru aja mimpi Indah satu episode, ada bunyi sirine meraung raung yang bikin gue jantungan. Temen satu barak udah pada sibuk. Hilir mudik kayak suasana stasiun balapan, kota Solo jadi kenangan. Gue liat ada yang udah mandi segala. Hiih, gue sih ogah, kambing gak mandi aja laku apalagi gue, pasti lebih gak laku lagi.

***

"Whaaat?" Gue teriak tanpa suara sambil melotot ke arah Susan waktu pak komandan nyuruh kami semua buat push up dan skot jump sebelum makan.

Seumur umur, yang gue tau, appetizer itu berupa sekelumit hidangan sebagai perangsang nafsu makan, bukan olah body kayak gini. Gue lagi lagi merasa terdzolimi. Sambil push up gue komat kamit, untung aja gak di akhiri dengan sembar sembur ala mbah dukun versi Alam adiknya Vety Vera yang orang Tasikmalaya.

Waktu jalan ke barak makan, gue bisik bisik  di kuping Susan, yang isinya omelan panjang pendek tentang penderitaan tadi. Susan sih gak ngomong apa apa, dia cuma ngangkat dua tangannya, berlagak kayak atlet binaraga yang sedang mamerin otot bisepnya. Gue manyun dua meter.

"Lu kira, gue mau jadi Ade Rai apa?  hiih ogaah."

Susan ketawa gak pake suara.

***

Setiap orang membutuhkan energi untuk beraktivitas yang diperoleh dari makanan. Begitu juga gue dan teman teman.

Gue, Susan, Ratna, Anti sama Lia akhirnya ada di antrian buat ngambil jatah makanan. Antrian yang panjang, sepanjang jalan Anyer Panarukan. Gue heran sama empat temen gue itu, kayaknya mereka enjoy enjoy aja di sini. Ratna malah sempat sempatnya pake minyak wangi. Sedangkan gue? Gue udah kayak Betharia Sonata yang mendendangkan lagu hati yang luka.

Makan kali pertama ini sungguh menyiksa lahir dan bathin. Gimana enggak, tu piring plastik harus bersih dari makanan dalam waktu 3 menit aja. Apa yang di bilang Gus dur "Gitu aja kok repot" gak berlaku buat gue saat itu, karena gue bener bener repot banget. Gimana enggak, sekarang di atas piring gue ada nasi yang keras banget, sekeras batu karang di lautan, irisan daging dengan kealotan setara dengan sandal, dan sayur yang rasanya susah di definisikan. Karena tak ada kata kata dalam bahasa Indonesia yang bisa menerangkannya walau di kamus pak JS Badudu sekalipun. Tapi gimana lagi, gue harus bisa nelen itu semua. Untung aja gue ngambil makanannya gak membabi buta. Jadi gue gak harus jungkir balik kayak Sarimin buat ngabisinnya. Walau agak seret, tapi gak papa. Ada air teh hangat yang bisa mendorong semua makanan ke haribaannya.

Dalam hati, gue bertanya tanya, siapa gerangan koki yang memasak semua makanan yang seabreg abreg ini. Sambil ngunyah pikiran gue melayang ke seorang koki yang berdada bidang dan bertubuh kekar. Koki pribadi nya kapten Adams di kapal perang USS Misourri. Anggota Navy Seals yang gape beladiri Jujitsu, judo, kendo dan aikido. Wah, kalo aja kokinya seheboh Steven Seagel di Under Siege sih, kayaknya rasa makanan nya gak seaneh ini deh.

Lamunan gue buyar waktu ngeliat Anti hampir aja terjengkang dari kursi. Gue heran sama si Anti, lagi makan aja sempet sempetnya pasang kuda kuda. Mungkin dia berhasrat buat naikin level ban taekwondo nya. Gue geleng kepala. Tapi selidik punya selidik, ternyata si Anti tadi hampir keselek irisan daging bak sendal jepit. Untung aja, ada Ratna anggota Unit Reaksi Cepat bagian penanggulangan bencana daerah tertinggal, yang duduk di sampingnya. Anti pun selamat dari serangan senjata pemusnah nafsu makan.

 ***

"Hiiy." Tiba tiba Lia yang duduk di samping gue, ngedorong piringnya jauh jauh. Pake bahasa senggolan dan lirikan mata, gue tanya dia.

Lia nunjuk sesuatu di piringnya.

Bergaya ala Sherlock Holmes tanpa suryakanta, gue tarik piring Lia lalu mulai menelitinya.Tapi gue gak nemuin apa apa. Akhirnya Lia jengkel juga, dia nunjuk sesuatu dengan sendok nya. Hampir aja mata gue jadi belo seterusnya, karena liat sesuatu yang bikin suapan terakhir gue susah masuk tenggorokan.

Di piring Lia, ada ulet pingsan yang sedang berpelukan dengan potongan labu Siam. Demi menjaga situasi tetap kondusif, gue berlagak tenang. James Bond versi Pierce Brosnan aja kalah dalam hal ketenangannya dengan gue.

Gue sisihin ulet itu di pinggiran piring, Lia geleng kepala gak mau makan. Gue pindahin ulet itu ke piring gue, Lia masih gak mau makan. Dia ini lagaknya udah kayak orang putus cinta aja.

Sementara itu pak komandan udah menggebrak meja, sebentar lagi pasti ada intro lagunya Europe yang judulnya The Final Countdown, terereret tererereret. Wah gawat keburu telat. Dengan bahasa isyarat yang hanya di pahami oleh anggota lingkaran lima yang baru aja di inisiasi. Akhirnya demi kemanusiaan dan terjaganya jalinan rasa persaudaraan ala phi beta kappa, gama, sigma dan teta, kami pun sepakat menjaga rahasia. Rahasia yang sangat top pangkat tiga secret banget, jangankan Pak Komandan, Pentagon aja yang punya drone di mana mana gak bakalan tau rahasia ini. Keamanan tingkat tinggi, dengan segel cap jempol kaki.

Pak Komandan yang berkumis ala Mas Adam mulai berteriak lantang. Dia mulai menghitung mundur, suasananya bagaikan di Tanjung Canaveral waktu NASA mau meluncurkan pesawat ulang alik Challenger nya. Gue jadi ikutan deg deg an sambil tetep dadah dadah ke astronot nya. #eh.

 ***

Pagi itu gak ada yang di hukum sama Mas Adam, eh Pak Komandan. Semua piring kami licin selicin baju yang baru di setrika dan di semprot pewangi pakaian. Di tempat cuci piring yang gayanya minimalis alias cuma ada keran doang, kami berlima membentuk sebuah lingkaran. Dengan kalimat yang saling menguatkan, kami keluarkan semua isi saku dengan secepat cepatnya. Menu makan pagi Lia telah berhasil di selamatkan. Kami gak peduli dengan saku baju, saku celana, kaos kaki, tempat minum bahkan topi kami yang dijadikan tempat bersemayam nasi dan lauknya. Karena semua bisa di cuci pada waktunya. Yang terpenting adalah salah satu dari kami gak ada yang kena hukuman. Kami pun tersenyum penuh kemenangan. Freddie Mercury bernyanyi riang. Brian May mencabik gitar listriknya dengan garang. We are The Champion bergema di tanah Pangalengan.

Tapi kami salah, pita kaset kami tiba tiba kusut seketika. Sepertinya Pak Komandan adalah mantan anggota pasukan katak. Dia bisa menyelinap ke dalam lingkaran tanpa ada satu pun dari kami yang menyadarinya. Mendadak sontak kami terbelalak. Bagaikan terkena ilmu totok nya Wiro Sableng muridnya Nyai Sinto Gendeng, kami kaku ditempat. Sambil membelai belai kumis baplang ala Mas Adam, pak komandan tersenyum menang. Kami tertangkap tangan. Ternyata Pak Komandan lebih canggih dari drone milik Pentagon yang berasal dari negaranya uncle Sam.

Akhir kata, kami dihukum beramai ramai. Push up, Skot Jump dan lari keliling lapangan. Energi hilang, mata berkunang kunang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun