Beberapa orang yang melihat tulisan tersebut sebagai sesuatu yang penting dalam membaca sejarah politik Indonesia berusaha menyelamatkannya. Di antara orang itu, ada seorang pejabat sipir penjara, yang memberi nasihat kepada Pramoedya dan tawanan politik pulau Buru saat itu dalam menyebarkan gagasannya.
Katanya; "Hadapi semuanya seperti bermain layangan. Angin kencang ulur benangnya. Tak ada angin, tarik benangnya."
Pada 1988-1989, catatan (tulisan) itu akhirnya terbit. Bukan di Indoenesia pada awalnya, melainkan di Negeri Belanda. Tulisan tersebut terbit dengan judul; "Lied Van Een Stomme." Belakangan baru diterbitkan di Indonesia oleh penerbit Hasta Mitra dengan judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Jelas sekali, apa pun yang dilakukan rezim orde baru pada masanya, ternyata tidak bisa membendung satu tulisan.
Benarlah Sub Comandante Marcos, Wakil Komandan Perlawanan Zapatista, ketika bertutur begini:
"Bunga dari tulisan (kata) tak akan mati. Wajah bertopeng yang hari ini mempunyai nama mungkin akan terkubur, tetapi tulisan (kata) yang datang dari kedalaman sejarah dan dunia tak dapat lagi dihabisi oleh kesombongan penguasa.
Ibn Ruyd tidak meminta buku tersebut dilarang beredar, tetapi ia menulis buku untuk melawannya. Judulnya, Tahafut at tahufut (Kerancuan atas Kerancuan).
Akan halnya Imam al-Gazali sendiri, ia juga menulis Tahafut al-falasifah, karena ia merasa tak sejalan dengan buku-buku filsafat karya para kaum filosof. Di antaranya mengenai ketidak-setujuannya Al-Gazali terhadap filsafat materialisme (al-dhariyun).
Imam Al-Gazali pun tidak meminta penguasa untuk memberedel buku-buku filsafat tersebut, tetapi ia melawan buku-buku filsafat itu dengan buku dan ketajaman peluru tinta.
Sikap para ulama dan intelektual kita pada masa itu, yang melawan buku dengan buku, menghadapi peluru tinta dengan peluru yang sama, justru mengangkat peradaban pemikiran Islam menjadi gilang-gemilang.