Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memutus Nalar "Tionghoa sebagai Sang Lian"

6 Februari 2019   14:04 Diperbarui: 6 Februari 2019   14:11 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Isu pribumi dan non pribumi pernah merebak kembali di khalayak. Gara-garanya  ketika dengan secara terang Anis Baswedan menyebutkan itu dalam pidatonya saat pelantikan gubernur. Pribumi dan non pribumi ini muncul kembali sebagai serpihan-serpihan ingatan tentang adanya para bangsa pendatang dan bangsa asli.  

Bila dulu kolonialisme menggunakan istilah pribumi dalam pengertian peyoratif, di mana pribumi diidentikan dengan ketertinggalan, kebodohan dan menyandang derajat  yang lebih rendah, maka 'pribumi' yang digaungkan akhir-akhir  ini saat politik identitas makin meruyak, justru bermakna sebaliknya. Pribumi adalah penduduk paling absah di negeri ini, paling berhak menguasai berbagai kekayaan alam dan paling berhak menjadi penguasa.

Bagaimana pun dua makna tersebut, baik yang dilekatkan oleh kalonialisme maupun dalam pengertian sementara orang akhir-akhir ini, sama buruknya. 

Bila pemaknaan yang pertama terang benderang menunjukkan watak kolonialisme, maka pengertian yang kedua sama artinya ingin menunjukkan siapa yang dianggap paling Indonesia dan yang mana yang tidak murni keindonesiaannya. 

Sikap seperti itu, meminjam pendapat Dede Utomo, hanya semakin menegaskan bahwa 'nasionalisme' tak lain adalah cara meretakkan kemanusian,  merengkah antara kita dan mereka. 

Satu titik pada 'nasionalisme' yang patut dicurigai sebagai "noktah peliyanan" , begitu kata Dede Utomo,  yang kebetulan memiliki keturunan Tionghoa tersebut. 

Tionghoa atau Cina dalam istilah yang lebih karib di telinga kita, akan segera muncul ketika perbicangan pribumi dan non pribumi mulai meruyak. Begitu disebut istilah tersebut,  kita segera sama mengarahkan pandangannya ke komunitas Tionghoa ini sebagai mereka yang non pribumi. 

Dengan kata lain menyebut pribumi dan non pribumi tak lain adalah menyatakan pribumi versus Tionghoa atau Cina. 

Kita akui saja secara jujur, bahwa untuk sementara orang masih banyak yang memiliki nalar semacam ini. Itu bukan salah nalar Anda, tapi salahkanlah bagaimana rezim-rezim kekuasaan yang membentuk nalar semacam ini.

Jika kita melacak catatan mengenai asal-usul orang Nusantara, sejatinya ada beberapa yang mengakui bahwa orang-orang pertama yang mendiami beberapa daratan di Kalimantan dan beberapa tempat lainnya adalah orang-orang yang berasal dari Tionghoa. Gusdur pernah menyatakan bahwa beberapa nenek moyangnya juga berasal dari Tionghoa. 

Sumanto Al-Qurtuby dalam tulisannya Arus Cina Islam Jawa juga menyatakan secara gamblang peran Tionghoa dalam penyebaran Islam di Nusantara.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun