Mohon tunggu...
Ika Maya Susanti
Ika Maya Susanti Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas dan pemilik blog https://www.blogimsusanti.com

Lulusan Pendidikan Ekonomi. Pernah menjadi reporter, dosen, dan guru untuk tingkat PAUD, SD, dan SMA. Saat ini menekuni dunia kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Ibu, Saya Belajar Berbagai Bentuk Keberanian

6 Desember 2020   14:56 Diperbarui: 6 Desember 2020   15:17 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak yang berdiri berseragam putih abu-abu di antara Kak Seto dan Kak Heni adalah saya yang baru sajaikut lomba mewarnai antar TK  | dokpri

Takdirnya, saya diterima di UMPTN, istilah ujian masuk perguruan tinggi negeri saat itu. Ibu yang saya kabari pertama kali waktu itu ikut tersenyum senang. Namun baru di belakang hari saya menyadari, saat itu senyum ibu tidak benar-benar bahagia. Ibu bingung, uang dari mana untuk membiayai saya kuliah?

Saya ingat, ibu melakukan berbagai macam cara. Salah satunya dengan menjual pakaian tari Bali milik saya ke Gresik. Ibu berjalan dari satu salon ke salon lain, menawarkan kostum saya tersebut hingga terjual.

Baju tari Bali yang akhirnya dijual untuk modal saya kuliah | dokpri
Baju tari Bali yang akhirnya dijual untuk modal saya kuliah | dokpri

Ingatan itu begitu membekas hingga sekarang. Saat kondisi keuangan sedang sulit saat ini sedangkan ada beberapa tanggung jawab yang harus terbayarkan, saya akan ingat bagaimana kisah ini pernah terjadi.

Belajar dari ibu, saya sadar, tugas manusia itu harus berani berusaha dan doa. Itu dan itu yang harus terus dilakukan semaksimal mungkin. Selebihnya, Tuhan tak pernah mengecewakan hamba-Nya yang sudah melakukan upaya maksimalnya.

Di kemudian hari, saya juga menyadari bahwa rupanya memang usaha dan doa itu juga butuh keberanian. Saat kita takut memulai usaha, maka selamanya kita tidak akan tahu wujud hasil jerih payah.


Ibu Mengajari Berani Terus Mengembangkan Diri Tanpa Kenal Usia

Masih cerita tentang bagaimana perjuangan ibu agar saya bisa terus kuliah. Saat saya kuliah di Universitas Negeri Malang, ibu ditawari untuk bekerja menjadi tenaga cuci di sebuah rumah sakit di Lamongan. Ibu langsung mengambil kesempatan itu. penuh rasa syukur. Ia merasa, tidak memegang ijazah SD, berusia 40 tahunan, rupanya ibu masih punya kesempatan menjadi pegawai di rumah sakit.

Beberapa tahun kemudian, rumah sakit membutuhkan tenaga penjahit. Ibu yang memang bisa menggunakan mesin jahit meski dengan tehnik dasar, langsung kembali berani mengambil kesempatan.

Dari ibu saya belajar untuk berani mengambil kesempatan mengembangkan diri meski di usia berapa pun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun