Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Yang Disesatkan Tumbuh Makin Pesat

29 November 2019   18:17 Diperbarui: 29 November 2019   19:01 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tidak ada Kartu Surga, tuduhan itu tidak benar!" Begitu bantahan salah seorang peserta aksi dengan orasi yang meletup-letup. Pernyataan itu disampaikan oleh salah seorang jamaah tarekat Tajul Khalwatiah Syekh Yusuf Puang La'lang dalam salah satu aksinya di depan Kapolres Gowa. 

Sebelumnya memang beredar informasi di masyarakat dan juga diberitakan di beberapa media, bahwa tarekat tersebut memiliki 'Kartu Surga.' Seseorang bisa mendapatkan kartu tersebut jika telah berbaiat menjadi jamaah tarekat ini dan membayar biaya administrasi Rp.10.000. Begitulah informasi yang merebak di tengah-tengah masyarakat.

Benarkah ada "Kartu Surga" tersebut? Tulisan ini tidak akan mengulik terlalu dalam soal itu.  Untuk persoalan 'Kartu' tersebut, bisa nanti dieja dalam tulisan saya yang lain. 

Pertanyaan yang justru menjadi dasar dari tulisan ini adalah: "Mengapa semakin disesatkan aliran-aliran yang berbeda dari kelompok agama mainstream, mereka malah makin tumbuh subur bak cendawan di musim hujan?

Sebelum munculnya kasus Puang La'lang, di berbagai tempat telah muncul kasus-kasus lain. 'Shalat Bersiul' di Polewali Mandar pada tahun 2009 adalah di antaranya. Sementara tahun 2010 muncul Kasus Daeng Paruru di Makassar.  

Paruru menyatakan diri mendapat wahyu dan menetapkan lahirnya Agama Adam. Setelah itu, tahun 2013, di Bantaeng muncul Aliran Penganut Al-quran Semata. Kelompok Alquran Semata ini tidak menggunakan Hadis sebagai dalil dalam beragama.  

Selain itu kita kenal kelompok Gafatar yang dipimpin oleh Ahmad Musaddiq, kemudian ada pula kasus Lia Eden dan beberapa kasus lainnya.

Sementara pada tahun 2019 ini, perkembangan aliran yang berbeda dari kelompok keagamaan mainstream, bukannya susut, malah semakin tumbuh subur. Selain kasus Puang La'lang, ada pula kasus Ladunal Ilma di Bola Mangondow dan kelompok Abdul Rasyid Ame di Majene. Sementara Daeng Paruru yang telah difatwa sesat oleh MUI Makassar dan telah menyatakan diri bertobat, kini muncul di Tanah Toraja dengan kelompok yang bernama Lembaga  Pelaksana Amanah Adat dan Pancasila. Fatwa sesat bahkan penjara, tidak membuat aliran-aliran sempalan ini lindang pupus dari bumi pertiwi ini.

Kenapa demikian pesat pertumbuhan kelompok sempalan hari-hari terakhir ini? Atau pertanyaan itu bisa juga kita ganti, benarkah kelompok sempalan baru marak di era ini? 

Sejatinya jika kita melacak dalam sejarah perkembangan Islam, maka munculnya kelompok-kelompok sempalan bukanlah hal-hal yang baru. Pada masa Dinasti Abbasiah muncul kelompok-kelompok yang disebut zindiq. 

Selain itu pernah pula muncul al-Hallaj yang punya ungkapan mencengangkan "Ana al-Haq".  Ada pula Abu Ishaq an-Nasibi dan Muhammad Ibn Zakaria ar-Razi yang mengkritisi persoalan kenabian.  Sementara di Nusantara ada kasus Syekh Siti Jenar yang dianggap al-Hallaj-nya Nusantara.  

Ada masanya kelompok ini muncul begitu masif, ketika proses purifikasi agama tengah menjadi kiblat dalam dunia Islam. Tetapi ada waktunya pula mereka tidak terlihat menonjol, ketika tarekat dan sufisme sedang menjadi corak dunia Islam. 

Pasang surut kemunculan kelompok sempalan ini seiring dengan naik turunnya dominasi puritanisme dan tarekat di sisi seberangnya dalam dunia Islam. Gellner (1988) melihat ini ibarat pendulum, yakni sebuah proses bolak-balik dalam sejarah perkembangan agama.  Sebagaimana ayunan pendulum, yang sebentar bergerak ke kiri dan di waktu lain bergeser ke kanan, maka agama pun senantiasa berada pada titik yang berubah-ubah. Pada masa tertentu, kata Mufid (2006), agama berada pada kutub monoteisme, skriptualisme, fikihisme dan puritanisme  yang kuat, dan pada masa yang lain berada pada sisi yang menekankan mistisisme, tarekat dan sufisme.

Geller ataupun Syafii Mufid memang tidak menjelaskan mengapa pada saat era puritanisme, bisa bermunculan kelompok sempalan. Tetapi saya sendiri melihatnya ada beberapa alasan mengapa puritanisme agama sering menyuburkan munculnya kelompok sempalan tersebut, meski tidak selalu.

Pertama, model beragama dengan pendekatan puritanisme mengubur dalam-dalam cara beragama yang bersifat mistisisme, sementara beberapa kalangan Islam mendapatkan rasa spiritualisme justru dari mistisisme agama. Beragama dengan cara puritan pada akhirnya melahirkan kegersangan spiritual bagi sementara kalangan umat Islam. Inilah yang menyebabkan beberapa kelompok Islam tersebut akhirnya mencari pemuasan spiritual di luar yang dianggap absah oleh mayoritas penganut umat beragama.

Kedua, karakter puritanisme agama sendiri yang memang tidak ingin dicemari dengan hal-hal yang dianggapnya  melejit keluar dari teks-teks agama. Mereka sangat kuat memegang teks-teks fikih. Dengan prinsip demikian, maka kelompok puritan-skriptualis ini dengan mudah memosisikan kelompok yang mencoba menafsir lebih longgar dan kontekstual satu teks fikih sebagai kelompok yang menyempal.  

Dalam konteks keberagamaan yang didominasi oleh kelompok puritan-skriptualis ini, maka kelompok sempalan ini bisa bermakna perlawanan terhadap religiositas kelompok puritan. Pada titik ini yang bermain sejatinya adalah soal religiositas authority dan perlawanan atasnya. Dalam konteks ini, contoh yang menarik kita angkat adalah seorang penyair yang bernama Abu Thayyib pada masa dinasti Umayyah.

Abu Thayyib adalah penyair dengan syair yang jujur menyuarakan nurani.  Diksi  dan rima syairnya indah memukau. Di antara syairnya itu, Ia menyuarakan penyempalan dari praktik keberagaman puritan saat itu. Ia menyuarakan spiritualitas yang berbeda demi melawan praktik keberagamaan yang kaku dan skriptualis.  Tetapi syairnya malah dituduh menyinggung otoritas kenabian. Ia tidak hanya dituduh sempalan, tapi dianggap mencoba menjadi Nabi. Abu Thayyib-pun diberi gelar al-Mutanabby.

Jelas bahwa Abu Thayyib tengah melakukan perlawanan atas otoritas agama saat itu, tetapi yang belum pasti adalah: "apakah betul perlawanan dia melalui syair itu bisa betul-betul disebut kesesatan?" Kitab-kitab semacam al-Aghani, Tarikh al-Tabari dan al-Wuzara wa al- Khutab, secara terang menunjukkan bahwa tuduhan sesat itu murni karena persoalan otoritas keagamaan dan perlawanan atasnya. Bahkan lebih jauh kitab-kitab itu menyebut bahwa sesat-menyesatkan itu berada dalam ruang kontestasi politik tertentu.

Dari rangkaian penjelasan tadi, maka gamblang terlihat, selama masih ada rezim keagamaan dan religiositas authority dalam kehidupan beragama, maka selama itu pula akan selalu muncul kelompok yang menyempal atau disempalkan.    

Tentu tumbuh suburnya kelompok sempalan ini juga diakibatkan oleh faktor lain. Salah satunya adanya pengikut yang militan dan terus bertambah. Ini juga menjadi salah satu tanda tanya besar sebagian besar umat Islam; "Mengapa selalu ada yang menjadi pengikut kelompok sempalan ini, padahal nyata-nyata mereka telah dianggap sesat, bahkan beberapa pimpinannya telah dipenjara?"

Jawaban yang umum mengenai kasus ini adalah; para pengikut tersebut adalah kalangan masyarakat bawah, buta huruf, dan tidak pernah belajar agama secara dalam (tafaqqahu fi al-din). Situasi tersebutlah yang memudahkan orang-orang yang membawa ajaran baru tersebut bisa mengelabui mereka.

Namun pernyataan ini tidak sepenuhnya benar. Di antara pengikut dari aliran yang dianggap sempalan, ada orang-orang yang cerdas dan berasal dari perguruan tinggi. Salah satu aliran tarekat yang berkembang saat ini, yang dalam beberapa hal mulai dianggap memiliki ajaran yang bermasalah, jamaahnya malah disesaki oleh para cendekiawan.

Hemat saya, salah satu yang mengakibatkan pengikut-pengikut aliran yang dianggap sempalan ini, selalu ada dan sekaligus menjadi pengikut yang militan, karena tokoh-tokoh yang mengajarkan ajaran yang berbeda ini mampu meyakinkan pengikutnya melalui mitos.  Tentu mitos bukan dalam arti cerita-cerita yang tidak masuk akal, tetapi mitos seturut tilikan Rolland Bhartes adalah konstruksi atau bentukan satu citra yang bisa menyentuh emosi dan nilai-nilai kultural penggunanya. Dengan cara seperti itu, sesuatu yang sifatnya bentukan, dianggap sebagai hal yang faktual oleh kelompoknya.

Tokoh atau pimpinan kelompok sempalan mampu membangun citra sebagai tokoh yang misterius dan punya sejarah yang aneh. Tetapi bukan pada misteriusnya atau latar belakangnya yang aneh, yang menarik di sini, tetapi kemampuannya membangun hal itu sebagai satu realitas yang diterima oleh kelompoknya.

Dalam cerita kelompok sempalan di Sulsel, tokoh yang senantiasa dimitoskan adalah Kahar Muzakkar. Selain dibangun citra Kahar Muzakkar sebagai tokoh sakti, simbol ilmu dan juga perlawanan, Kahar Muzakkar juga dibentuk seolah-olah sangat dekat, bahkan adalah diri dari tokoh kelompok sempalan itu sendiri. 

Kemampuan membangun mitos di sini adalah saat tokoh sempalan tersebut berhasil menjadikan citra diri Kahar dan dirinya seolah-olah adalah hamparan realitas atau kebenaran.

Selain itu, beberapa tokoh atau pimpinan kelompok sempalan dalam beberapa kasus di Sulsel, mampu mengisi ruang kosong yang ditinggalkan oleh tokoh-tokoh agama dari kelompok mainstream. Mereka memerankan diri sebagai tokoh agama yang hadir untuk menjawab persoalan sehari-hari yang dihadapi oleh umatnya. Dari soal kesulitan mencari kerja, sakit bahkan kebutuhan mencari jodoh, pimpinan kelompok sempalan itu selalu hadir memberikan jawaban. Kalaupun tidak sanggup menyelesaikan masalahnya, mereka hadir menemani umatnya.

Ulama-ulama Bugis-Makassar sejatinya memiliki sikap seperti diudarkan tadi, yakni selalu hadir mengempu umat. Mallesureng, demikianlah istilah Bugisnya yang saya pinjam dari Prof Kadir Ahmad. 

Jika sekarang, banyak umat Islam mencari orang-orang yang bisa mengemong dan menuntun mereka dari tokoh-tokoh aliran sempalan, maka jangan-jangan mallesureng memang sudah tidak ada lagi di tengah tokoh-tokoh kelompok Islam mainstream?

Siapa tahu para tokoh agama itu hanya berceramah dari menara-menara yang tinggi, dari mimbar-mimbar yang mewah, di instansi-instansi pemerintah atau dari hotel ke hotel. Semoga tidak demikian, karena jika itu yang terjadi, maka semakin banyak umat yang akan menjadi pengikut kelompok sempalan ini.  

Tentu faktor-faktor yang saya ungkap di atas hanya secuil di antara sekian banyak faktor lainnya. Tetapi memang, khusus persoalan terakhir yakni tokoh agama bisa mallesureng di tengah umat, adalah hal-hal yang ditunggu. Mungkin dengan kembalinya para tokoh agama ke khittah mallesureng ini, umat tidak mencari lagi tokoh panutan di luar organisasi Islam  mainstream.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun