Â
Sejak mengenalnya, aku selalu melakukan ritual yang sama. Melihat kakinya. Apakah tanda titik hitam itu tiada, satu, atau banyak? Dan lagi-lagi kembali aku menghela nafas. Tanda itu kembali kutemui. Nafasku makin menghela berat. Mataku menangkap titik itu tidaklah satu, tapi beberapa. Bahkan di kedua kakinya!
Bentuknya titik hitam. Mungkin tampil dengan warna cokelat. Kadang menonjol sedikit timbul, kadang sedatar kulit di sekitarnya. Orang menyebutnya, tahi lalat.
Aku adalah orang yang percaya arti pada keberadaan tanda titik yang menyebar di tubuh manusia. Konon, selalu ada makna di balik sejumput titik yang sudah ditorehkan Tuhan pada tubuh manusia. Tahi lalat di bibir atas dan bawah menjadi tanda pemiliknya disenangi banyak orang dan mudah rejeki. Titik lalat di pipi kiri jadi gambaran pemilknya yang boros. Jika tertitik di dada, akan menembus ke hati yang jadi berwatak keras.
Ibuku menjadi bukti dari kebenaran mitos tentang makna posisi tahi lalat di tubuh. Sejak kukecil, di telapak kaki kanannya, kulihat setitik hitam pekat yang menerang di antara putihnya telapak kaki. Aku ingat, dulu di kala aku tertakjub-takjub melihat setitik tanda hitam besar milik kaki ibu, pandangan pertanyaanku dijawab demikian, "Ini berarti ibu ini orang yang kuat berjalan!" yakin jawaban Ibu.
Kata-kata itu benar. Ibu adalah pejalan kaki yang kuat dan tangguh. Bila berjalan dengan orang lain, pasti langkah kaki Ibu lebih menggesa dari orang yang berjalan bersamanya. Saat teman sejalannya lelah, Ibu masih tak memiliki nafas memburu yang tak buru-buru keluar untuk terdengar.
Makin besar, makin ku yakin bahwa pejalan yang kuat dan tangguh juga berarti tak akan lelah untuk menjelajah banyak tempat. Ibuku yang masih menjadi remaja belia asal Lamongan, menjawab dengan binar tawaran pakdhenya untuk merantau ke Jakarta. Berbagai cerita Ibu saat hidup di Jakarta, selalu membuatku ingat dan lantas melirik ke arah kakinya jika ia sedang menderas bercerita pengalaman merantau masa silamnya kepadaku. Tanda itu, kuyakin pastilah itu yang membuat Ibu berani menjadi perantau.
Ibu hanya punya satu tahi lalat kaki. Setelah melewati rentang waktu dan cerita, Ibu lalu kembali ke Lamongan. Membawa Ayah, aku, dan adikku untuk melanjutkan hidup di kota Boran. Tak ada perjalanan lain dari Ibu hingga kini.
Lepas SMA, aku terkejut dalam kesadaran baru saat kulihat sebuah titik hitam yang makin jelas menarik perhatian di kaki kiriku. Di bawah bulatan tulang kaki bagian dalam, di atas tumitku sendiri, kulihat setitik tanda. Aku lalu mengunduh tanya, mengail jawaban, hendak kemanakah kakiku ini nanti akan membawa pemiliknya?
Malang, Jogja, Balikpapan, dan Batam , ternyata kota-kota itu menelankan ingatanku pada tahi lalat kaki milik kakiku sendiri. Aku sempat lupa untuk beberapa waktu. Yang ada, hanyalah menikmati gelar petualang yang telah menyemat dilekatkan banyak orang. Melakoni sebagai pencari dan penyampai cerita berita, membuat kehausan melangkah itu selalu ada untuk tereguk.
Hingga suatu malam, usai melepas padatnya waktu yang menghasilkan kata lelah, kupandangi kakiku yang menancap gantung pada datarnya tembok. Dalam posisi rebah, mataku menatap urat-urat kaki yang menyeruak berebut bertonjolan. Satu tanda titik hitam pada punggung tapak kaki kiri membuatku terjingkat ingatan.
Aku langsung duduk, menatap tahi lalat kaki itu. Mencermatinya, dan menemukan satu tanda lagi di bagian atasnya. Di atas mata kaki, kembali kutemukan satu. Di dekat bulatan tulang kaki bagian dalam, menggenapi satu titik lagi. Satu kaki kiri, dengan lima tahi lalat kaki.
Ganti kuperiksa kaki kananku. Di dekat mata kaki, kutemukan tiga tanda titik hitam yang tersebar dalam ruang berdekatan. Nafas lega terhembus saat kutahu bagian dalam kaki kananku tak menambah jumlah keseluruhan tahi lalat di kedua kakiku.
Diam dan tergumam sendiri, aku mencoba mencari korelasi cerita ke belakang hari dari delapan tanda titik hitam itu. Mengingat awal muasal temuan cerita mitos tentang tahi lalat kaki yang pernah kudengar dari ibu, lalu berencana menemukan kebenaran dari mitos itu.
Melalui dunia maya, esok harinya kubuka laman kitab ramal versi Jawa atau yang bernama primbon. Sebetulnya tidaklah sekali itu aku membuka laman tersebut. Karena sebelum-sebelumnya, beberapa tanda tanya juga kerap kucari tahu melalui laman yang tampil dengan warna gelap hitamnya. Mulai dari keinginan memenuhi hasrat untuk mengetahui watak seseorang berdasarkan pasaran hari lahir dalam budaya Jawa atau yang disebut weton, sampai kecocokan seseorang dengan yang lain bila dilihat dari wetonnya masing-masing.
Rasanya pemilik laman itu cukup tahu, jika banyak orang seperti diriku yang telah bergulat dalam dunia moderen, namun masih menyisakan ruang kepercayaan budaya Jawa pada dirinya. Karena membawa primbon ke mana-mana, rasanya akan menjadi hal yang sulit. Meski tak bisa mungkir, tapi siapapun yang masih percaya primbon di pergaulan zaman serba teknologi canggih, akan malu untuk mengaku jujur.
Dari laman itu, dugaanku tentang tanda titik hitam pada kaki hanya sedikit dibenarkan. Seseorang yang punya tahi lalat di kaki akan tak mudah lelah saat berjalan. Itu saja keterangannya!
Tak hanya lewat primbon dunia maya, aku jadi punya hobi memandang selidik dari banyak kaki miliki teman-temanku sendiri. Ada yang kutemukan satu, dan kusadari temanku itu memang telah keluar dari kota asalnya untuk menjadi perantau. Ada yang tak kutemukan sama sekali, dan aku sadar pemiliknya memang tak pernah merantau ke mana-mana. Dan yang kutemukan banyak, memang benar adanya bila ia kerap merantau ke banyak daerah.
Namun tiba-tiba ada takut datang menodong. Begitu banyak sosok di sekitarku yang kutemui dengan tahi lalat di kakinya. Jangan-jangan dari orang-orang yang sering kutemui itu, akankah pendamping hidupku kelak juga memiliki tanda titik hitam yang menabur pencar seperti di kakiku?
Jawabanku terjawab pada satu demi satu kejadian. Sosok awal, ada di pacar pertamaku. Di angka usia 25 pada biodataku, sesosok pria dengan tahi lalat kaki sebanyak tiga mencoba melamarku. Sejenak, kucoba lupakan mitos yang telah menyergap otakku. Apalagi waktu kuceritakan mitos itu, priaku menjawab tegas lugas, "Takhayul!"
Sumpalan penyumbat legaku terlepas. Pria kekasihku yang pelaku ragam kisah di atas panggung pada banyak tempat itu, ternyata masih memiliki sisi kelugasan seorang pria yang berpegang di otak rasionalnya. Mungkin inilah orang yang akan menjadi tempatku berbagi hidup. Ia yang mampu menutupi kebiasaanku menyelidiki ketidakrasionalan hidup, dengan pola pikirnya yang lebih sering bermain di ranah rasional.
