Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benarkah Agama Musuh Pancasila?

28 Februari 2020   17:06 Diperbarui: 28 Februari 2020   17:47 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demikian halnya dengan tokoh-tokoh agama lainnya. Mereka pun satu nafas dengan ulama-ulama Islam yang memandang kuatnya irisan antara Pancasila dengan nilai-nilai agama. Simatupang, misalnya, telah menulis sebuah buku yang melihat titik temu antara ajaran Kristen dengan Pancasila dalam "Iman Kristen dan Pancasila (1984)."

Pernyataan "Agama musuh Pancasila, dengan demikian, bukanlah bermaksud menyatakan bahwa nilai-nilai agama memiliki titik tengkar dengan Pancasila, melainkan ingin menyuguhkan fakta sejarah yang menunjukkan adanya kelompok Islam tertentu yang selalu menantang Pancasila.

Pada awal pendirian Bangsa ini, seperti dikemukakan oleh Soewirjo dalam perdebatan di Sidang Konstituante 1957, para founding father terbagi dalam tiga kubu.   

Kubu yang menginginkan Dasar Negara Sosial-Ekonomi,  kelompok yang mencita-citakan Dasar Negara Islam dan faksi yang menghendaki Dasar Negara Pancasila. Selanjutnya mengerucut menjadi dua yakni kubu Pancasila dan faksi Negara Islam.

Bisa dimaklumi jika awal pendirian negara akan muncul faksi-faksi yang satu sama lain berbeda dalam menentukan Dasar Negara. Sebab ini baru awal pembentukan negara. Semua kelompok berhak berkontestasi memperjuangkan ideologinya.

Kelompok-kelompok Islam, termasuk NU di dalamnya, menginginkan negara ini berdasarkan Islam. Sementara faksi nasionalis menghendaki Dasar Negara adalah Pancasila. Tetapi pada akhirnya perbedaan pandangan itu bisa berakhir dengan disepakatinya Pancasila sebagai Dasar Negara.

 Untuk sampai pada kesepakatan itu memang tidak mudah. NU, melalui perwakilannya seperti KH Masykur, KH Achmad Zaini dan Syaifuddin Zuhri dengan sangat serius berupaya memperjuangkan Islam sebagai Dasar Negara atau setidaknya kembali ke Pancasila versi Piagam Jakarta. Tetapi sekali lagi, ketika sidang lebih cenderung menyepakati Pancasila sebagai Dasar Negara, mereka dengan serta merta mengikuti kesepakatan itu.

Tahun-tahun selanjutnya, NU dan demikian pula Muhammadiyah, semakin menegaskan kesepakatannya terhadap Pancasila. NU, misalnya, pada tahun 1959 menerima secara penuh Dekrit Presiden Soekarno untuk kembali pada UUD 45. Pada saat yang sama NU memberi gelar Waliyul Amri Dhoruri bi Syaukah pada Presiden pertama tersebut.

Tahun 1983 dalam Muktamar Alim Ulama di Situbondo, NU merumuskan Hubungan Islam dan Pancasila. Rumusan tersebut memandang, Islam dan Pancasila sama sekali tidak bertentangan, meskipun jelas Pancasila bukan Agama.  Piagam Hubungan Islam dan Pancasila ini menandai penerimaan NU secara bulat terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara bahkan asas dalam berorganisasi.

NU, dan saya kira juga Muhammadiyah, menyadari, dalam negara majemuk semacam Indonesia, negara agama tidak bisa menjadi kalimatun sawa (kesepakatan). Alternatifnya adalah memilih bentuk negara yang memberikan ruang seluas-luasnya pada agama.  

Sejauh negara itu memberikan kesempatan dan melindungi umat beragama menjalankan agamanya dengan baik, maka negara tersebut seyogianya diterima bahkan patut dipertahankan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun