"Kamu itu jadi perempuan, terlalu berani!" begitu komentar seorang teman laki-laki saat usai mendengar cerita sepak terjang saya mengatasi masalah seorang rekan guru yang begitu dekat posisinya dengan pihak manajemen sekolah, namun telah melakukan intimidasi terhadap salah satu siswi.
Sahabat tersebut begitu khawatir tentang nasib saya kelak. Menurutnya, mengapa saya harus turun tangan menyelesaikan masalah yang pelakunya adalah orang dengan posisi tinggi di sekolah.
Dalam hati saya membatin, apa salahnya? Dan nyatanya, memang ini bukan kali pertama saya melakukannya. Menjadi terlalu berani yang bahkan itu dari sudut pandang pria, memang kerap saya perankan.
Jika dirunut, mungkin segala penyebabnya adalah karena DNA dari ibu. Ibu sekolah pertamaku, rasanya itulah istilah yang tepat. Ibu adalah tempat keberanian saya bermuara.
Ibu Mengajari Berani Menjadi Perantau
Dari lima bersaudara, ibu lah yang paling berani untuk pergi meninggalkan keluarganya di Lamongan, lalu merantau ke Jakarta dan menumpang di rumah saudaranya.
Lepas kuliah, saya pun memutuskan menerima pekerjaan menjadi reporter di Batam. Awalnya ayah dan ibu tidak mengizinkan. Alasannya, karena saya anak perempuan. Namun dengan jurus kata-kata bahwa dulu orang tua pun perantau dan mengapa sekarang anaknya tidak boleh, akhirnya kartu izin meninggalkan Lamongan saya dapatkan.
Khususnya dari ibu saya belajar, berani menjadi perantau itu tak melihat jenis kelamin.
Â
Ibu Mengajari Berani Mandiri