Sekalian Hwe Kwan Poenja alamat
Terpandang Kwi-khi sebagai djimat
Nabi Kong Hoe Tjoe jang kita hormat
Allah Poedjiken dengan slamat
Sekali lagi naskah ini memperlihatkan bagaimana tradisi Islam (Pesantren) bisa bertemu dengan Tionghoa. Â Dalam konteks ini terlihat bahwa Tionghoa sejak dari dulu sudah terbiasa berinteraksi dengan pesantren, demikian sebaliknya.Â
Pesantren tidak risih dengan keyakinan Tionghoa, misalnya meyakini adanya nabi Koen Hoe Tjoe, sebaliknya orang Tionghoapun tidak ragu menyebut Allah sebagai Tuhan yang patut dipuji dan disembah, meski selama ini penyebutan Tuhan mereka adalah T'ien. Â
Apa yang tergambar di atas menunjukkan bahwa Tionghoa selama ini bisa melebur menjadi bagian dari masyarakat Nusantara. Sebaliknya etnis-etnis yang dianggap lokal, juga bisa menerima keberadaan mereka dengan cukup baik.Â
Dengan kata lain, sudah sejak lama Tionghoa bisa merajut keragaman dan peradaban di Nusantara. Tegasnya Tionghoa ini tidak bisa lagi disebut pendatang, tapi tak lain adalah orang asli Nusantara juga.
Situasi hidup guyub antara Tionghoa dan etnis lainnya yang berlangsung cukup lama, sirna setelah rezim orde baru membatasi kiprah Tionghoa dengan segenap kebudayaannya di Indonesia.Â
Saat itu pemerintahan Soeharto mengeluarkan inpres No.14 /1967 mengenai pembatasan Kegiatan Agama, Kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa. Konon aturan itu juga diterapkan karena adanya kecurigaan Tionghoa Indonesia ini berhubungan dengan RRC yang dianggap pengusung komunisme.
Lamat-lamat Tionghoa mulai dianggap sebagai etnis lain di Indonesia. Pendatang yang 'sering' kali dicurigai. Narasi yang dibangun mengenai etnis ini pun hampir selalu bernada negatif.Â