Takdirnya, saya diterima di UMPTN, istilah ujian masuk perguruan tinggi negeri saat itu. Ibu yang saya kabari pertama kali waktu itu ikut tersenyum senang. Namun baru di belakang hari saya menyadari, saat itu senyum ibu tidak benar-benar bahagia. Ibu bingung, uang dari mana untuk membiayai saya kuliah?
Saya ingat, ibu melakukan berbagai macam cara. Salah satunya dengan menjual pakaian tari Bali milik saya ke Gresik. Ibu berjalan dari satu salon ke salon lain, menawarkan kostum saya tersebut hingga terjual.
Ingatan itu begitu membekas hingga sekarang. Saat kondisi keuangan sedang sulit saat ini sedangkan ada beberapa tanggung jawab yang harus terbayarkan, saya akan ingat bagaimana kisah ini pernah terjadi.
Belajar dari ibu, saya sadar, tugas manusia itu harus berani berusaha dan doa. Itu dan itu yang harus terus dilakukan semaksimal mungkin. Selebihnya, Tuhan tak pernah mengecewakan hamba-Nya yang sudah melakukan upaya maksimalnya.
Di kemudian hari, saya juga menyadari bahwa rupanya memang usaha dan doa itu juga butuh keberanian. Saat kita takut memulai usaha, maka selamanya kita tidak akan tahu wujud hasil jerih payah.
Ibu Mengajari Berani Terus Mengembangkan Diri Tanpa Kenal Usia
Masih cerita tentang bagaimana perjuangan ibu agar saya bisa terus kuliah. Saat saya kuliah di Universitas Negeri Malang, ibu ditawari untuk bekerja menjadi tenaga cuci di sebuah rumah sakit di Lamongan. Ibu langsung mengambil kesempatan itu. penuh rasa syukur. Ia merasa, tidak memegang ijazah SD, berusia 40 tahunan, rupanya ibu masih punya kesempatan menjadi pegawai di rumah sakit.
Beberapa tahun kemudian, rumah sakit membutuhkan tenaga penjahit. Ibu yang memang bisa menggunakan mesin jahit meski dengan tehnik dasar, langsung kembali berani mengambil kesempatan.
Dari ibu saya belajar untuk berani mengambil kesempatan mengembangkan diri meski di usia berapa pun.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!