Ini benar lho. Baru kali itu saya merasa lidah bisa punya rasa pusing! Sampai-sampai hampir mati rasa lidah deh!
Sedangkan urusan harus membawa semua masakan hasil liputan, membuat saya pulang ke kantor bak seorang pengantar katering!
Usai liputan, di motor saya penuh dengan gantungan plastik berisi wadah-wadah styrofoam yang kesemua isinya adalah makanan.
Sampai di kantor, keberuntungan pun lantas beralih ke teman-teman saya. Mulai dari pos satpam sampai redaksi, kebanyakan sangat tidak akan menolak ketika saya minta untuk mengambil makanan yang saya bawa.
Sementara itu di hari-hari berikutnya, pusing saya pun makin bertambah karena bingung memilih menulis liputan kuliner yang akan turun di edisi hari minggu. Setiap narasumber maunya minta ditulis dan dimuat lebih dulu.
Belum lagi usaha menggali ingatan tentang rasa yang telah dicecap oleh lidah saya. Kan lucu saja kalau masakan yang harusnya ditulis rasa gurih lalu saya tulis asam manis.
Meliput kuliner memang tidak sembarang hanya mencatat keterangan dari si pembuat masakan. Butuh kepekaan lidah untuk mengira-ngira rasa apakah manis, gurih, asam, atau pedas.
Lantas bila ada sebuah rasa yang cenderung dirasa kuat di lidah, itu berarti waktunya untuk bertanya tentang mengapa masakan tersebut bisa demikian.
Istilahnya, menanyakan bumbu apa yang memang menjadi peran utama dalam membuat masakan tersebut.
Wawancaranya pun tidak bisa asal begitu saja. Karena terkadang, para reporter kuliner harus berhadapan dengan para pemasak yang cuma tahu takaran kira-kira, bukan asli berdasarkan resep yang pakem.
Kalau sampai ketemu koki yang seperti itu, waktunya reporter harus terpaksa menjelma jiwa jadi koki. Gunakan intuisi, rasa, kepekaan lidah, dan kepala bertopi koki. Seperti demikian pesan tidak tertulisnya.