Kali ke dua di usia dua puluh tujuhku, seorang pria tanpa tanda titik hitam di kakinya, mencoba merajut keseriusan bersamaku. Ia, pria berparfum laut yang terjerang matahari, dari sebuah Pulau Ngenang di dekat Batam. Lagi-lagi sebuah pertemuan dalam proses pencarian berita, jadi cara Tuhan memertautkan hatiku dengan makhluk yang sedang mencari kepingan rusuknya.
Dan betapa aku bahagia melihat warna cokelat dan legam kakinya yang bersih tak bertitik hitam mencolok di sana sini. Tapi baik aku dan dia tak bisa menghapus tanda titik hitam di kakiku yang terlanjur ada. Saat itu aku masih kerap menjalani rentangan waktu ke berbagai birunya langit yang berbeda. Sedangkan ia masih setia dengan birunya laut yang terhampar di sekeliling tempatnya singgah sejak lahir.
Hingga ke sekian pergi kembaliku ke pulau tempatnya tinggal, ia menatapku dalam. Ia ingatkan bayangan masa depan yang telah kami lukis berdua. Di pulaunya, dengan anak-anak yang riang bersenda tawa dalam riuhnya ombak. Dan tentunya aku yang tak ke mana-mana.
"Bukankah kau dulu pernah berkata, ingin membuat masyarakat di pulau ini tak hanya mengandalkan pencaharian dari laut? Bukankah kau dulu ingin mengajak mereka membuat benda-benda kerajinan?" tanyanya berulang.
Pengingat lukisan masa yang belum terjadi itu membuatku mencoba bertanya-tanya, mampukah aku? Ada langit yang lebih sering memilih warna biru berikut lautan lepas di hamparan depan rumahnya. Ada deburan air yang tak pernah berhenti untuk sejenak waktu. Ada aroma asin menyapa hidung meski tak terkecap pada lidah. Ada panas dan dingin di berbagai ritme malam dan siang. Semua menjadi penunggu enam indera milikku yang menuai tanya di kepala. Akan selalu itu nantinya.
Tak akan kulihat birunya pegunungan berikut balutan dingin dan panas yang mengering. Tak ada pikuk bising berbagai mesin kendaraan yang hanya jeda saat bentuknya pergi melaju. Mampukah aku?
Akhirnya aku mengangguk. Untuk kala itu. Namun justru sulit kuingkari di lain hari ketika aku yang jatuh cinta pada laut juga tak bisa melepas rasa cintaku pada pegunungan. Termasuk rasa cintaku pada keramaian peradaban kota. Aku menggeleng padanya usai meminta maaf. Dan memilih menghapus rencana bersama yang telah menanti di beberapa minggu berikutnya. Memang, kali itu bisa kukatakan sikapku keterlaluan. Membuat keluarganya malu, saat lembaran pemberitahuan hari pernikahan kami telah mampir di banyak tangan.
Tapi, lagi-lagi sulit kupungkiri. Delapan tanda titik-titik hitam di kakiku berikut mitos yang membelilit otakku tak bisa kuhilangkan begitu saja. Bahkan andai tanda itu mampu kubuang satu. Yang ada, titik-titik itu makin jelas kemunculannya. Mungkin pada tiap titik, ada sepermili ukuran pertambahan diameternya.
Aku hanya mampu pergi meninggalkan pulau penuh kenangan itu. Usahaku berikutnya adalah menghapus jejak jika aku pernah mencoba menjadi bagian dari orang-orang yang lincah bermain dengan lautan yang selalu ada sebagai pagar pasang dan surut sebuah daratan berbentuk pulau. Lalu, aku mencoba melupakan sesosok pria tak bertahi lalat kaki dengan hatinya yang rela tersakiti.
Pulau Ngenang, dengan penyisaan kenangan yang membuatku makin mewaspadai alur hidup. Di kesudahannya, aku lebih menuruti kemauan tanda titik-titk hitam di kakiku. Menikmati suara burung besi yang menderu, dan tertidur nyaman di dalam lambungnya. Yang lalu kembali membawaku pada daratan-daratan baru penuh gairah untuk kutapaki. Lima tahun. Dan usai itu, sebuah perjumpaan hati yang baru kembali Tuhan berikan.
Di Losari, kami bersua, saat sedang ingin menjadi saksi matahari yang melukis emas pada pinggiran langit arah barat. Dan kedekatan yang lalu teranyam antar kami, membuatku kembali melakukan ritual yang sama. Menekuni kakinya. Apakah tanda titik hitam itu tiada, satu, atau banyak? Dan kembali aku menghela nafas menghempas gumpalan padat. Tanda itu lagi-lagi kutemui! Nafasku makin menghela berat. Mataku menangkap titik itu tidaklah satu, tapi beberapa. Bahkan di kaki kanan dan kiri!