Hanya aku yang berbeda.
Apakah aku anak pungut?
Anak yang ditinggalkan orangtuanya di depan pintu rumah mereka?
Ah, mengapa aku menjadi penuh prasangka?
Aku menjambak jambak poniku lagi dan lagi, dengan harapan bisa lurus nanti. Tapi poni itu kembali seperti semula. Tak ada alasan untuk kembali menjambaknya.
Kadang aku enggan membuka mata ketika ayam jantan berkokok gempita. Karena aku akan mendapati rambut dan poni ku bagai sedia kala. Â Aku ngeri untuk memutuskan tak berponi, karena dahi ku terlalu lebar untuk di pandangi.
Â
"Setrika saja." teman ku datang dengan ide yang menantang.
Aku pun merengek kepada ibu minta di belikan setrika baru.
Ibu mengangguk setuju, beliau pergi ke dalam dulu.
Tak lama ibu datang sambil menenteng setrika baju.