"Tapi karena krim ini tak, kulit kamu jadi tetap putih? Macam aku, berkulit putih pun tapi tiap hari dibawa melaut. Pasti lah tak seputih kulit engkau!" aku tertawa berujar. Rasanya apapun itu, krim itu memang punya kemampuan istimewa.
Anis mengambil botol krim pemutih yang masih hanya mampu kulihat. "Mahal Kak, krim macam ini?"
"Eh, Anis, tak patut kau pegang!" ku ambil dengan cepat dan kuletakkan lagi di dekat kaki wanita itu.
"Nggak apa-apa, Bu," ditatapnya ramah mataku yang kubaca sebagai pertanda memang ia tidak mempermasalahkan ulah putriku.
"Uhm... harganya sih lumayan! Tapi... kalau kamu suka, ambil saja! Nanti biar Kakak beli lagi di Batam!" disodorkannya krim itu ke arah Anis.
Hatiku melonjak riang. Milik Anis, bukankah berarti milikku juga?
"Buat saye, Kak? Asyik... Terima kasih, Kak!" Anis menggenggam erat botol merah muda itu. Tak apa, botol itu diberikan untuk Anis. Karena pasti, nanti akan kupegang juga nanti!
**
Anis masih sekolah. Anak satu-satunya yang masih kukeluarkan dari rahimku itu sekolah SD kelas 3 di Pulau Ngenang, seberang Pulau Air Mas tempatku tinggal. Kupastikan saat matahari mampu memanaskan ubun-ubun kepala, ia baru akan pulang bersampan.
Inilah kesempatanku sekarang menggila dengan krim pemutih itu. Telah kutahan hasratku saat hanya bisa melihat Anis yang pagi ini lebih ingin merasa cantik karena telah mendapat sebuah krim pemutih. Juga telah kuredam keinginanku hingga waktu tak bisa lagi diucap pagi, usai melepas kepergian si wanita pembawa keberuntungan, begitu aku menamainya sekarang usai kejadian serah terima krim pemutih itu pada Anis. Dan penolakanku terhadap suamiku yang tadi melaut dengan alasan melepas kepergian wanita pencari berita itu dan kawannya, kuyakini, tak salah pasti.
Karena kini aku hanya ingin berdua dengan krim pemutih itu. Benar-benar menyentuh botolnya, menuangkan krimnya ke tanganku, dan mengolesinya di wajah legamku.