Namun nyatanya, kudapati ia juga perantau sejati. Kakinya tak pernah jenak di satu tempat. Kepercayaannya berikut kekuatan keyakinanku runtuh di saat kami memilih mengakhiri rencana masa depan kami berdua. Yang kami sama-sama sadari, dua perantau sejati tak mungkin bersatu untuk bertahan di satu tempat yang sama! Kali itu aku masih menjejakkan kaki di Batam. Dan ia memilih Jogja, tempat cinta pertamanya pada dunia lakon yang telah lebih mendekapnya dalam kenyamanan.
Kali ke dua di usia dua puluh tujuhku, seorang pria tanpa tanda titik hitam di kakinya, mencoba merajut keseriusan bersamaku. Ia, pria berparfum laut yang terjerang matahari, dari sebuah Pulau Ngenang di dekat Batam. Lagi-lagi sebuah pertemuan dalam proses pencarian berita, jadi cara Tuhan memertautkan hatiku dengan makhluk yang sedang mencari kepingan rusuknya.
Dan betapa aku bahagia melihat warna cokelat dan legam kakinya yang bersih tak bertitik hitam mencolok di sana sini. Tapi baik aku dan dia tak bisa menghapus tanda titik hitam di kakiku yang terlanjur ada. Saat itu aku masih kerap menjalani rentangan waktu ke berbagai birunya langit yang berbeda. Sedangkan ia masih setia dengan birunya laut yang terhampar di sekeliling tempatnya singgah sejak lahir.
Hingga ke sekian pergi kembaliku ke pulau tempatnya tinggal, ia menatapku dalam. Ia ingatkan bayangan masa depan yang telah kami lukis berdua. Di pulaunya, dengan anak-anak yang riang bersenda tawa dalam riuhnya ombak. Dan tentunya aku yang tak ke mana-mana.
"Bukankah kau dulu pernah berkata, ingin membuat masyarakat di pulau ini tak hanya mengandalkan pencaharian dari laut? Bukankah kau dulu ingin mengajak mereka membuat benda-benda kerajinan?" tanyanya berulang.
Pengingat lukisan masa yang belum terjadi itu membuatku mencoba bertanya-tanya, mampukah aku? Ada langit yang lebih sering memilih warna biru berikut lautan lepas di hamparan depan rumahnya. Ada deburan air yang tak pernah berhenti untuk sejenak waktu. Ada aroma asin menyapa hidung meski tak terkecap pada lidah. Ada panas dan dingin di berbagai ritme malam dan siang. Semua menjadi penunggu enam indera milikku yang menuai tanya di kepala. Akan selalu itu nantinya.
Tak akan kulihat birunya pegunungan berikut balutan dingin dan panas yang mengering. Tak ada pikuk bising berbagai mesin kendaraan yang hanya jeda saat bentuknya pergi melaju. Mampukah aku?
Akhirnya aku mengangguk. Untuk kala itu. Namun justru sulit kuingkari di lain hari ketika aku yang jatuh cinta pada laut juga tak bisa melepas rasa cintaku pada pegunungan. Termasuk rasa cintaku pada keramaian peradaban kota. Aku menggeleng padanya usai meminta maaf. Dan memilih menghapus rencana bersama yang telah menanti di beberapa minggu berikutnya. Memang, kali itu bisa kukatakan sikapku keterlaluan. Membuat keluarganya malu, saat lembaran pemberitahuan hari pernikahan kami telah mampir di banyak tangan.
Tapi, lagi-lagi sulit kupungkiri. Delapan tanda titik-titik hitam di kakiku berikut mitos yang membelilit otakku tak bisa kuhilangkan begitu saja. Bahkan andai tanda itu mampu kubuang satu. Yang ada, titik-titik itu makin jelas kemunculannya. Mungkin pada tiap titik, ada sepermili ukuran pertambahan diameternya.
Aku hanya mampu pergi meninggalkan pulau penuh kenangan itu. Usahaku berikutnya adalah menghapus jejak jika aku pernah mencoba menjadi bagian dari orang-orang yang lincah bermain dengan lautan yang selalu ada sebagai pagar pasang dan surut sebuah daratan berbentuk pulau. Lalu, aku mencoba melupakan sesosok pria tak bertahi lalat kaki dengan hatinya yang rela tersakiti.
Pulau Ngenang, dengan penyisaan kenangan yang membuatku makin mewaspadai alur hidup. Di kesudahannya, aku lebih menuruti kemauan tanda titik-titk hitam di kakiku. Menikmati suara burung besi yang menderu, dan tertidur nyaman di dalam lambungnya. Yang lalu kembali membawaku pada daratan-daratan baru penuh gairah untuk kutapaki. Lima tahun. Dan usai itu, sebuah perjumpaan hati yang baru kembali Tuhan berikan.
Di Losari, kami bersua, saat sedang ingin menjadi saksi matahari yang melukis emas pada pinggiran langit arah barat. Dan kedekatan yang lalu teranyam antar kami, membuatku kembali melakukan ritual yang sama. Menekuni kakinya. Apakah tanda titik hitam itu tiada, satu, atau banyak? Dan kembali aku menghela nafas menghempas gumpalan padat. Tanda itu lagi-lagi kutemui! Nafasku makin menghela berat. Mataku menangkap titik itu tidaklah satu, tapi beberapa. Bahkan di kaki kanan dan kiri!
Bentuknya titik hitam. Mungkin tampil dengan warna cokelat. Kadang menonjol sedikit timbul, kadang sedatar kulit di sekitarnya. Aku tak pernah mengerti mengapa orang menyebutnya dengan tahi lalat. Pun, aku yang tak tahu apakah benar kotoran lalat memang berwarna hitam. Aku hanya pernah melihat, lalat meninggalkan jejak hinggapnya dengan rupa titik-titik berwarna putih. Konon, itu pun adalah telurnya.
Aku dan dia, dua manusia bertanda titik hitam pada kaki dalam jumlah yang tak cukup satu dua. Kami sama-sama sadar keberadaan tanda itu, berikut kesadaran akan kenyataan karakter pemiliknya.
"Ya, aku memang sama denganmu. Memiliki tanda-tanda itu di kakiku. Juga hasrat kakiku yang selalu kelaparan menapaki tempat baru. Tapi apakah tanda itu lantas membuat kita tidak bisa saling mencinta?" tanyanya.
Aku menjawab juga mencintainya. Meski dalam nada ragu yang pasti terjaring jelas di telinganya.
Lagi ia bertanya, "Bisakah kita saling mencinta juga memiliki?"
Mataku menjawab dengan terawangan tak fokus pada sesuatu. Bisakah cinta tetap terjaga dengan rentang jarak yang selalu menjadi konstruksinya?
Tapi genggaman mantap tangan yang menangkup satu tangan kananku membuat bulatan pangkal bahuku bergerak mengulang dua kali. Kepalaku bergerak ke atas dan bawah.
Tak berapa lama, waktu membuktikan kami untuk terikat dalam sebuah janji yang kami harapkan selamanya. Setelahnya, kami menjadi dua wajah yang tersenyum menyambut para pengucap selamat berbahagia. Kami berdiri lama menebar bahagia dengan mereka yang datang menyalami, dan melupakan tahi lalat di kaki kami.
Ia dan aku, sepasang sosok beda. Saling mencinta. Bertahi lalat kaki sama berjumlah tak satu dua. Rendah berbeda kata. Tak pernah kering rasa saling memuja. Selalu banyak berpisah dari pada bersua. Andai tahi lalat kaki itu tak banyak menera, jika tanda itu tak menginspirasi kami untuk mengembara, bila rasa syukur kami kosong karena terisi jera mencinta, maka kami bukan dua orang yang lalu bertemu dan bersatu suara. Mungkin kami menjadi sosok-sosok berhati lelah karena terlalu menghitung jejak langkah asmara yang telah gagal di masing-masing sejarah. Dengan hati kami tak akan kunjung berbajukan cinta berpemilik manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H