Namun kita tidak bisa semata-mata bertumpu pada penjelasan mengenai faktor ekonomi yang menjadi alasan utama seseorang bergabung dengan kelompok semacam ISIS, atau organisasi lain yang bercita-cita mendirikan khilafah. Â
Banyak orang yang bergabung dengan ISIS dan sejenisnya, bukan karena persoalan kehidupannya yang morat-marit. Contohnya saja Arif Fedulla, Aleeyah atau pun Lesmiati. Mereka semua tidak hanya mampu dari segi ekonomi, tetapi juga orang-orang terpelajar.
Contoh lainnya adalah Abdul Subhan Qureshi. Orang ini melakukan sejumlah aksi teror di India dan dianggap berafiliasi dengan jaringan yang serupa dengan ISIS. Dia adalah pemegang sejumlah proyek besar. Posisinya istimewa, gajinya fantastis. Semua yang diimpikan oleh anak muda telah diraihnya. Faktor ekonomi jelas bukanlah alasan utama dia terlibat dalam jaringan terorisme ini.
Jika ingin disebut lagi, masih banyak deretan orang terpelajar dan orang kaya yang terlibat dalam jaringan-jaringan semacam ISIS. Sebutlah di antaranya: Umar Farouk, seorang mahasiswa cemerlang jurusan teknik mesin University College London. Ada pula Bekkay Harrach, mahasiswa teknologi laser dan matematika di Jerman atau Azhari Husin, dosen penyandang gelar Ph.D.
Apa yang menyebabkan orang-orang yang harusnya memiliki nalar dan terbiasa berpikir rasional ini, terlibat dalam organisasi yang sering kali melakukan gerakan yang berlawanan dengan akal sehat?Â
Ada banyak jawaban dan di antara jawaban itu banyak menyebutnya sebagai kejanggalan. Tetapi saya sendiri, khususnya dalam tulisan ini, cenderung melihat hal itu terjadi karena keberhasilan propaganda mereka tentang tatanan yang Islami. Mereka mampu memikat umat Islam dengan janji penegakan khilafah ala minhaju nubuwah.
Dengan menggunakan teknologi informasi, mereka mempropagandakan ajaran-ajarannya. Â Orang-orang yang selama ini tidak pernah berguru, tetapi yakin bahwa belajar Islam itu harus langsung pada Al-Qur'an dan Hadits biasanya yang paling mudah termakan oleh propaganda ini. Dengan kata lain, ajaran pemurnian Islam yang mendorong orang untuk langsung kembali pada Al-Qur'an dan Hadits, sering kali membuat orang mudah terpengaruh dengan propaganda yang menyetir ayat-ayat Al-qur'an atau pun Hadits.
Seakan ayat-ayat Al-qur'an dan hadits dengan serta merta langsung bisa dipahami dengan terang maknanya. Â Padahal untuk memahami ayat-ayat Al-Qur'an atau pun hadist bukanlah perkara gampang. Tidak serta merta makna Al-qur'an dan Hadits itu hanya sebatas arti tekstualnya saja. Di sinilah dibutuhkan ulama untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif . Â
Maka jangan heran, jika di Indonesia beberapa kalangan mahasiswa dan orang terpelajar juga terpengaruh masuk ke HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) organisasi politik yang juga sibuk mengampanyekan khilafah. Tidak lain, karena sebagian di antara mereka, juga, merasa mampu langsung memahami Al-qur'an dan Hadits.
Saya masih ingat  salah satu pernyataan dari anggota pengusung khilafah ini di media sosial. Katanya:  "Rasulullah SAW hanya memerintahkan: 'Jika ada perselisihan atau permasalahan di antara kalian, maka kembalilah pada Al-qur'an dan Hadits'. Tidak pernah Rasulullah SAW menyuruh kembali atau bertanya pada para sahabat atau ulama."
Pernyataan si pengusung khilafah tersebut jelas parokial, sebab Al-qur'an dan Hadits tidak mungkin bisa langsung sampai pada kita, tanpa perantaraan Sahabat, Tabi'in, Tabii-tabi'in dan Ulama. Begitu pun bagaimana mungkin kita bisa memahami Al-Qur'an dan Hadits tanpa ilmu alat (nahwu dan sharaf ), ilmu tafsir, ilmu Ushul Hadits dan ilmu-ilmu lainnya yang dibuat oleh para ulama tersebut.