Dalam waktu berimpitan, jagat media untuk kesekian kalinya, dibuat gaduh oleh dua pemakluman yang kontroversial. Yang pertama soal "Agama adalah musuh utama Pancasila". Sementara pernyataan lainnya adalah "wanita bisa hamil jika berenang sekolam dengan pria."
Kedua pernyataan yang menghebohkan itu sama-sama dilontarkan oleh pejabat-pejabat di negeri ini. Pernyataan pertama disampaikan oleh Yudian Wahyudi, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Statemen kedua diucapkan oleh salah satu komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Siti Hikmawaty.
Dalam tulisan ini saya hanya akan menyoal kembali soal Agama yang dianggap musuh Pancasila. Adapun soal berenang bareng pria-wanita yang bisa menyebabkan hamil itu, biar nanti sajalah.Â
 Terus terang, saya masih bingung memikirkan; "gimana ya... caranya bisa hamil hanya karena berenang bareng?" Apa dikira proses pembuahan itu semudah mencampur susu ke soda. Susu dituang ke soda, diaduk, lalu jadilah 'minuman soda susu.' Tidak Segampang mudah itu Fergusso!
Kembali ke soal Agama sebagai musuh Pancasila. Sementara kalangan menyebut statemen Yudian ini salah penempatan diksi. Beberapa yang lain menganggap pernyataan tersebut telah dipelintir untuk komoditas politik.
Ada pula yang menanggapinya dengan garang, bahwa pernyataan itu bukti yang bersangkutan telah terpapar komunisme. "Mana ada yang memperhadap-hadapkan Pancasila dan Agama kalau bukan komunisme?" Begitu kira-kira asumsinya. Padahal, mungkin kelompok penanggap yang terakhir ini lupa, yang paling terang-terangan memperhadapkan Pancasila dan Agama (Islam) akhir-akhir ini ya..Si Nasruddin Joha, HTI yang masih gentayangan bagai hantu. Â
Bagi saya pernyataan Yudian ini bukan keseleo lidah. Yudian, sejatinya, hanya menyuguhkan fakta yang terjadi. Sejarah bangsa ini menunjukkan, sejak dirumuskan Pancasila hingga hari ini, yang paling sering mempermasalahkan Pancasila sebagai dasar negara adalah 'agama'. Tegasnya; meminjam istilah Oliver Roy, "Islam Politik." Â
Siapa itu kelompok "Islam Politik?" Â Mereka adalah yang senantiasa mencita-citakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ini harus diatur secara total menurut "Aturan Islam (versi mereka)." Lebih jelasnya, mereka yang selalu mencita-citakan Negara Indonesia ini berubah menjadi Negara Islam Indonesia atau Khilafah Islamiah.
Ajaran agama sendiri dan Pancasila pada dasarnya senafas. Tidak hanya karena nilai-nilai yang dikandung Pancasila adalah juga sari pati dari agama, tetapi juga ulama dan tokoh agama berperan dalam merumuskan Pancasila ini.
Ulama-ulama Islam seperti  KH. Imam Mursyid Takeran, Kiai dari Magetan telah merumuskan Pancasila bersama para pengasuh pesantren Sabilul Muttaqin menjelang sidang BPUPKI 1 Juni 1945. Hasil rumusannya kemudian disampaikan oleh KH Wahid Hasyim pada Soekarno dan banyak menginspirasi bapak proklamator ini.  Sebelumnya seputar tahun 1940-an seorang ulama dari Sumatera Barat, Nagari Tabek Kadang, KH Abbas, juga telah memberi masukan tentang Pancasila (Baso, 2016). Â
Selain dua ulama tadi, untuk mempertegas bahwa nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 tak lain adalah ajaran Islam, KH Masdar F. Masudi, menulis sebuah buku "Syarah Konstitusi; UUD 1945 Â dalam Perspektif Islam. Untuk yang terakhir ini terbit belum lama berselang, yaitu di tahun 2011.
Demikian halnya dengan tokoh-tokoh agama lainnya. Mereka pun satu nafas dengan ulama-ulama Islam yang memandang kuatnya irisan antara Pancasila dengan nilai-nilai agama. Simatupang, misalnya, telah menulis sebuah buku yang melihat titik temu antara ajaran Kristen dengan Pancasila dalam "Iman Kristen dan Pancasila (1984)."
Pernyataan "Agama musuh Pancasila, dengan demikian, bukanlah bermaksud menyatakan bahwa nilai-nilai agama memiliki titik tengkar dengan Pancasila, melainkan ingin menyuguhkan fakta sejarah yang menunjukkan adanya kelompok Islam tertentu yang selalu menantang Pancasila.
Pada awal pendirian Bangsa ini, seperti dikemukakan oleh Soewirjo dalam perdebatan di Sidang Konstituante 1957, para founding father terbagi dalam tiga kubu. Â Â
Kubu yang menginginkan Dasar Negara Sosial-Ekonomi, Â kelompok yang mencita-citakan Dasar Negara Islam dan faksi yang menghendaki Dasar Negara Pancasila. Selanjutnya mengerucut menjadi dua yakni kubu Pancasila dan faksi Negara Islam.
Bisa dimaklumi jika awal pendirian negara akan muncul faksi-faksi yang satu sama lain berbeda dalam menentukan Dasar Negara. Sebab ini baru awal pembentukan negara. Semua kelompok berhak berkontestasi memperjuangkan ideologinya.
Kelompok-kelompok Islam, termasuk NU di dalamnya, menginginkan negara ini berdasarkan Islam. Sementara faksi nasionalis menghendaki Dasar Negara adalah Pancasila. Tetapi pada akhirnya perbedaan pandangan itu bisa berakhir dengan disepakatinya Pancasila sebagai Dasar Negara.
 Untuk sampai pada kesepakatan itu memang tidak mudah. NU, melalui perwakilannya seperti KH Masykur, KH Achmad Zaini dan Syaifuddin Zuhri dengan sangat serius berupaya memperjuangkan Islam sebagai Dasar Negara atau setidaknya kembali ke Pancasila versi Piagam Jakarta. Tetapi sekali lagi, ketika sidang lebih cenderung menyepakati Pancasila sebagai Dasar Negara, mereka dengan serta merta mengikuti kesepakatan itu.
Tahun-tahun selanjutnya, NU dan demikian pula Muhammadiyah, semakin menegaskan kesepakatannya terhadap Pancasila. NU, misalnya, pada tahun 1959 menerima secara penuh Dekrit Presiden Soekarno untuk kembali pada UUD 45. Pada saat yang sama NU memberi gelar Waliyul Amri Dhoruri bi Syaukah pada Presiden pertama tersebut.
Tahun 1983 dalam Muktamar Alim Ulama di Situbondo, NU merumuskan Hubungan Islam dan Pancasila. Rumusan tersebut memandang, Islam dan Pancasila sama sekali tidak bertentangan, meskipun jelas Pancasila bukan Agama. Â Piagam Hubungan Islam dan Pancasila ini menandai penerimaan NU secara bulat terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara bahkan asas dalam berorganisasi.
NU, dan saya kira juga Muhammadiyah, menyadari, dalam negara majemuk semacam Indonesia, negara agama tidak bisa menjadi kalimatun sawa (kesepakatan). Alternatifnya adalah memilih bentuk negara yang memberikan ruang seluas-luasnya pada agama. Â
Sejauh negara itu memberikan kesempatan dan melindungi umat beragama menjalankan agamanya dengan baik, maka negara tersebut seyogianya diterima bahkan patut dipertahankan. Â
Persis di titik ini, kata Gusdur, Â berlaku kaedah fiqih: Â "ma la yudraku kulluh, la yatruku julluh (Apa yang tidak bisa berlaku seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan yang terpenting). Â Â
Jika NU dan Muhammadiyah bisa menerima kesepakatan Pancasila sebagai Dasar Negara, tidak demikian dengan halnya dengan kelompok Islam Politik tadi. Sejak diputuskan di sidang Konstituante bahwa Pancasila adalah Dasar Negara, sejak saat itu pula mereka mulai menantangnya.
 Sebagian dari faksi ini melawan terang-terangan dengan mendeklarasikan Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam Indonesia (DII). Sementara yang lainnya menantang lebih halus dengan terus menerus mempermasalahkan 'Tujuh Kata' di Piagam Jakarta yang dihilangkan.Â
Gerakan ini terus berlanjut, bahkan ketika Orde Baru begitu kuat dan dikenal sangat represif terhadap kelompok Islam Politik. Sebagian besarnya bergerak di bawah tanah. Senyap, tapi tidak berarti diam. Mereka terus membangun jaringan dan menunggu momentum untuk kembali menggugat terang-terangan.
Sebagiannya lagi nekat melakukan aksi teror dan kekerasan. Mereka ini sayap sayap DI/TII dan NII yang merasa gerakan nyata harus terus dipertunjukkan.
Hingga hari ini, kelompok-kelompok Islam Politik ini tidak pernah surut dalam mempersoalkan Pancasila sebagai Dasar Negara. Ketika Reformasi baru bergulir dan UUD 1945 di amandemen, kelompok ini lagi-lagi mengangkat isu Piagam Jakarta. Begitu pun dalam politik elektoral, isu semacam ini tanpa kenal lelah terus digelindingkan. Â
Sementara itu  sayap radikal dari kelompok Islam Politik ini terus menerus berupaya mendirikan Negara Islam Indonesia. Untuk kepentingan yang terakhir ini mereka memiliki titik temu dengan agenda organisasi luar yang juga menginginkan hal serupa, misalnya HT dan ISIS.
Dalam kacamata Greg Fealy dan Bubalo (2007), ada tiga arus utama gerakan islam global yang memiliki kepentingan sama dengan Islam Politik di Indonesia.Â
Pertama, Ikhawanul Muslimin. Kelompok ini bekerja lebih soft dan bermetamorfosa menjadi Post-Islamisme. Mereka cenderung menerima Modernisme dan menjadi bagian di dalamnya tanpa melepas cita-cita negara Islam. Â
Kedua, kelompok salafi. Kelompok ini sebagian besar berbasis lembaga dakwah dan pendidikan.
Ketiga, kelompok jihadi. Kelompok ini adalah kelompok paling ekstrem dari gerakan islamisme global. Mereka mengesahkan kekerasan dan membenarkan bom bunuh diri.
Jika kelompok lain yang dianggap menantang Pancasila, seperti komunisme atau kelompok separatis lainnya berhasil dihabisi, tidak demikian dengan kelompok Islam Politik ini. Mereka terus hidup dan bermetamorfosis. Konteks globalisasi yang memudahkan paham-paham global menyusup ke negeri ini semakin menyuburkan paham tersebut.Â
Alhasil, ketika Yudian menyebut bahwa Agama adalah musuh Pancasila, Ia tak lain hanya sekedar mengingatkan kita, bahwa selama faksi Islam Politik ini masih ada, maka selama itu pula selalu akan ada yang memperhadap-hadapkan Agama (Islam) versus Pancasila. Sesederhana itu fergusso...!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H