"Sakit menimpa, sesal terlambat". Â Kurang lebih begitulah gambaran dari sosok Aref Fedulla, orang yang menjual habis hartanya demi bergabung dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah). Penyesalan yang terlambat, setelah kesengsaraan datang melanda. Â
Tahun 2015, Arief Fedulla memboyong keluarganya ke Suriah untuk berjihad. Jika harus mati, maka ia mati dalam jihad. Mati syahid ganjarannya surga. Jika bisa hidup, maka kehidupan di bawah naungan khilafah ISIS adalah kehidupan surga di dunia. Begitulah yang dia impikan, Â tetapi harapan tinggallah harapan, kenyataan yang ditemukan jauh panggang dari api.
Menjadi bagian dari ISIS ternyata adalah kehidupan yang pahit. Â Keluarga Arif Fedulla terbengkalai. Anaknya, Â Nada Fedulla, Â yang ikut diboyongnya ke Suriah putus sekolah dan hidup terlunta-lunta di negeri itu. Cita-cita menjadi dokter kandaslah sudah.
Pengalaman tidak jauh berbeda juga diceritakan seorang perempuan yang diberi nama samaran Aleeyah oleh Tempo. Â Pada 8 Desember 2015, Aleeyah bersama suaminya menuju Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Ia kesana menyongsong impian menjadi bagian dari negara khilafah ala minhaju nubuwah. Â
"Kami ingin meraih better life". Begitu katanya. Lalu perempuan ini pun melanjutkan ceritanya ke Tempo:
"Better life bukanlah soal mencari kehidupan ekonomi yang lebih baik. Kami kesana karena melihat propaganda ISIS di youtube tentang hidup di bawah naungan khilafah ala minhaju nubuwah. Â Itulah kehidupan yang terbaik. Â Tanpa pikir panjang kami segera menuju Suriah, kendati perjalanan kesana tidak mudah."
Namun seperti halnya Arief Fedulla, yang ditemukan Aleeyah dan suaminya di bawah naungan ISIS bukanlah Islam yang ramah, tapi orang yang selalu marah-marah. Kezaliman merajalela, banyak di antara tentara ISIS tersebut, Â yang berkelakuan ibarat gangster atau mafia yang berjubah agama.
Kisah yang nyaris sama juga dituturkan oleh Lasmiati. Â Seperti pengakuannya di youtube, Lasmiati bergabung dengan ISIS karena mau hidup di bawah negara yang menerapkan hukum Islam secara kaffah. Tetapi begitu tiba di Suriah, kenyataan yang jauh berbeda yang ditemukan. Sikap kasar dan kekerasan yang justru sering terlihat. Adab beberapa laskar ISIS justru tidak mencerminkan nilai-nilai Islam.
Semua orang tentu memiliki impian, dan impian umat Islam adalah hidup bahagia di dunia  dan di akhirat.  Mendapatkan kenikmatan di dunia dan ganjaran surga di akhirat.  Impian inilah yang sering kali dimanipulasi oleh kelompok-kelompok radikalisme dan terorisme. Dengan dan atas nama surga mereka membuai angan-angan beberapa kalangan umat Islam.  Brainwash ini terbukti berhasil.
Di antara yang paling mudah tertipu memang adalah kalangan anak muda dan kalangan yang secara ekonomi tidak mampu. Selain iming-iming surga jika mati dalam jihad versi ISIS, mereka dijanjikan pula kehidupan dan pekerjaan yang lebih baik di bawah naungan Khilafah ISIS.Â
Hal ini sejalan dengan temuan Ahmad Syafii Mufid dalam kasus lain, yang menunjukkan sekitar 63,6 % pelaku terorisme adalah tamatan SMA. Mereka rata-rata adalah anak muda yang tidak memiliki pekerjaan yang jelas.
Namun kita tidak bisa semata-mata bertumpu pada penjelasan mengenai faktor ekonomi yang menjadi alasan utama seseorang bergabung dengan kelompok semacam ISIS, atau organisasi lain yang bercita-cita mendirikan khilafah. Â
Banyak orang yang bergabung dengan ISIS dan sejenisnya, bukan karena persoalan kehidupannya yang morat-marit. Contohnya saja Arif Fedulla, Aleeyah atau pun Lesmiati. Mereka semua tidak hanya mampu dari segi ekonomi, tetapi juga orang-orang terpelajar.
Contoh lainnya adalah Abdul Subhan Qureshi. Orang ini melakukan sejumlah aksi teror di India dan dianggap berafiliasi dengan jaringan yang serupa dengan ISIS. Dia adalah pemegang sejumlah proyek besar. Posisinya istimewa, gajinya fantastis. Semua yang diimpikan oleh anak muda telah diraihnya. Faktor ekonomi jelas bukanlah alasan utama dia terlibat dalam jaringan terorisme ini.
Jika ingin disebut lagi, masih banyak deretan orang terpelajar dan orang kaya yang terlibat dalam jaringan-jaringan semacam ISIS. Sebutlah di antaranya: Umar Farouk, seorang mahasiswa cemerlang jurusan teknik mesin University College London. Ada pula Bekkay Harrach, mahasiswa teknologi laser dan matematika di Jerman atau Azhari Husin, dosen penyandang gelar Ph.D.
Apa yang menyebabkan orang-orang yang harusnya memiliki nalar dan terbiasa berpikir rasional ini, terlibat dalam organisasi yang sering kali melakukan gerakan yang berlawanan dengan akal sehat?Â
Ada banyak jawaban dan di antara jawaban itu banyak menyebutnya sebagai kejanggalan. Tetapi saya sendiri, khususnya dalam tulisan ini, cenderung melihat hal itu terjadi karena keberhasilan propaganda mereka tentang tatanan yang Islami. Mereka mampu memikat umat Islam dengan janji penegakan khilafah ala minhaju nubuwah.
Dengan menggunakan teknologi informasi, mereka mempropagandakan ajaran-ajarannya. Â Orang-orang yang selama ini tidak pernah berguru, tetapi yakin bahwa belajar Islam itu harus langsung pada Al-Qur'an dan Hadits biasanya yang paling mudah termakan oleh propaganda ini. Dengan kata lain, ajaran pemurnian Islam yang mendorong orang untuk langsung kembali pada Al-Qur'an dan Hadits, sering kali membuat orang mudah terpengaruh dengan propaganda yang menyetir ayat-ayat Al-qur'an atau pun Hadits.
Seakan ayat-ayat Al-qur'an dan hadits dengan serta merta langsung bisa dipahami dengan terang maknanya. Â Padahal untuk memahami ayat-ayat Al-Qur'an atau pun hadist bukanlah perkara gampang. Tidak serta merta makna Al-qur'an dan Hadits itu hanya sebatas arti tekstualnya saja. Di sinilah dibutuhkan ulama untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif . Â
Maka jangan heran, jika di Indonesia beberapa kalangan mahasiswa dan orang terpelajar juga terpengaruh masuk ke HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) organisasi politik yang juga sibuk mengampanyekan khilafah. Tidak lain, karena sebagian di antara mereka, juga, merasa mampu langsung memahami Al-qur'an dan Hadits.
Saya masih ingat  salah satu pernyataan dari anggota pengusung khilafah ini di media sosial. Katanya:  "Rasulullah SAW hanya memerintahkan: 'Jika ada perselisihan atau permasalahan di antara kalian, maka kembalilah pada Al-qur'an dan Hadits'. Tidak pernah Rasulullah SAW menyuruh kembali atau bertanya pada para sahabat atau ulama."
Pernyataan si pengusung khilafah tersebut jelas parokial, sebab Al-qur'an dan Hadits tidak mungkin bisa langsung sampai pada kita, tanpa perantaraan Sahabat, Tabi'in, Tabii-tabi'in dan Ulama. Begitu pun bagaimana mungkin kita bisa memahami Al-Qur'an dan Hadits tanpa ilmu alat (nahwu dan sharaf ), ilmu tafsir, ilmu Ushul Hadits dan ilmu-ilmu lainnya yang dibuat oleh para ulama tersebut.
Pernahkah kita berpikir bisa membaca Al-qur'an tanpa razm (titik dan tanda huruf)? Ilmu itu didesain oleh sahabat dan para ulama. Â Kita dipermudah membaca Al-Qur'an dan Hadits, di antaranya karena jasa al-Farahidi dan Sibawahi. Keduanya adalah ulama.
Karena itu orang-orang yang bergabung secara sadar dengan ISIS, sejatinya kesadarannya adalah kesadaran palsu. Mereka menganggap bahwa bergabung dengan ISIS itu adalah kesadaran seorang muslim yang baik, karena mengikuti ayat-ayat Al-Qur'an ataupun Hadits yang disodorkan ISIS. Padahal kesadaran tersebut adalah kesadaran yang telah dimanipulasi. Mereka hanya disodorkan tafsir terhadap ayat-ayat tersebut sesuai dengan kepentingan ISIS. Â
Kini  setelah mereka bergabung dan menyaksikan kenyataan, barulah kesadaran sejati muncul. Di Suriah tak ada surga, yang ada adalah perang. Yang ada adalah orang-orang yang sedang memburu kekuasaan dengan mengatas namakan agama.
Pada saat seperti itulah mereka mulai sadar, kesadaran yang murni bahwa surga itu ternyata adalah kampung halamannya sendiri. Hamparan sawahnya, gunung-gunung hijau yang menjulang  dan sungai-sungai yang mengalir, itulah surga dunia.  Semua itu ternyata ada di Indonesia, negaranya sendiri. Lantas mengapa harus melawat ke negeri lain, jika surga dunia dan para bidadari itu justru ada di kampung halaman sendiri?
Orang tua yang menunggu bakti anaknya, kaum miskin yang butuh disantuni, anak yatim yang perlu dipelihara, ternyata bisa dilakukan di negerinya sendiri. Itulah pintu-pintu untuk menuju surga akhirat. Mereka tidak harus berjihad ke Suriah. Â
Mulai dari saat ini, kita perlu mengingat baik-baik, siapa pun yang mengajak memberontak dan mendirikan negara baru, kendati mengatas namakan khilafah, jangan mudah dipercaya. Bahkan terhadap mereka yang mengatakan ingin menegakkan satu pemerintahan berdasarkan agama  tanpa mengangkat senjata.
Perlu diingat, perang dan senjata ternyata tidak bisa dipisahkan dari para pemburu kekuasaan. Ed Husein (2007) mantan Hizbut Tahrir, mengutip kata Oemar Bakri, pimpinan Hizbut Tahrir di Britania: "Kami hanya membutuhkan senjata, bukan makanan atau pakaian, dalam perang kami bisa memakan musuh kami." Â Sebuah pernyataan yang angker. Jangan pernah mau terjatuh pada lubang yang sama! Â Â Â
Kendati penyesalan selalu datang terlambat, tapi bagi Tuhan tidak ada sesal yang tak berguna. Tuhan selalu menunggu hamba-Nya untuk pulang. Kembali ke kasih sayang-Nya, bersimpuh dalam ampunan-Nya. Kata Rumi dalam syairnya:
"Datanglah datang, siapa pun kalian,
Para pengembara, pemuja dan pencinta kebebasan.
Ini Bukan kafilah keputusasaan.
Tidak masalah jika kalian telah melanggar janji beribu kali
Tetaplah datang dan teruslah datang
Karena itu, wahai para mantan pengagum ISIS, Tuhan menantimu untuk kembali kepada-Nya. Tetapi mohon maaf, sebagian besar rakyat di Indonesia saat ini belum siap menerimamu. Darah dan air mata belumlah kering benar. Entah kelak di kemudian hari.
*beberapa isi artikel ini sebelumnya telah dimuat di Blamakassar.co.id dan suaraislam.co
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI